Rabu, 27 April 2011

ILMU ’ILAL HADITS

oleh Abu Al-jauzaa
’Ilal adalah jamak dari ’ilah yang berarti “penyakit”. ’Illah menurut istilah ahli hadits adalah suatu sebab yang tersembunyi yang dapat mengurangi status keshahihan hadits, padahal dhahirnya tidaknampak kecacatan.
Sedangkan ilmu ’ilal hadits adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab tersembunyi dan tidak nyata, yang dapat merusakkan hadits. Seperti : menyambung yang munqathi’, me-marfu’-kan yang mauquf, memasukkan suatu hadits ke dalam hadits yang lain, menempatkan sanad pada matan yang bukan semestinya, dan yang serupa itu. Semuanya ini, bila diketahui, dapat merusakkan keshahihan hadits.
Ilmu ini adalah ilmu yang tersamar bagi banyak ahli hadits.Ia dapat dikatakan jenis ilmu hadits yang paling dalam dan rumit, bahkan dapat dikatakan inilah intinya yang termulia. Tidak dapat diketahui penyakit-penyakit ( ‘ilal) melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai kemampuan yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadits. Ibnu Katsir berkata,”Yang dapat meneliti ilmu ini adalah para ulama yang ahli, yang dapat membedakan antara hadits shahih dan saqim (sakit), yang lurus dan yang bengkok, sesuai tingkatan ilmu, kepandaian, dan ketelitian mereka terhadap jalan hadits, serta ketajaman perasaan pada keindahan lafadh hadits Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang tidak mungkin menyamai perkataan manusia.
Di antara beberapa riwayat hadits, ada yang asli, ada yang mengalami perubahan pada lafadh atau penambahan, atau pemalsuan, dan seterusnya. Semuanya ini hanya dapat diketahui oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang ilmu ini. Sedangkan ta’lil dapat disimpulkan dari sanad, hanya dapat ditunjuk dengan praktek, dan untuk memaparkan contoh-contohnya di sini akan terlalu panjang. (Al-Ba’itsul-Hatsits Syarh Ikhtishar Ulumil-Hadits halaman 64a).
Dari Abdurrahman bin Mahdi berkata,”Mengetahui ’ilat hadits bagiku lebih aku sukai daripada menulis sebuah hadits yang bukan milikku”. Dia juga berkata,”Mengetahui hadits adalah ilham”.
Cara mengetahui ’illah hadits adalah dengan mengumpulkan beberapa jalan hadits dan mencermati perbedaan perawinya dan ke-dlabith-an mereka, yang dilakukan oleh orang yang ahli dalam ilmu ini. Dengan cara ini akan dapat diketahui apakah hadits itu mu’tal (ada ’illat-nya) atau tidak. Jika menurut dugaan penelitinya ada ’illat pada hadits tersebut, maka dihukumi sebagai hadits yangtidak shahih.
Abu Zur’ah ditanya tentang alasannya men-ta’lil hadits, ia berkata : “Anda bertanya tentang hadits yang ada ’illat-nya, lalu aku sebutkan ’illat-nya. Kemudian Anda bertanya tentang pendapat Ibnu Darah – yaitu Muhammad bin Muslim bin Darah – lalu dia menyebutkan ’illat-nya. Kemudian bertanya lagi tentang pendapat Abu Hatim Ar-Razi, lalu dia menyebutkan ’illat-nya. Setelah itu Anda dapat membandingkan pendapat masing-masing dari kami terhadap hadits tersebut. Jika terdapat perbedaan dalam ’illat-nya, maka ketahuilah bahwa itu berarti setiap kami berbicara sesuai dengan kehendaknya. Jika terdapat persamaan, maka itulah hakikat ilmu ini”. Setelah diteliti, ternyata pendapat mereka sama. Lalu dia berkata,”Aku bersaksi bahwa ilmu ini memang sebuah ilham”.(Ma’rifatu Ulumil-Hadits jalaman 113).
Pembicaraan tentang ’illat hadits dapat dijumpai pada beberapa buku, antara lain :
1. Nashbur-Rayyah fii Tkahriiji Ahaaditsil-Hidaayah, karya Al-Hafidh Az-Zaila’i.
2. At-Talkhishul-Habiir, karya Ibnu Hajar.
3. Fathul-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, karya Ibnu Hajar juga.
4. Nailul-Authar, karya Asy-Syaukani.
5. Al-Muhalla, karya Ibnu Hazm Adh-Dhahiri.
6. Tahdzib Sunan Abi Dawud, karya Al-‘Allamah Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
Buku Terkenal dalam ’Ilal Hadits
Sebagian ulama telah mengkhususkan ’illat hadits dalam satu buku karangan, ada sebagian tersusun berdasarkan urutan bab fiqh, dan sebagian lagi berdasarkan sistematikan musnad. Namun pada umumnya, metode penyusunan karya tentang ’ilal adalah seorang syaikh menanyakan sebuah hadits dari jalan sanad tertentu, lalu menyebutkan kesalahan pada sanadnya atau matannya atau pada keduanya. Kadang pula menyebutkan sebagian jalan yang shahih sebagai pedoman dalam menjelaskan ’illat haditsyang ditanyakan. Kadang mengenalkan pada sebagian perawi dan menjelaskan keadaan mereka baik dari segi kuat dan lemahnya, dan hafalannya, serta ke-dlabith-annya. Oleh karenanya, sebagian penyusun menamakan buku mereka dengan At-Tarikh wal-‘Ilal atau Ar-Rijal wal-‘Ilal.
Diantara karya-karya tersebut adalah :
1. Kitab At-Tarikh wal-‘Ilal, karya Al-Hafidh Yahya bin Ma’in (wafat 233 H), diterbitkan dengan judul ’Ilal Al-Hadits wa Ma’rifat Ar-Rijaal.
2. Kitab ’Ilal Al-Hadits, karya Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H).
3. Kitab Al-Musnad Al-Mu’allal karya Al-Hafidh Ya’qub bin Syaibah As-Sadusi Al-Bashri (wafat 262 H).
4. Kitab Al-‘Ilal karya Imam Muhammad bin ‘Isa At-Tirmidzi (wafat 279 H).
5. Kitab ’Ilal Al-Hadits karya Imam Al-Hafidh Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi (wafat 327 H), diterbitkan atas biaya Syaikh Muhammad An-Nashif, Pustaka Salafiyyah.
6. Kitab ’Ilal Al-Waridah fil-Ahaaditsi An-Nabawiyyah karya Imam Al-Hafidh Ali bin ‘Umar Ad-Daruquthni (wafat 385 H).
Tempat-Tempat Dimana ’Illat Banyak Terdapat dan Contohnya
’Illat pada hadits erring terdapat pada hadits yang bersambung sanadnya dalam bentuk mursal, atau pada hadits marfu’ dalam bentuk mauquf, atau masuknya satu hadits pada hadits lain, atau selain itu. Hal ini dapat diketahui oleh para ahli dalam bidang ini dengan cara mengumpulkan beberapa jalan sanad dan membandingkannya.
Al-Hakim dalam kitabnya ’Ulumul-Hadits telah membagi jenis-jenis ’illat menjadi sepuluh macam, yang dinukil berikut contohnya oleh Imam As-Suyuthi dalamkaryanya Tadribur-Rawi, dengan kesimpulan sebagai berikut : Bahwa’illat terdapat pada sanad saja, atau pada matan saja, atau terdapat pada keduanya yaitu sanad dan matan.
1. Contoh ’illat pada sanad : Hadits yang diriwayatkan oleh Ya’la bin ‘Ubaid Ath-Thanafisi, dari Sufyan Ats-Tsauri, dari ‘Amr bin Dinar, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”Kedua orang yang berjual beli itu dapat melakukan khiyar (hak pilih)….” (al-hadits).
Keterangan : Sanad pada hadits ini adalah muttashil atau bersambung, diceritakan oleh orang yang ‘adil dari orang yang ‘adil pula; akan tetapi sanadnya tidak shahih karena terdapat ’illat didalamnya. Sedangkan matannya shahih.Letak ’illat-nya, karena riwayat Ya’la bin ‘Ubaid terdapat kesalahan pada Sufyan yang mengatakan : “Amru bin Dinar”, sedangkan yang benar adalah “Abdullah bin Dinar”. Demikian yang diriwayatkan oleh para imam dan huffadh dari murid-murid Sufyan Ats-Tsauri seperti : Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dakin, Muhammad bin Yusuf Al-Firyabi, dan Makhlad bin Yusuf. Mereka semua meriwayatkan dari Sufyan, dari ’Andullah bin Dinar, dari Ibnu ‘Umar; bukan Amru bin Dinar dari Ibnu ‘Umar. (Tadribur-Rawi halaman 159 dan seterusnya).
Dari Ibnu Abi Hatim berkata,”Aku pernah bertanya kepada ayahku dan kepada Abu Zur’ah pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubaidah bin Al-Aswad, dari Qasim bin Walid, dari Qatadah, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang membasu khuff. Keduanya menjawab,”Salah, yang benar diriwayatkan dari Musa bin Salamah, dari Ibnu ‘Abbas secara mauquf”. (’Ilalul-Hadits, Ibnu Abi Hatim 1/17).
2. Contoh ’illat pada matan : Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya dari riwayat Al-Walid bin Muslim : “Telah bercerita kepada kami Al-Auza’I, dari Qatadah, bahwasannya dia pernah menulis surat memberitahukan kepadanya tentang Anas bin Malik yang telah bercerita kepadnya, dia berkata,”Aku pernah shalat di belakang Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman, mereka memulainya dengan membaca : Alhamdulillaahi rabbil-‘aalamiin dengan tidak menyebut : Bismillaahir-rahmaanir-rahiim pada awal maupun akhir bacaan”
Imam Muslim jga meriwayatkan dari Al-Walid, dari Al-Auza’I, telah meberitahukan kepadaku Ishaq bin ‘Abdillah bin Abi Thalhah, bahwasanny dia mendengar Anas menyebut demikian.
Ibnush-Shalah dalam kitab ’Ulumul-Hadits berkata,”Sebagian kaummengatakan bahwa riwayat tersebut di atas (yang menafikkan bacaan basmalah) terdapat ’illat. Mereka berpendapat bahwa kebanyakan riwayat tidak menyebut basmalah tapi membaca hamdalah di permulaan bacaan, dan ini yang muttafaqun-‘alaih menurut riwayat Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya. Mereka mengatakan bahwa lafadh tersebut adalah riwayat yang dipahaminya secara maknawi, yaitu lafadh (yang artinya) : ”Mereka membuka bacaan shalat dengan membaca ‘Alhamdilillaahi rabbil-‘aalamiin’; dipahami bahwa mereka tidak membaca basmalah, maka meriwayatkan seperti apa yang dipahaminya, dan ternyata salah. Karena maknanya bahwa surat yang mereka baca adalah surat Al-Fatihah yang tidak disebutkan di dalmnya basmalah. Ditambah lagi dengan beberapa hal, yaitu : Shahabat Anas ditanya tentang iftitah dengan basmalah, lalu dia menyebutkan bahwa dia tidak mengetahui sesuatu pun dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang itu. (Tadribur-Rawi, halaman 164).
3. Contoh ’illat pada sanad dan matan : Diriwayatkan Baqiyyah dari Yunus, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”Barangsiapa mendapatkan satu raka’at dari shalat Jum’at dan shalat lainnya, maka telah mendapatkan shalatnya”. Abu Hatim Ar-Razi berkata,”Hadits ini sanad dan matannya salah. Yang benar adalah riwayat Az-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Barangsiapa yang mendapatkan satu raka’at dari shalat, maka telah mendapatkannya”. Sedangkan lafadh : ”shalat Jum’at” tidak ada dalam hadits ini. Dengan demikian terdapat ’illat pada keduanya”.
Pembukuan Hadits , Para Imam Hadits , Ilmu Hadits dan Kitab-Kitab Hadits
_____________________________ ___________
Para Sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam yang paling banyak meriwayatkan hadits antara lain :
Abu Hurairah 5374 hadits
Ibnu Umar 2630 hadits
Anas bin Malik 2286 hadits
Aisyah Ummul Mukminin 2210 hadits
Ibnu ‘Abbas 1660 hadits
Jabir bin ‘Abdullah 1540 hadits
Para Sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam yang melakukan pembukuan hadits antara lain :
1. Abdullah bin Amr bin Al-Ash (7-65H) : As-Shahifah As-Shadiqah
2. Abdullah bin Abbas (3-68H)
3. Jabir bin Abdillah Al-Anshari (16-78H) : As-Shahifah.
4. Hamam bin Munabbih (40-131H) : As-Shahifah As-Shahihah
Perintah Umar bin Abdul Aziz untuk memulai pembukuan dan pelembagaan hadits secara resmi
Khalifah Umar bin Abdul Aziz memelopori pembukuan dan pelembagaan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. secara resmi. Beliau memerintahkan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm. Perintah Umar bin Abdul Aziz sebagai berikut “
Perhatikanlah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu tulislah dia, karena sesungguhnya aku khawatir akan hilangnya ilmu dan wafatnya para ‘ulama , dan janganlah diterima kecuali hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”
(Riwayat Imam Bukhary (1/33) dan Ad-Daarimi (1/126)
Dan Ibnu Hazm selanjutnya menunjuk ulama besar yaitu Ibnu Syihab Az-Zuhri untuk melakukan pelembagaan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berdua merupakan thabaqat awal pembukuan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Hazm pulalah yang memulai dan mencetuskan ilmu Riwayatul hadits. Yakni suatu ilmu tentang meriwayatkan sabda-sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. perbuatan-perbuatannya, taqrir-taqrirnya dan sifat-sifatnya. Ilmu ini sifatnya lebih tertuju pada mengumpulkan hadits-hadits saja, tanpa memeriksa secara detail sah atau tidaknya yang orang sandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Faedah-faedah Ilmu riwayatul hadits antara lain :
1. Supaya kita dapat membedakan mana yang orang sandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mana yang disandarkan kepada selain beliau.
2. Agar supaya hadits tidak beredar dari mulut ke mulut atau dari satu tulisan ke tulisan lain tanpa sanad.
3. Agar dapat diketahui jumlah hadits yang orang sandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
4. Agar dapat diperiksa sanad dan matannya sah atau tidak.
Nama-nama ‘ulama pencatat atau perawi hadits yang mu’tabar dari generasi Tabi’in antara lain :
1. Said Ibnul Musayyab (15-94H)
2. Urwah bin Zubair (22-94H)
3. Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (Wafat th.117H)
4. Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri (50-124H)
5. Imam Nafi’ (wafat 117H)
6. Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah (Wafat 98H)
7. Salim bin Abdullah bin Umar (Wafat 106H)
8. Ibrahim bin Yazid An-Nakha’I (46-96H)
9. Amir bin Syarahil Asy-Sya’bi (19-103H)
10. Alqamah bin Qais An-Nakha’i (28-62H)
11. Muhammad bin Sirrin (33-110H)
12. Ibnu Juraij Abdul Aziz bin Juraij (Wafat 150H)
13. Said bin ‘Arubah (Wafat 156H)
14. Al Auza’i (Wafat 156H)
15. Sufyan At-Tsauri (Wafat 161H)
16. Abdullah bin Mubaarak (118-181H)
17. Hammad bin Salamah (Wafat 176H)
18. Husyaim (Wafat 188H)
Nama-nama ‘ulama pencatat atau perawi hadits yang mu’tabar dari generasi Tabi’ut Tabi’in antara lain :
1. Bukhari (194-256H) Kitab : Al-Jaami’ush Shahih atau Shahih Bukhari
2. Muslim (204-261H) Kitab : Shahih Muslim
3. Abu Dawud (202-275H) Kitab : As-Sunan Abi Dawud
4. At-Tirmidzi (209-279H) Kitab : As-Sunan At-Tirmidzi
5. An-Nasa’i (215-303H) Kitab : As-Sunan An-Nasa’i
6. Ibnu Majah (207-275H) Kitab : As-Sunan Ibnu Majah
7. Malik bin Anas (90/93-169H) Kitab : Al-Muwatha’
8. Asy Syafi’iy (150-204H) Kitab : Al Um
9. Ahmad bin Hambal (164-241H) Kitab : Al Musnad Ahmad
10. Ibnu Khuzaimah (223-311H) Kitab : Shahih Ibnu Khuzaimah
11. Ibnu Hibban (—-354H) Kitab : Shahih Ibnu Hibban
12. Hakim (320-405H) Kitab : Al Mustadrak
13. Ad-Daaruquthni (306-385H) Kitab : Sunan Daaruquthni
14. Al Baihaqiy (384-458H) Kitab : Sunan Al-Kubra
15. Ad Daarimi (181-255H) Kitabnya Sunan Ad-Daarimi
16. Abu Dawud At-Thayaalisi (—-204H) Kitab : Musnad At-Thayalisi
17. Al Humaidiy (—219H) Kitab : Musnad Al-Humaidiy
18. Ath Thabrani (260-360H) Kitab : Mu’jam Al-Kabir, Mu’jam Al-Ausath, Mu’jam As-Shagir
19. Abdurrazzaaq (126-211H) Kitab :Mushannaf Abdurrazzaaq
20. Ibnu Abi Syaibah (—-235H) Kitab : Mushannaf Ibnu abi Syaibah
21. Abdullah bin Ahmad (203-209H) Kitab : Az-Zawaaidul Musnad
22. Ibnul Jaarud (—307H) Kitab : Al-Muntaqa
23. At-Thahaawi (239-321H) Kitab : Syarah Ma’aanil Atsar, Musykilul Atsar
24. Abu Ya’la (—307H) Kitab : Musnad Abu Ya’la
25. Abu ‘awaanah (—316H) Kitab : Shahih Abu ‘Awaanah
26. Said bin Manshur (—227H) Kitab : As Sunan Said bin Manshur
27. Ibnu Sunniy (—364H) Kitab : ‘Amalul Yaum wal lailah
28. Ibnu Abi ‘Ashim (—287H) Kitab : Kitabus Sunnah, Kitab Zuhud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar