Selasa, 08 Maret 2011

Hermeneutika dalam Pemikiran Islam

Nashr Hamid Abu Zayd menyatakan bahwa konsepnya dalam pemikiran Islam yang dinilai kontroversial sesungguhnya sama sekali tidak demikian. Menurutnya, Ia hanya menyatakan bahwa bahasa al-Qur’an dijembatani oleh bahasa manusia, yang berupa bahasa Arab, untuk kemudian dapat di pahami oleh manusia.[1]
Sehingga kajian ini menurutnya bukan sesuatu yang baru, namun klasik sejak perdebatan antara kaum Sunni dan Mu’tazilah seputar status Al-Qur’an sebagai Kalam ilahi.[2] Hanya saja, pemakaian istilah Hermeneutika dalam kajian interpretasi pada dunia Islam adalah sesuatu yang baru.[3] Bahkan Abu Zayd mengklaim dirinya sebagai orang pertama kali yang menggunakan istilah itu dalam bukunya “al-Hirminiyutiga wa Mu’dilat Tafsir al-Nas” (Hermeneutika dan Problema Penafsiran Teks) pada tahun 1981.[4] Walaupun sebenarnya, jika ditarik kebelakang, Hasan Hanafi-lah yang pertama kali memperkenalkan Hermeneutika pada dunia pemikiran Islam dalam bukunya yang berjudul: “Les Methodes d’Exeges, Essai sur La Science des Fordements de la Comprehesion, Ilm Usul al-Fiqh” pada tahun 1965. Dan dalam bukunya yang lain berjudul: “Islam in the Modern World, Religion, Ideologi, and Development”, vol: I, terutama pada subbab berjudul: “Method of the mistic Interpretation”, dan pada vol: II pada subbab: “Hermeneutics Libration and Revolution”.[5]
Selain di Mesir, seperti Hasan Hanafi, Muhammad  Abduh dan Nashr Hamid Abu Zayd sendiri, tokoh Islam yang menggeluti kajian Hermeneutika antara lain; di India, Ahmad Khan, Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves, yang berusaha melakukan demitologisasi konsep-konsep dalam Al-Qur’an yang dianggap bersifat mitologis. di Aljazair muncul Mohammed Arkoun yang menelorkan ide “cara baca” semiotik terhadap Al-Qur’an. Lalu Fazlurrahman yang merumuskan Hermeneutika semantik terhadap Al-Qur’an, dan kemudian dikenal sebagai “double movement”.[6] Dan Adzim Nanji yang membahas reori ta’wil dalam tradisi keilmuan isma’ili, yang banyak membantu dalam kritik sastra.[7]
Di Indonesia, antara lain M. Amin Abdullah, seorang profesor di Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta yang dikenal cukup gigih dan rajin memperjuangkan penggunaan Hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an. Ia banyak menulis kata pengantar dalam buku-buku Hermeneutika Al-Qur’an, antara lain “Hermeneutika Pembebasan”, “Hermeneutika Al-Qur’an, Tema-tema Kontroversial”, dan “ Hermeneutika Al-Qur’an, mazhab Yogya”. Ia menyatakan bahwa Hermeneutika adalah sebuah kebenaran yang harus disampaikan kepada dunia Islam, meskipun banyak yang mengkritiknya. Ia-pun banyak mengkritisi metode tafsir klasik.[8]
Nasaruddin Baidan dalam tulisannya berjudul “Tinjauan Kritis terhadap Konsep Hermeneutika”, mengatakan bahwa kritik tiga unsur pokok yang menjadi pilar utama Hermeneutika: text, author, dan audience, tidak berbeda dengan konsep tafsir Al-Qur’an. Sebab Ibn Taimiyah menetapkan tiga pilar yang sama dalam konsep tafsir Al-Qur’an; 1) siapa yang mengatakan, 2) kepada siapa diturunkan, dan 3) ditujukan kepada siapa.[9] Dan menurut Farid Esack dalam bukunya “Qur’an: Pluralism and Liberalism, sebagaimana yang dikutip oleh Fahruddin Faiz, bahwa praktek Hermeneutika sebenarnya telah dilakukan dalam dunia penafsiran Islam sejak lama, bahkan sejak awal kajian tafsir, khususnya ketika menghadapi Al-Qur’an. Bukti dari hal itu adalah: 1) kajian-kajian mengenai asbab al-nuzul dan nasikh-mansukh, 2) penggunaan berbagai teori dan metode dalam proses penafsiran, dan 3) adanya kategorisasi tafsir tradisional, seperti; tafsir syi’ah, tafsir mu’tazilah, tafsir hukum, tafsir filsafat dan yang lain. Ini menunjukkan kesadaran tentang kelompok, ideologi, priode, maupun horizon social tertentu.[10]
Lebih lanjut, Farid Esack ingin memperlihatkan Hermeneutika yang identik dengan konsep tafsir klasik, dalam tiga hal: 1) penafsir yang manusiawi, yang membawa “muatan-muatan” kemanusiaan masing-masing, dan pada akhirnya memproduksi komentar-komentar subjektif terhadap penafsirannya, 2) penafsiran yang tidak dapat lepas dari bahasa, budaya dan tradisi, dan 3) teks yang bernuansa sosio-historis, sehingga tidak lagi “unik”. Fahruddin Faiz  yang mengutip perspektif ini menyimpulkan bahwa penafsiran dengan teori ini dapat dinilai merupakan representasi dari model Hermeneutika filosofis murni Gadamerian.[11]
Walau demikian, sebagai tawaran baru dalam dunia pemikiran Islam, terutama konsep interpretasi Al-Qur’an, hermeneurika tidak dengan mudah dapat diterima. Setidak ada beberapa alasan penolakan Hermeneutika untuk diterapkan dalam penafsiran Al-Qur’an: 1) dari aspek perkembangan historisnya, Hermeneutika berasal dari tradisi kristiani, barat dan filsafat. Dan jika ditarik lebih kebelakang, Hermeneutika berasosiasi dengan cerita dewa hermes, si penerjemah bahasa dewa, yang sama sekali tidak dapat disamakan dengan wahyu yang diterima Nabi Muhammad Saw., 2) kemapanan tradisi penafsiran Al-Qur’an dalam dunia Islam, yang dinilai tidak memerluakan lagi tawaran baru Hermeneutika, 3) kerancuan Hermeneutika ketika berhadapan dengan otentisitas Al-Qur’an. Hermeneutika hanya berpusat pada triadic structure: teks, inrpreter dan audience saja. Sehingga ia tidak mengenal otoritas interpretasi sebagaimana dalam Ilmu Tafsir, yaitu mengenai siapa dan apa yang paling memiliki otoritas interpretasi, dan tidak dengan mudah siapa saja dapat melakukan penafsiran pada seluruh teks, terutama seluruh teks Al-Qur’an. Apalagi teori Hermeneutika yang menganggap bahwa  penafsir dapat mengerti labih baik dibandingkan penulis sendiri. Karena dalam Al-Qur’an diketahui terdapat ayat yang tidak dapat ditafsirkan oleh siapapun, sejenius apapun dia.[12]
Ibn Abbas sendiri yang menyandang gelar “juru bicara Al-Qur’an” menegaskan bahwa teks Al-Qur’an memiliki tiga kategori; 1) dapat diketahui secara umum melalui bahasa Arab, 2) tidak ada alasan untuk tidak mengetahuinya, seperti halal-haram, 3) hanya dapat diketahui oleh Ulama, dan 4) hanya Allah yang tahu.[13] Tesis ini, terutama pada kategori ke-tiga dan ke-empat, sangat bertentangan dengan tesis Hermeneutika bahwa siapapun dapat menafsirkan teks apapun, bahkan bias lebih baik dari sang pengarang. Sementara pada kategori ke-dua, juga tidak mendukung konsep Hermeneutika yang menganut paham relativisme tafsir, yang menyatakan bahwa siapapun seorang penafsir, kalau masih pada level manusia, pastilah “terbatas”, “parsial-kontekstual” pemahamannya, serta “bisa saja keliru”.[14] Karena dalam hal halal-haram dalam Al-Qur’an sudah jelas dan tidak mungkin keliru (al-halal bayyin, wa al-haram bayyin).
Selain relativitas tafsir, menurut Adian Husaini, penerapan Hermeneutika juga berakibat buruk pada “kemapanan” bangunan konsep Islam selama ini. Para hermeneut tidak segan-segan mencurigai dan mencerca Ulama Islam,[15] dan bahkan sampai menerjang “daerah-daerah” terlarang seperti dekonstruksi konsep wahyu Al-Qur’an.[16]
Salah satu tokoh penentang Hermeneutika adalah Sayed Muhammad Naquib al-Attas, seorang ilmuan muslim asal Malaysia yang telah memperingatkan bahya Hermeneutika jauh sebelum menerpa keilmuan Islam di indosnesia. Wan Mohd menulis tentang pandangan-pandangan al-Attas dalam bukunya: “The educational philosophy and practice of sayed Muhammad Naquib al-Attas, an exposition of the original concept of islamization” terutama dalam sub bab berjudul: “Tafsir is not hermeneutics”. Menurut al-Attas, Hermeneutika sama sekali tidak identik dengan Tafsir dalam tradisi Islam.[17]

[1] Lihat misalnya pernyataanya tentang hal ini: “I’m critical of old and modern Islamic thought. I treat the Qur’an as a nass (text) given by God to the Prophet Mohamed. That text is put in a human language, which is the Arabic language. When I said so, I was accused of saying that the Prophet Mohamed wrote the Qur’an. This is not a crisis of thought, but a crisis of conscience”. (Aku seorang peneliti. aku kritis terhadap pemikiran Islam klasik dan modern. Aku memperlakukan Al-Qur’an sebagai nash (teks) yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Teks itu dimasukkan dalam bahasa manusia, yaitu bahasa Arab. Ketika aku bilang begitu, aku dituduh mengatakan bahwa Nabi Muhammad menulis Al-Qur’an. Ini bukan krisis pemikiran, tapi krisis hati nurani). Lihat: Wikipedia, the free encyclopedia, Nasr Hamid Abu Zayd. Dan dalam kesempatan lain ia menulis: “Al-Qur’an adalah pesan Tuhan yang memiliki kode dan “saluran”, yaitu Bahasa Arab, untuk memahami teks saya memerlukan perangkat yang lebih dari sekedar filologi. Analisis ini menempatkan Al-Qur’an sebagai teks peotik yang terstruktur. Oleh karena itu, Al-Qur’an bukan teks puisi, ia tetap menjadi teks keagamaan yang memiliki banyak fungsi”. Liha di: Dr. Phil HM. Nur Kholis, Nashr Abu Zayd, beberapa pembacaan terhadap Turats Arab, sebuah pendahuluan pada terjemahan buku Isykaliyah al-Qira’ah wa Alliyat al-Ta’wil, PT. LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2004, hal: xiv
[2] Lihat misalnya pembahasan panjangnya mengenai hal ini di buku: Isykaliyah al-Qira’ah wa Alliyat al-Ta’wil, dalam satu bab berjudul “Historitas Teks: Konsep yang Rancu”. Dalam bab ini, Abu Zayd tampak lebih cenderung memilih rasinalitas Mu’tazilah ketika dibawa pada pembahasan linguistic. Lihat: Nashr Hamid Abu Zayd, Isykaliyah al-Qira’ah wa Alliyat al-Ta’wil, edisi terjemahan Indonesia oleh Sunarwoto Dema, PT. LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2004, hal: 84-109
[3] Farid Esach dalam bukunya “Qur’an: Pluralism and Liberalism”, menyatakan: bahwa kata Hermeneutika merupakan istilah yang masih baru di dunia Islam, sehingga menuai banyak kritik, walaupun sebenarnya telah lama dipraktekkan, terutama dalam konsep penafsiran. Lihat: Muzairi, Hermeneutika dalam Pemikiran Islam, sebuah makalah dalam buku “Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya”. Islamika, 2003, hal: 61.
[4] Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Gema Insani, 2005, subbab: Nashr Hamid dan Hermeneutika Al-Qur’an.
[5] Muzairi, Hermeneutika dalam Pemikiran Islam, sebuah makalah dalam buku “Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya”. Islamika, 2003, hal: 60.
[6] Fahruddi Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an, tema-tema kontroversial, elSAQ, 2005, hal: 14-15.
[7] Muzairi, Hermeneutika dalam Pemikiran Islam, sebuah makalah dalam buku “Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya”. Islamika, 2003, hal: 62.
[8] Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Gema Insani, 2007, hal: 3. Dalam salah satu kata pengantar-nya dalam buku “Hermeneuika Al-Qur’an, Tema-tema Kontroversial”, Amin Abdullah menulis; “berbagai kontroversi yang muncul akhir-akhir ini sehubungan dengan Hermeneutika membuktikan bahwa tidak banyak orang diantara kita yang benar-benar siap mendengarkan ‘kebenaran’”. Ia menyatakan hal itu dalam judul; “Mendengarkan ‘Kebenaran’ Hermeneutika”. Lihat: Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an, tema-tema kontroversial, elSAQ, 2005, hal: xv.
[9] Muzairi, Hermeneutika dalam Pemikiran Islam, sebuah makalah dalam buku “Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya”. Islamika, 2003, hal: 62.
[10] Fahruddi Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an, tema-tema kontroversial, elSAQ, 2005, hal: 13.
[11] Demikian juga teks Al-Qur’an, menurut Farid Esack, ia tidaklah “unik”, teks Al-Qur’an selalu merupakan komentar terhadap kondisi masyarakat saat wahyu turun. Lihat: Ibid, hal: 16-20.
[12] Ibid, hal: 30-33. Lihat juga: Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Gema Insani, 2007, hal: 1-7.
[13] Muzairi, Hermeneutika dalam Pemikiran Islam, sebuah makalah dalam buku “Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya”. Islamika, 2003, hal: 62.
[14] Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Gema Insani, 2007, hal: 17-18. Dikutip dari pernyataan M. Amin Abdullah. Lihat di: Fahruddi Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an, tema-tema kontroversial, elSAQ, 2005, hal: xviii.
[15] Sebagaimana yang dituduhkan kepada Abu Zayd yang mengkritisi Imam Syafi’I dalam bukunya; “Al-imam al-Syaf’I, wa ta’sis al-idulujiyyah al-wasithiyyah” (Imam Syafii, Kemodernan, Eklektisisme-Arabisme). Lihat: http://www.mesias.8k.com /abuzayd.htm. Bahkan Mun’im A. Sirri misalnya, ia menulis dalam “Fikih lintas Agama: membangun masyarakat Inklusif-Pluralis” yang diterbitkan Yayasa Wakaf Paramadina tahun 2004. Ia menyatakan bahwa Syafi’I adalah penyebab dari pemikiran fikih tidak berkembang selama lebih kurang dua belas abad. Lihat: Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Gema Insani, 2007, hal: 28.
[16] Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Gema Insani, 2007, hal: 27-31. Ketika Abu Zayd menulis Pendahuluan pada bukunya “al-nash, wa al-Sulthah, wa al-Haqiqah”, mengaku bahwa kajiannya akan menerjang wilayah “terlarang” dan “diharamkan” di dalam kesadaran keagamaan yang dominan dan hegemonik. Lihat: Nashr Hamid Abu Zayd, al-nash, wa al-Sulthah, wa al-Haqiqah, edisi terjemah Indonesia oleh Sunarwoto Dema, LkiS, Yogyakarta, 2003, hal: 79.
[17] Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Gema Insani, 2007, hal: 42-44.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar