Rabu, 27 April 2011

Tafsir di Indonesia; Dari Klasik Hingga Moderen

Perkembangan Tafsir Di Indonesia Pada Masa Klasik
Pengkajian al-Qur’an di di Indonesia telah ada sejak masuknya Islam di Indonesia yang dibawa oleh sekolompok pedagang Arab dan Gujarat India. Adapun bentuk-bentuk pendekatan dalam melakukan penyebaran Islam di Indonesia lebih di dominasi oleh pendekatan sufisme, melihat agama yang dianut oleh penduduk di Indonesia – sebelum datangnya Islam – adalah agama Hindu dan budha.
Pengkajian terhadap al-Qur’an pada masa ini masih belum menemukan bentuknya yang baku, meskipun pada masa ini kitab-kitab tafsir karya para ulama dunia telah ada, namun untuk skala Indonesia, penafsiran al-Qur’an masih berada pada wilayah penjelasan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat ferbal-praktis dan penjelasan-penjelasan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pemahaman pembawa ajaran Islam dari Arab ke Nusantara.
Melihat dari kenyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada masa ini penafsiran terhadap al-Qur’an masih dalam bentuk penafsiran umum dan penjelasan terhadap al-Qur’an untuk kebutuhan dakwah Islamiyah. Sehingga untuk melacak karya-karya yang muncul pada masa ini Indonesia sangat susah disebabkan oleh beberap faktor diantaranya, pertama; bahwa tulisan pada masa itu belum begitu penting bagi masyarakat Indonesia, kedua; bahwa masyarakat Indonesia pada masa itu lebih memilih penjelasan-penjelasan praktis terhadap isi dan kandungan al-Qur’an ketimbang membaca karya-karya yang pernah ada di negeri Arab, ketiga; bahwa masayarakat yang telah memeluk Islam dari kalangan pribumi masih membutuhkan waktu untuk belajar membaca huruf-huruf Arab yang secara cultural huruf-huruf tersebut, masih tergolong asing dikalangan masyarakat Indonesia.
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri, bahwa pengaruh Arab terhadap huruf-huruf di Indonesia sangat besar, sehingga huruf-huruf yang digunakan dalam bahasa melayu pada awalnya adalah huruf-huruf Arab.
Perkembangan Tafsir Di Indonesia Pada Abad Pertengahan
Pada periode sebelumnya (periode klasik abad VII-XV) disebutkan bahwa penafsiran belum menampakkan bentuk tertentu yang mengacu pada al-Ma’sur atau al-Ra’yu karena masih bersifat umum dan masih mengandalkan ingatan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Pada periode ini sudah mulai berkenalan dengan kitab-kitab tafsir yang dibawa atau didatangakan dari Timur Tengah, seperti Kitab Tafsir Jalalain. Kitab-kitab tersebut dibacakan kepada murid-murid, lalu diterjemahkan kedalam bahasa murid (Melayu, Jawa, dan sebagainya). Dalam proses tafsir seperti ini, para guru masih terikat dengan corak tafsir yang ada dalam kitab tafsir, artinya belum ada inisiatif pengembangan pemahaman suatu ayat kecuali sebatas yang mereka pahami dari penafsiran yang sudah diberikan dalam kitab-kitab tafsir tersebut.
Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa penafsiran terhadap al-Qur’an pada abad ini berkembang dengan baik dengan terlacaknya beberapa karya ulama nusantara dalam bidang tafsir, diantara karya-karaya tersebut adalah apa yang ditulis oleh Hamzah Fansuri yang hidup antara tahun 1550-1599 karya beliau lebih kepada penerjemahan terhadap al-Qur’an ayat per-ayat dengan menggunakan komentar-komentar ringkas tentang kandungan ayat al-Qur’an yang disusun dalam bahasa melayu dengan menyelipkan beberapa syair yang sarat dengan makna-makna yang dibubuhi pemahaman tasawuf.
Diantara karya yang ada pada masa ini adalah sebuah karya yang penulisnya tidak teridentifikasi yaitu Tafsir Surah al-Kahfi sebagaimana keterangan L. Anthony H. Jhons dalam sebuah artikelnya yang dimuat dalam Melayu online.htm , menyebutkan bahwa karya tersebut manuskrip tersebut tertanggal tahun 1620. Ada yang mengidentifikasi bahwa karya tersebut kemungkinan adalah karya hamzah al-Fansury, namun ternyata tidak sebab hamzah al-Fansury wafat pada tahun 1599 sementara karya ini tertanggal 1620, pada sisi yang lain karya ini berbeda dengan karya dan corak yang digunakan oleh Hamzah al-Fansury, dimana karya ini telah menggunakan metode penafsiran yang baik, dan dapat dipastikan pula bahwa karya ini merupakan terjemahan dari tafsir al-Khazin surah al-Kahfi.
Sejalan dengan metode Hamzah al-Fansuri adalah karya yang disusun oleh Nuruddin ar-Raniry yang merupakan pendatang dari Gujarat India dan masuk ke Aceh dan mendapatkan kedudukan penting pada masa pemerintahan Sulthan Iskandar II hingga tahun 1641, akan tetapi beberapa peneliti menyebutkan, bahwa karyanya dalam bidang tafsir yang juga dibubuhi dengan pemahaman tasawwuf boleh dikatakan hilang sebab banyak karya-karyanya yang dibakar dan pengikutnya banyak yang di eksekusi, sehingga boleh jadi diatara karya-karay ar-Raniry yang terbakar tersebut adalah karya-karya tafsir. Namun ada beberapa peneliti yang menyebutkan bahwa boleh jadi tafsir Surat al-Kahfi tersebut nerupakan karya Nuruddin ar-Raniry.
Kemudian karya Abdul Rauf Singkel (1615-1690) yang diberi judul Turjumanul Mustafid ada beberapa diantara peneliti yang menyebutkan bahwa karya ini merupakan terjemahan dari karya al-Baidhawy yang berjudul Anwaru at-Tanzil wa Asrar at-Takwil akn tetapi setelah dilakukan penelitian kembali ternyata karya tersebut merupakan karya individu As-Sinkily, yang di dalamnya banyak mengungkapkan atau mengutip dari tiga karya tafsir yaitu Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Baidhawy dan Tafsir al-Khazin.
Sebagai sebuah catatan bahwa perkembangan tafsir pada abad ini tidak terlepas dari pengaruh popularitas kitab Tafsir al-Jalalain yang merupakan buah karya gabungan dari Imam Jalauddin al-Mahhaly dan Jalaluddin As-Syuthy.
Perkembangan Tafsir Di Indonesia Pada Abad Pra-Moderen
Pada periode ini perkembangan tafsir al-Qur’an cenderung melemah sehingga bukan berarti tidak meningkat, hanya saja dari segi penulisan boleh dikatakan bahwa karya tafsir pada peride ini tidak ada.
Jika pada periode sebelumnya –peride pertengahan- tulisan-tulisan dan karya-karya dalam bidang tafsir telah ada bahkan telah dterbitkan, namun pada periode ini tidak ditemukan sepucuk karya pun dalam bidang tafsir, yang ada hanyalah pengkajian al-Qur’an lewat majlis-majlis yang ada dirumah-rumah atau di suarau-surau yang sifatnya terbatas.
Secara logika sebenarnya kenyataan ini tidak dapat di cerna sebab pada abad sebelumnya terdapat karya yang bersifat monumental dalam bidang tafsir seperti karaya Abdurrauf Singkel namun pada periode ini tidak terdapat satu pun karya yang dapat dikatakan lebih ko,prehensif dan lebih kritis dari karya-karya yang sebelumnya.
Kenyataan ini sebenarnya lebih diakibatkan oleh faktor keadaan yang terjadi pada masa ini, dimana pada peride ini Belanda berhasil mengencangkan cengkramannya di berbagai tempat di Indonesia, bahkan tidak sedikit diantara para ulama yang ada pada masa tersebut berada diantara dua bentuk aktifitas disisi lain mereka harus mengajarkan Islam kepada para generasi muda harapan bangsa, dan pada sisi yang lain pula mereka harus berjuang mempertahankan harkat dan martabat Negara agar tidak dicaplok oleh kekuasaan Belanda.
Kesibukan inilah yang menyebabkan para ulama yang ada pada masa pra-modern tidak mampu menorehkan pemahamn mereka terhadap al-Qur’an dengan tinta di atas kertas, sebab mereka harus berhadapan dengan kekuatan Belanda yang secara structural telah mengasai Indonesia yang pemerintahannya pada masa itu disebut dengan masa pemerintahan Hindia-Belanda.
Perkembangan Tafsir Di Indonesia Pada Abad Moderen
Periode ini dapat dibagi ke dalam empat bagian, yaitu; pertama, periode 1900-1950 M, kedua, periode 1951-1980, ketiga, 1981-1990 dan keempat 1990-sekarang.
Periode 1900-1950 M
Kemajuan tafsir pada paruh pertama ini tidak bisa dilepaskan dari geraka pembaruan yang dilakukan oleh ulama-ulama Reformis di Timur Tengah semisal Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, Jamaluddin al Afghani dan Muhammad Abduh. Pemikiran-pemiran mereka mengilhami ulama Nusantara untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan organisasi yang diharapkan dapat menyatukan langkah dan menggalang kekompakan di antara pengikut mereka dalam rangka mencapai tuujuan.
Akan tetapi kajian al Qur’an yang dilakukan oleh ulama-ulama tersebut masih terbatas pada beberapa kitab tertentu yang sama dengan periode sebelumnya sekalipun sebenarnya sudah mulai ada upaya membahas kitab-kitab tafsir yang lain. Demikian pula dengan metode dan tempat pengkajiannya sudah mulai lebih maju karena bukan lagi terbatas di surau atau pesantren saja namun sudah masuk dalam lingkungan sekolah dan kelas sehingga pengajarannya sudah mulai sistematis.
Kaitannya dengan produktivitas ulama, sekalipun masih ada bias periode pertengahan (penjajahan Belanda) namun ternyata ulama sudah kembali tumbuh semangat menulisnya sehingga ditemukan ada beberapa kitab tafsir karya ulama Indonesia. Misalnya A. Hassan dengan Al-Furqan fi Tafsir Qur’an, Iskandar Idris dengan Tafsir Hibarna, Prof. Dr. Mahmud Yunus dengan Tafsir Qur’an Karim, dan beberapa kitab lainnya.
Periode 1951-1980
Memasuki kurun waktu kedua ini, studi al Qur’an semakin berkembang disebabkan oleh –paling tidak- tiga hal. Pertama, Indonesia telah memploklamirkan kemerdekaannya, kedua, didirikannya perguruan tinggi, dan ketiga, tingkat intelektual makin membaik. Karena itulah pengajaran tafsir sudah mulai dilakukan secara formal.
Hal ini pun memberi dampak positif dalam pengembangan metodologi penyajian dan penulisan tafsir, sehingga metode yang digunakan tidak lagi terbatas dengan metode global namun sudah muncul metode-metode yang lain, berupa muqaran, tahlili dan tematik. Hal itu terlihat dengan banyaknya karangan-karangan ulama Indonesia, seperti Tafsir al Azhar oleh Buya Hamka dalam bentuk Tafsir Adby Ijtima’i, Tafsir al Bayan dan al Nur oleh Hasbi ash-Shiddiqi, Tafsir Sinar oleh Malik Ahmad, dan beberapa ulama yang lain. Bahkan bukan hanya itu, pengkajian al Qur’an pun sudah ada yang memformatnya dalam bentuk tulisan bernilai sastra, prosa, essay, dan beberapa bentuk yang lain sesuai dengan kapasitas masing-masing ulama
Periode 1981-1990
Paruh ketiga ini sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda dengan paruh kedua di atas, hanya saja pembagian ini dilakukan untuk membedakan system pengajaran dan produktivitas tafsir. Karena pada periode ini semakin dibuka program S2 dan S3 sebagai upaya untuk menghasilkan karya tafsir yang lebih berkualitas. Hal itu terlihat pada metode dan cara berpikir ilmiah yang sistematis dan logis pada kedua program tersebut dan tidak ditemukan pada program S1. Di mana mereka diajarkan berbagai macam metodologi penafsiran sehingga mereka dituntut untuk mengkaji al Qur’an secara mandiri sesuai dengan kapasitas mereka sebagai pelajar dan pengkaji al Qur’an.
Berdasarkan hal tersebut, maka kebanyakan yang muncul pada paruh ketiga ini adalah, karya-karya yang terkait dengan metodologi dan atau berupa tafsir-tafsir tematik.
Periode 1990-sekarang
Pada priode ini bermunculanlah berbagai bentuk analisis terhadap penafsiran al-Qur’an dimana para ulama Indonesia berusaha menggali al-Qur’an secara komprehensif baik yang bersifat analitik maupun yang bersifat tematik dan ringkasan
Diantara karya-karay ulama Indonesia yang muncul dan bersifat anlitik -tematik (tahlili Maudhu’i) pada periode ini adalah Tafsir al-Misbah karya Prof. Dr Qurash Shihab yang menafsirkan ayat-ayat per-ayat dalam bentuknya tersendiri yang mengacu kepada tiga kitab tafsir standar yaitu Tafsir at-Thabary, Tafsir al-Qurthuby, Tafsir Ibnu Katsir. Dan diantara karya yang lain adalah Tafsir al-Qur’an Kontemporer yang mengkaji al-Qur’an berdasarkan kebutuhan masa sekarang. Dan banyak lagi karya lainnya yang tidak dapat kai sebutkan satu persatu.
Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar