Selasa, 08 Maret 2011

Biografi Nashr Hamid Abu Zayd

Nasr Hamid Abu Zayd lahir di kairo, tepatnya di sebuah tempat bernama Qufaha dekat Tanta pada 10 Juli tahun 1943. Ia anak yang pendiam, dan suka sekali pada sastra. Sedari muda, ia sangat tertarik dengan kajian bahasa dan filsafat. Ia bahkan fokus pada perangkat metodologi analisa wacana dan dinamika teori teks dalam semiotika. Jelas, pikirannya menginduk ke Prancis dengan tokoh besar Derrida, Arkoun dan pengagum Hasan Hanafi. Tak heran, untuk memperkuat minatnya itu, ia masuk ke Fakultas Sastra Universitas Kairo, dan kemudian mengabdi di sana. Ia menyelesaikan S1 pada tahun 1972 pada Studi Bahasa Arab (Arabic Studies), dan kemudian S2 pada tahun 1977. Pada tahun 1978 sampai 1980, ia melanjutkan studi S3-nya di Universitas Pennsylvania, Philadelphia. Dan menyelesaikan disertasi pada tahun 1980/1981 dalam konsentrasi Studi Islam (Islamic Studies).[1]
Abu Zayd mulai mengenal teori-teori Hermeneutika ketika berada di Universitas Pennsylvania itu. Ia mengakui, bahwa Hermeneutika telah mem­buka cakrawala dunia baru kepadanya. Ia menyatakan: “Aku banyak membaca sendiri, khususnya di dalam bidang filsafat dan Hermeneutika. Hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks, telah membuka cakrawala dunia baru kepadaku.” (I did a lot of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science ofinterpreting texts, opened up a brandnew world for me). Sekembali dari Ame­rika, Nasr Hamid menyelesaikan disertasi Doktornya pada tahun 1980 dengan judul “Falsafah al-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil AI-Qur’an `inda Muhy al-Din ibn `Arabi” (Filsafat Hermeneutika: Studi Terhadap Hermenutika Al-Qur’an menurut Ibn Arabi). Ia mengklaim bahwa dirinyalah yang pertama kali menulis tentang Hermeneutika di dalam bahasa Arab dengan tulisannya “al-Hirminiyutiga wa Mu’dilat Tafsir al-Nas” (Hermeneutika dan Problema Penafsiran Teks) pada tahun 1981.[2] Di dalam karya tersebut, Nasr Hamid memaparkan secara ringkas berbagai teori penafsiran yang telah dilakukan oleh Schleiermacher (m. 1843), Wilhelm Dilthey (m. 1911), Mar­tin Heidegger (1889-1976), Emilio Betti (1890-1968), Hans­Georg Gadamer (1900-1998), Paul Ricoeur (1913-), dan Eric D. Hirsch (1928-).[3]
Ia kemudian membuat komunitas kritis dalam lingkungannya. Kajiannya masih seputar wilayah teks, dengan menggali kembali warisan-warisan intelektual Islam sebagai teks yang harus dikeluarkan dari wacana ideologis. Ia berusaha mencari tafsir yang ke luar dari hanya pengenalan teks semata, memasuki sisi ikutan sejarah-politik dan watak ekonomi. Abu Zayd percaya, peradaban selalu membentuk teks-teks keagamaan tadi. Secara sederhana, proyek kajian Abu Zayd adalah mencoba menmongkar konsep keyakinan. Ia percaya, banyak teks yang hanya diyakini tanpa upaya pemahaman yang konkret adalah keimanan tanpa landasan. Maka, segera bukunya terbit, Imam Syafii, Kemodernan, Eklektisisme-Arabisme yang memicu masalah itu.[4]
Dan ketika Abu Zayd mendapatkan kesempatan untuk promosi guru besarnya di Universitas Kairo tempatnya belajar dan mengabdi, Abu Zayd mengajukan buku itu beserta bukunya yang lain berjudul Naqdl al-khitab al-Din, untuk keperluan pengujian.
Hari itu datang, tanggal 16 Desember 1993. Namun ternyata forum akhirnya tidak berjalan sebagaimana yang dia inginkan. Dr. Abdus Shabur Syahin sebagai penilai (muqarrir), menilai karya-karya Abu Zayd berkadar ilmiah rendah dan telah ke luar dari kerangka keimanan. Bukunya yang pertama bahkan telah menghina Imam Syafii dengan tuduhan keji. Ajakan Abu Zayd untuk membebaskan diri dari kekuasaan teks, di mata Shabur, hal itu adalah ajakan untuk memalingi al-Quran. Kesimpulan yang sama, celakanya, juga diikuti penilai yang lain, Dr. Muhammad Baltaqi, Dr. Ismail salim, Dr. Sya’ban Ismail, Dr. Muhammad Syuk’ah. Karier akademik Abu Zayd pun tamat. Ia kemudian dikafirkan.[5]
Dalam buku itu, Zayd memang mengkritisi Imam Syafi’i, dan mengatakan ulama itu telah secara sepihak menempatkan budaya Quraisy sebagai sentral penafsiran pada al-Quran. Ia menilai Syafi’i telah membakukan model pemaknaan al-Quran, teorisasi Sunah sebagai sumber tasyri’ yang otoritatif dan memperluas Sunah sampai dengan Ijma, tapi menolak qiyas. “Akibatnya, tak bisa dibedakan lagi mana teks yang primer dan sekunder. Ini menunjukkan watak moderat Syafi’i hanya semu karena argumentasinya hanya mengutip sosiologis Quraisy”, kritiknya. Pandangan inilah yang membuat Syahin dan Muhammad Imarah menjadi emosi. Imarah misalnya, menilai Abu Zayd telah merusak sakralitas al-Quran dan menyatakan Al-Quran bukan diciptakan Tuhan tapi produk budaya Arab, khususnya puak Quraisy.[6]
Zayd melawan, dan menyatakan pada publik:
“I’m sure that I’m a Muslim. My worst fear is that people in Europe may consider and treat me as a critic of Islam. I’m not. I’m not a new Salman Rushdie, and don’t want to be welcomed and treated as such. I’m a researcher. I’m critical of old and modern Islamic thought. I treat the Qur’an as a nass (text) given by God to the Prophet Mohamed. That text is put in a human language, which is the Arabic language. When I said so, I was accused of saying that the Prophet Mohamed wrote the Qur’an. This is not a crisis of thought, but a crisis of conscience”. (Aku yakin bahwa aku seorang Muslim. Saya paling takut jika orang-orang di Eropa memperlakukan saya sebagai seorang kritikus Islam. Aku tidak demikian. Aku bukan Salman Rushdie yang baru, dan tidak ingin harus diterima dan diperlakukan seperti itu. Aku seorang peneliti. aku kritis terhadap pemikiran Islam klasik dan modern. Aku memperlakukan Al-Qur’an sebagai nash (teks) yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Teks itu dimasukkan dalam bahasa manusia, yaitu bahasa Arab. Ketika aku bilang begitu, aku dituduh mengatakan bahwa Nabi Muhammad menulis Al-Qur’an. Ini bukan krisis pemikiran, tapi krisis hati nurani).[7]
Polemik pun bertebaran di media massa. Hebatnya, Dr. Syahin menjadikan kasus Abu Zayd ini tema dalam khotbah salat Jumat di masjid Amr bin al-Ash, ia memang imam tetap di sana. Dan dalam waktu singkat, publik pun terbelah, antara yang simpati dengan Abu Zayd dan kelompok pembencinya. Kelompok pembencinya mengumpulkan semua tulisan kecaman dan menjadikannya sebuah buku Qishatu Abu Zayd wa Inhisaru al-Almaniyah fi Jami’ati al-Qahirah, Kisah Abu Zayd dan Kehancuran Sekularisme di Universitas Kairo. Buku ini diberi pengantar oleh Dr. Syahin sendiri dengan kecaman yang sangat pedas. Buku-buku lain pun terbit, Abu Zayd kian terperosok. Namun, pendukung Abu Zayd tak mau kalah, juga menerbitkan buku al-Qaul al-Mufid, Ucapan yang Berguna. Abu Zayd sendiri tak menyerah, ia ajukan banding kepengadilan untuk mendapatkan haknya sebagai pengajar di Universitas. Tapi, keputusan pengadilan justru memperburuk keadaannya. Vonis murtad jatuh, dan hukum diterapkan: ancaman kematian, keharusan perceraian, dan konsekuensi lain dari kemurtadan. Abu Zayd menangis.[8]
Pertengkaran ini memucak dalam sidang banding, dan Abu Zayd menyambut debat itu dengan kajian yang kian cemerlang, At-Tafkir fi zaman at-Takfir, Pemikiran di Masa Pengkafiran. Di sinilah, ia melontarkan pidato yang amat terkenal itu: “Ilmu, tidak akan memberikan kepadamu sebagian dirinya, kecuali kamu menyerahkan seluruh dirimu kepadanya. Jika kamu telah menyerahkan kepadanya seluruh dirimu, maka dengan pemberian dirinya kepadamu yang sebagian itu saja, ia sungguh-sungguh menempatkanmu dalam bahaya”. Dan memang, meski argumentasi buku itu demikian kuatnya dan tak terbantahkan, Abu Zayd tetap saja dikalahkan. Kekalahannya sekali lagi membuktikan tesisnya tentang “keyakinan tanpa pemahaman”. Ia kembali dikafirkan, dan dinilai murtad. Konsekwensinya menurut hukum di sana, sebagai seorang yang murtad, perkawinannya dibatalkan. Seorang murtad dinilai tak boleh menikahi wanita muslimah. Dan ketika tangan pengadilan akan memutus pernikahannya, tahun 1995, ia dengan berat hari “mengungsi” ke Leiden, Belanda, di mana pemikiran seliar apa pun, sepanjang ada arguemntasinya, bisa tumbuh merdeka.[9] Ia harus hidup sebagai ilmuwan yang hidup di negeri orang selama kurang lebih enam tahun.[10]
Abu Zayd kini menjadi guru besar untuk studi Islam di Universitas Leiden, dan terakhir lebih aktif menjadi professor pada Universitas for Humanistics di Utrecth, selain juga menjadi pembimbing beberapa mahasiswa yang sedang menulis disertasi tentang penafsiran dalam Islam pada beberapa Universitas di Eropa, seperti Jerman, Prancis, dan Negara lainnya. Ia mendapatkan perlindungan politik di Belanda dengan imbalan ia harus mengajar.[11] Dan sekarang ia kembali mendapatkan hak-nya sebagai ilmuwan terhormat setelah kunjungannya ke Kairo tahun 2003 mendapatkan sambutan luar biasa, baik dari kalangan akademisi, pers, maupun pejabat pemerintah.[12]
Modernisasi Islam
Tulisan Abu Zayd banyak mengarah pada isu-isu sentral dalam pemikiran Islam, terutama tentang metodologi penafsiran Al-Qur’an, otoritas Ulama, dan relevansi Agama pada kehidupan kontemporer. Pemikiran seperti ini sering dinilai sebagai model “kebebasan berpikir” (intellectual freedom). Namun dalam kasusnya, Abu Zayd, terutama oleh otoritas Universitas Kairo dinilai sebagai ”teroris pemikiran” (intellectual terrorism).[13]
Setelah akrab dengan literatur Hermeneutika Barat, dimana ia mengenal pertama kali Hermeneutika di Amerika, Abu Zayd kemudian membahas mengenai hakikat teks, yang merupakan persoalan mendasar dalam Hermeneutika. Menu­rut Abu Zayd, Kalam Ilahi wujud dalam bahasa manusia, karena jika tidak, maka Kalam Ilahi tersebut tidak akan dimengerti. Salah satu alasan pemikiran Islam itu menjadi stagnan, menurut Abu Zayd, karena penekanan yang terlalu berlebihan kepada dimensi ilahi (divine dimension). Padahal menurutnya, Al-Qur’an adalah kata Muhammad yang meriwayatkan apa yang beliau katakan adalah Kalam ilahi (The word of Muhammad reporting what he asserts is the Word of God. This is the Qur’an). Abu Zayd menyatakan: “Bagaima­napun, Kalam Ilahi perlu mengadaptasi diri, dan menjadi manusiawi, karena Tuhan ingin berkomunikasi kepada manu­sia. Jika Tuhan berbicara dengan bahasa Tuhan, manusia sama sekali tidak akan mengerti. (The Word of God needed to adaptitself-become human-because God wanted to communicate to humang beings. If God spoke God-language, human beings would understand nothing). Jadi, dalam pandangannya, Al-Qur’an adalah bahasa manusia (the Qur’an is hu­man language). Teks Ilahi (divine text) berubah menjadi teks manusiawi (human text) sejak turunnya wahyu yang pertama kali kepada Muhammad. “Teks sejak awal diturunkan, ketika teks diwahyukan dan dibaca oleh Nabi, ia berubah dari sebuah teks Ilahi (nas ilahi) menjadi sebuah konsep atau teks manusiawi (nas insa­ni), karena ia berubah dari “tanzil” menjadi “takwil”. Pemahaman Muhammad atas teks mempresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks dengan akal manusia”. Teks Al-Qur’an terbentuk dalam realitas dan budaya, selama lebih dari 20 tahun. Oleh sebab itu, Al-Qur’an adalah “produk budaya” (muntaj thaqat). Ia juga menjadi “produsen budaya” (muntij li al-thaqafah) karena menjadi teks yang hegemonik dan menjadi rujukan bagi teks yang lain. Disebabkan realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa manusia, maka Abu Zayd juga menganggap Al-Qur’an sebagai teks bahasa (nas lughawi). Realitas, budaya, dan bahasa, merupakan fenomena historis dan mempunyai konteks spesifikasinya sendiri. Oleh sebab itu, Al-Qur’an adalah teks historis (a historical text). Histo­risitas teks, realitas dan budaya sekaligus bahasa, menunjuk­kan bahwa Al-Qur’an adalah teks manusiawi (nas insani).[14]
Dengan berpendapat seperti itu, Abu Zayd menegaskan bahwa teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang bentuk­nya sama dengan teks-teks yang lain di dalam budaya (anna al-nusus al-diniyya6 nusus lughawiyyah sha’nuha sha’n ayyat nusus ukhra fi al-thaqafah). Sekalipun asal muasalnya dari Tuhan, namun studi Al-Qur’an tidak memerlukan metode yang khusus. Jika metode khusus dibutuhkan, maka hanya sebagian manusia yang memiliki kemampuan saja yang bisa memaha­minya. Manusia biasa akan tertutup untuk memahami teks­teks agama. Abu Zayd menyalahkan penafsiran yang telah dilakukan oleh mayoritas mufasir yang selalu menafsir­kan Al-Qur’an dengan muatan metafisis Islam. Dalam pan­dangannya, metodologi seperti itu tidak akan mela­hirkan sikap ilmiah. “Sesungguh­nya, kepercayaan atas wujud metafisik teks (Al-Qur’an) akan menghapuskan upaya pemahaman yang ilmiah bagi fenomena teks”. Dengan menyamakan status Al-Qur’an dengan teks-­teks yang lain, maka Abu Zayd menegaskan siapa saja bisa mengkaji Al-Qur’an. “Saya mengkaji Al-Qur’an sebagai sebuah teks berbahasa Arab agar dapat dikaji baik oleh kaum Muslim, Kristen maupun Ateis”.[15]
Charles Hirschkind, yang khusus menulis makalah yang konsen tentang kasus Abu Zayd dalam Heresy or Hermeneutics, the case of Nashr Hamid Abu Zayd, menyatakan:
A key point of departure for Abu Zayd’s argument is the idea that, once the Quran was revealed to Muhammad, it entered history and became subject to historical and sociological laws or regularities (qawanin). Irreversibly rent from its divine origins, the text became humanized (muta’annas), embodying the particular cultural, political, and ideological elements of seventh-century Arabian society. (Titik tolak penting argument Abu Zayd adalah gagasan bahwa, setelah Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad, ia masuk ke dalam sejarah dan tunduk pada hukum sejarah dan sosiologis atau peraturan (qawanin). Terpisah dari asal-usul ilahi, teks kemudian menjadi “teks manusiawi” (muta’annas), mewujudkan budaya tertentu, politik, dan unsur-unsur ideologi abad ketujuh masyarakat Arab).[16]
Benar bahwa Abu Zayd berpendapat Al-Quran dibentuk oleh budaya Arab. Tetapi, itu tidak berarti ia tak meyakini al-Quran sebagai wahyu Allah. Ia percaya hal itu, cuma karena al-Quran menggunakan bahasa manusia dan disampaikan untuk kepentingan umat manusia, juga melihat faktor asbab al-nuzul, ayat Mekah dan Madinah, juga yang naskh dan mansukh, menjadi bukti ada “campur-tangan” sosial-politik dan sejarah pada wahyu-wahyu itu. Sebenarnya ini bukan pandangan yang luar biasa. Tesis kaum Mu’tazilah pun berpendapat Al-Quran adalah makhluq/muhdats, diciptakan karena firman Allah merupakan produk dari sifat Allah yang Maha Berbicara. Pendapat ini bertentangan dengan kelompok Hanbaliyyah dan Asy’ariyah yang yakin al-Quran eksis bersamaan (co-exist) dengan Allah, dan tak bermula.[17]

[1] Wikipedia, the free encyclopedia, Nasr Hamid Abu Zayd. Lihat juga: http://www.mesias.8k.comMetodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Gema Insani, 2005, subbab: Nashr Hamid dan Hermeneutika Al-Qur’an. /abuzayd.htm. dan lihat juga: Adnin Armas,
[2] Makalah-nya yang berjudul “al-Hirminiyutiga wa Mu’dilat Tafsir al-Nas” (Hermeneutika dan Problema Penafsiran Teks) dapat kita temukan di buku Isykaliyah al-Qira’ah wa Alliyat al-Ta’wil edisi terjemahan Indonesia oleh Muhammad Mansur, PT. LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2004, hal: 3-64.
[3] Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Gema Insani, 2005, subbab: Nashr Hamid dan Hermeneutika Al-Qur’an.
[4] Lihat: http://www.mesias.8k.com /abuzayd.htm
[5] Lihat: Ibid Lihat juga: Charles Hirschkind, heresy or hermeneutics, the case of nasr hamid abu zayd, EHR, volume 5, issue 1: Contested Polities Updated February 26, 1996.
[6] Lihat: Ibid Lihat juga: Charles Hirschkind
[7] Wikipedia, the free encyclopedia, Nasr Hamid Abu Zayd.
[8] Lihat: http://www.mesias.8k.com /abuzayd.htm. Lihat juga: Charles Hirschkind, heresy or hermeneutics, the case of nasr hamid abu zayd, EHR, volume 5, issue 1: Contested Polities
Updated February 26, 1996.
[9] Lihat: Ibid Lihat juga: Charles Hirschkind
[10] Lihat: Phil HM. Nur Kholis, Nashr Abu Zayd, beberapa pembacaan terhadap Turats Arab, sebuah pendahuluan pada terjemahan buku Isykaliyah al-Qira’ah wa Alliyat al-Ta’wil, PT. LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2004, hal: xxv.
[11] Redaksi LKiS, Pengantar Redaksi edisi terjemah Indonesia “Isykaliyyat al-qira’ah wa ‘alliyat al-ta’wil”, LKiS, Yogyakarta, 2004, hal: vi.
[12] Lihat: Phil HM. Nur Kholis, Nashr Abu Zayd, beberapa pembacaan terhadap Turats Arab, sebuah pendahuluan pada terjemahan buku Isykaliyah al-Qira’ah wa Alliyat al-Ta’wil, PT. LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2004, hal: xxv.
[13] Charles Hirschkind, heresy or hermeneutics, the case of nasr hamid abu zayd, EHR, volume 5, issue 1: Contested Polities Updated February 26, 1996. Lihat juga: Ali Harb, Naqd al-Nash, edisi terjemah Indonesia oleh M, Faisol Fatawi dengan judul “Kritik Nalar Al-Qur’an”, LkiS, Yogyakarta, 2003, hal: 308.
[14] Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Gema Insani, 2005, subbab: Nashr Hamid dan Hermeneutika Al-Qur’an.
[15] Ibid
[16] Charles Hirschkind, heresy or hermeneutics, the case of nasr hamid abu zayd, EHR, volume 5, issue 1: Contested Polities Updated February 26, 1996. Pembahasannya tentang kasus Abu Zayd dalam makalahnya itu, ditulis dalam sub judul “modernisasi Islam” (modernizing Islam).
[17] Lihat: http://www.mesias.8k.com /abuzayd.htm. Dalam banyak teorinya, Abu Zayd, memang mendasarkan diri pada pendapat rasionalistik Mu’tazilah. Tentang hal ini, insya-Allah akan penulis ungkap pada bab-bab berikutnya. Pertanyaan adalah: jika memang ide-ide adalah identik dengan konsep-konsep klasik, maka dari segi mana, idenya dinilai sebagai modernisasi Islam (modernizing Islam)?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar