Selasa, 08 Maret 2011

Dua Dimensi Hermeneutika

Dua Dimensi makna
Secara etimologis, Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani “hermeneuein”, yang berarti mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata. Kata kerja itu juga berarti “menerjemahkan” dan juga bertindak sebagai “penafsir”. Dan menurut Mudjia, Hermeneutika adalah upaya peralihan dari sesuatu yang gelap ke sesuatu yang terang.[1]
Istilah Hermeneutika memiliki asosiasi etimologis dengan nama dewa dalam metologi Yunani, ‘Hermes’.[2] Ia bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan-pesan Tuhan kepada manusia kedalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Dalam tugasnya, ia tidak hanya mengumumkan kata-demi kata saja, melainkan juga bertindak sebagai penerjemah yang membuat kata-kata dewa dapat dimengerti dengan jelas dan bermakna, yang dapat memunculkan beberapa penjelasan atasnya atau hal-hal lain sebagai tambahan. Hermeneutika secara konsekuen terikat pada dua tugas ini: pertama, memastikan isi dan makna sebuah kata, kalimat, teks atau simbol yang lain, dan kedua, menemukan instruksi-instruksi yang terdapat di dalam bentuk-bentuk simbolis.[3]
Dua dimensi tugas Hermeneutika inilah, menurut penulis, yang membawa dua dimensi makna dalam kajian Hermeneutika kontemporer. Hal ini berawal dari dua pertanyaan berbeda; pertama, “maksud apa yang diungkapkan dalam teks x?”, dan kedua, “apakah signifikansi teks x bagi sebagian masyarakat interpretif tertentu?”. Dua pertanyaan berbeda ini membawa implikasi metodologis yang sangat berbeda pula.[4]
1. Hermeneutika Intensionalisme
Intensioanalisme yang diawali sejak Hermeneutika romantisis dengan tokohnya Schleiermacher (1768-1834) yang dikenal pula sebagai Bapak Hermeneutika modern dan diteruskan oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911) dengan Hermeneutika metodisnya, Edmund Husserl (1889-1938) dengan Hermeneutika fenomenologisnya, sampai Martin Heidegger (1889- 1976) dengan Hermeneutika dialektisnya. Pokok pikiran Hermeneutika intensional ini adalah bahwa makna adalah maksud atau instensi produsernya. Dengan kata lain, makna kata sesungguhnya telah ada di balik kata itu sendiri. Makna telah menanti, dan tinggal ditemukan oleh penafsirnya. Adalah tugas pembaca untuk mencari makna itu. “Behind a word, there exists the meaning”, begitu kira-kira ungkapan para hermeneut intensionalisme itu. Karena itu, untuk memahami makna kata, kalimat atau bahkan teks harus ditelusur dari maksud produsernya. Sebab, asumsinya hanya produser itu sendiri orang yang paling tahu apa maksud kata yang diucapkan atau ditulis.[5]
Menurut Hermeneutika Intensionalisme, makna adalah niat atau kemauan yang diwujudkan dalam suatu tindak atau produknya (seperti teks), sehingga makna sudah ada dan tinggal menunggu untuk diinterpretasikan. Pengertian ini didasarkan pada arti “makna” (meinen), yang menunjukkan arti: makna suatu teks, tindak, hubungan, dan seterusnya adalah sesuatu yang ada dalam pikiran produsen, yang kemudian dikeluarkan melalui suatu tindak seperti memproduk teks. Artinya, makna telah ada dan menanti untuk dipahami. Makna hanya berasal dari aktifitas produsen teks, bukan dari aktifitas orang lain, termasuk aktifitas interpretasi penafsir.[6] Hal ini, mengharuskan pembaca dan penafsir untuk meleburkan diri pada dunia teks yang ia baca. Di sini, penafsir dapat menangkap konsepsi pengarang mengenai fakta situasinya, keyakinan, dan keinginannya. Dengan kata lain, penafsir harus menemukan alasan pelaku bersikap seperti yang diperlihatkan.
2. Hermeneutika Gadamerian
Hermeneutika intensionalisme kemudian memperoleh tantangan cukup keras sejak Hans-Georg Gadamer (1900- 2002) mengajukan pemikiran sangat berbeda. Makna, menurut Gadamer, bukan terletak pada instensi produsernya, melainkan pembacanya itu sendiri. Makna itu belum ada ketika sebuah kata diucapkan atau ditulis, dan segera muncul ketika kata itu didengarkan atau dibaca. “In front of a word, there exists a meaning (or even meanings)”, begitu kira-kira ungkap para hermeneut Gadamerian. Pemikiran ini dibangun di atas landasan “matinya sang pengarang”, sebuah idiom yang jika dilacak ke belakang akan ditemukan referensinya pada gagasan Friedrich Nietzsche tentang kematian Tuhan.[7] Konsep ini menemukan titik kulminasinya pada Gadamer yang menyatakan bahwa sekali teks hadir di ruang publik, ia telah hidup dengan nafasnya sendiri. Hermeneutika tidak lagi bertugas menyingkap makna objektif yang dikehendaki pengarangnya, tetapi adalah untuk memproduksi makna yang seluruhnya memusat pada kondisi historisitas dan sosialitas pembaca.[8]
Gagasan ini dengan sendirinya menyangkal origin. Artinya, ia menolak suatu realitas di balik fenomena, realitas sumber, realitas terakhir. Dengan demikian, untuk memperoleh makna sebuah kata, kalimat atau teks tidak diperlukan lagi maksud original-nya. Misalnya, untuk memperoleh makna sajak Chairil Anwar yang terkenal “Aku”, seseorang tidak mungkin menghubungi Chairil Anwar karena dia telah meninggal dunia. Lagi pula, andai teks puisi itu sekarang dibaca sebenarnya tidak lagi untuk masyarakat atau generasi saat puisi diciptakan, tetapi untuk generasi saat ini. Gagasan Gadamer ini diteruskan oleh Jurgen Habermas (L: 1929) dengan Hermeneutika kritisnya, Paul Ricoeur (L: 1913) dan Jacques Derrida (L: 1930) dengan Hermeneutika dekonstruksionisnya.[9]
Harus diakui bahwa konsep pemikiran ini telah menggeser secara revolusioner perlakuan atas teks. Makna teks tidak lagi terbatas pada pesan yang dilehendaki pengarang, sebab teks bersifat terbuka bagi pemaknaan pembacanya. Dengan demikian, penafsiran merupakan kegiatan produktif, memberikan makna atau lebih tepatnya mengaktualisasikan makna yang potensial dalam teks itu.[10]

[1] Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian, UIN-Malang Press, Malang, 2007, hal: 88. Lihat juga: Richard E. Palmer, Hermeneutics, interpretation theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, edisi terjemahan Indonesia oleh Mansur Hery dan Damanhuri Muhammed, Hermeneutika, teori mengenai interpretasi, Pustaka Belajar, 2005, hal: 14-15.
[2] Dalam tradisi yunani nama ini dikenal juga dengan sebutan Mercurius, bahkan dikalangan para pendukung Hermeneutika ada yang menghubungkan sosok Hermes dengan Nabi Idris. Lihat: Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Gema Insani, 2007, hal: 7
[3] Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, Fajar Pustaka baru, Yogyakarta, 2003, hal: 5. Sementara Richard E. Palmer dalam Hermeneutics, interpretation theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, membagi tugas Hermeneutika kedalam tiga tugas utama: 1) mengungkapkan kata-kata (to say), 2) menjelaskannya (to explain), dan 3) menerjemahkannya (to translate). Lihat: Richard E. Palmer, Hermeneutics, interpretation theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, edisi terjemahan Indonesia oleh Mansur Hery dan Damanhuri Muhammed, Hermeneutika, teori mengenai interpretasi, Pustaka Belajar, 2005, hal: 16-36.
[4] Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan Gadamerian, Ar-Ruzmedia Jogjakarta, 2008, hal: 79. Mudjia tidak mengaitkan kemunculan dua pertanyaan tersebut pada dua dimensi tugas utama Hermeneutika, namun penulis merasa bahwa dua pertanyaan itu adalah ungkapan berbeda dari dualisme fungsi Hermeneutika, sebagai penyampai berita sekaligus penerjemah (penafsir) berita tersebut.
[5] Mudjia Raharjo, Mengungkap Tabir dibalik Makna, http://mudjiarahardjo.blogspot.com /2009/12/mengungkap-tabir-di-balik-makna.html.
[6] Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan Gadamerian, Ar-Ruzmedia Jogjakarta, 2008, hal: 73-74.
[7] Friedrich Nietzsche (1844-1900) adalah seorang filsof Jerman dan ahli filologi, dengan filsafatnya yang menentang kepercayaan terhadap kehidupan setelah kematian yang dibawa oleh tradisi Kristen pada saat itu, ia kemudian dianggap sebagai “sang pembunuh Tuhan”. Lihat: Wikipedia, Friedrich Nietzsche.
[8] Mudjia Raharjo, Mengungkap Tabir dibalik Makna, http://mudjiarahardjo.blogspot.com /2009/12/mengungkap-tabir-di-balik-makna.html. lihat juga: Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian, UIN-Malang Press, Malang, 2007, hal: 113. Dalam sejarah perkembangan Hermeneutika, ide Gadamer memperoleh dukungan semakin meluas seiring dengan kemunculan diskursus postmodernisme pada 1970-an sebagai fenomena budaya. Terminologi postmodernisme itu sendiri menunjuk pada “post-strukturalisme” (1960-an) di Perancis. Dan bagi postmodernisme, “every author is a dead author”. Menurut Derrida, ketika sebuah teks selesai ditulis saat itu pula berakhirnya teks itu dan dimulainya makna baru, (that is the end of a text and the beginning of writing).
[9] Mudjia Raharjo, Mengungkap Tabir dibalik Makna, http://mudjiarahardjo.blogspot.com /2009/12/mengungkap-tabir-di-balik-makna.html.
[10] Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian, UIN-Malang Press, Malang, 2007, hal: 113.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar