Rabu, 27 April 2011

ILMU ILAL AL-HADIST DAN HADIST MU’ALLAL

A.Definisi
Ilmu ilal al-hadist berasal dari kata illat, yang mana secara etimologi kata illat berarti “al maradh” (penyakit).Sedangkan secara terminologi kata illat menurut para muhadditsin yaitu: “suatu sebab yang tersembunyi yang dapat membuat cacat suatu hadist meski secara lahiriyah dapat terhindar darinya”
Kesimpulannya ilmu ilal al-hadist adalah: ilmu yang membahas tentang sebab-sebab yang samar samar lagi tersembunyi dari segi membuat kecacatan suatu hadist.Seperti memutthasilkan (menganggap bersambung) sanad suatu hadist yang sebenarnya sanad itu munqhati’ (terputus), merofa’kan (mengangkat sampai kepada nabi) berita yang mauquf (yang berakhir kepada sahabat), menyisipkan suatu hadist yang lain, meruwetkan sanad dengan matannya atau lain sebagainya.
Sedangkan hadist-hadist yang terkena illat atau yang berillat disebut dengan hadist muallal (ma’lul).
B. Macam-macam illat hadist
Menurut Al hakim Abu Abdillah illat hadist dibagi menjadi 10 yaitu:
1. Me-mutthashilkan sanad hadist yang munqhoti’.
2. Me marfu’kan hadist yang mursal.
Contoh: hadist Qaishah bin Uqbah bersanad Sufyan Khalid bin Kazdzda’i, Ashim dan Abu Qilabah yang diriwayatkan secara marfu’ kepada Nabi:
ارحمم امتيي بامتي ابوو بكر وواشدهم في امرر الله عمرواصددقهم حياءعثمان واقراهم لكتاباللهااببي بن كعب واقررضهم زيد بن ثابت واعلمهم بالحلال والحرام معاذ ابن جبل
“Sekasih-kasih ummatku terhadap ummatku adalah Abu Bakar, sekeras keras ummat dalam melakukan ketentuan Allah adalah Umar, sebenar-benar ummat yang pemalu adalah Utsman, sefasih-fasih orang untuk membaca kitab Allah adalah Ubay ibn Ka’ab, sepintar-pintar orang dalam ilmu faro’idh adalah Zaid ibn Stabit dan sepandai-pandai orang dalam hal halal dan haram adalah Muadz ibn Jabal”
Seorang perawi yang bernama Habisyah dia mengaku menerima hadist dari Sufyan dari Khalid al Hadzdza’i dari Ashim dari Abu Kilabah dan yang terakhir dia mengatakan menerima dari Nabi Muhammad SAW.
Akan tetapi sebenarnya yang menerima hadist ini adalah sahabat Anas bin Malik r.a yaitu: dari Atturmudzi mentakhrijkan melalui sanad-sanad Sufyan bin Waki’, Humad bin Abdurrahman, Dawud al-Athar, Ma’mar, Qotadah dan Anas bin Malik r.a. jelaslah sekarang sahabat Abu Qilabah menggugurksn (mengirsalakan) sahabat Anas bin Malik r.a.
3. Mensyadzkan hadist yang mahfudh.
Contoh: hadist Musa bin Uqbah yang diterima dari Abu Ishaq dari Burdah dari ayahnya, yaitu abu Musa al asy’ari.
انه ليغان علي قلبي واني للاستغفرالله في اليوم مماءة مراة
“Sesungghnya hatiku telah terpesona dan dalam keadaan yang demikan itu sungguh aku meminta ampun kepada Allah dalam waktu sehari (saja) seratus kali.”
Hadist ini ditakhrij oleh Musa bin Uqbah yang bersanad Abi Ishaq, Abu Burdah dan ayahnya, yaitu abu Musa al asy’ari r.a adalah syadz.
Akan tetapi setelah diadakan penelitian menunjukkan bahwa Imam Muslim mentakhrij hadist tersebut melalui sanad-sanad Yahya bin Yahya dan Qutaibah dari Hammad bin Zaid, dari Stabit, dari Abu Burdah dari al Gharr al Muzanny r.a dari Rasulullah SAW.
Jadi sangat jelas bahwasanya hadist Musa bin Uqbah adalah syadz dan hadist muslim adalah lebih stiqat (mahfudh).
4. Mewahamkan sanad yang mahfudh
Contoh: Hadist yang di takhrij oleh Al asykari yang bersanad Zuhair bin Muhammad, Usman bin Sulaiman dari ayahnya yang mengatakan:
انه سمع رسول الله صلي لله عليه وسلم يقرافي المغرب بالطور
Bahwa ia mendengar Rasulullah SAW membaca surat At thur pada waktu shalat maghrib.
Adapun hadist ini di takhrij oleh Al asykari dengan sanad Zuhair bin Muhammad. Usman bin Sulaiman dari ayahnya.
Sedangkan menurut para Muhadditsin sahabat yang meriwayatkan hadist ini adalah Jubair bin Muth’im.
Imam Bukhari mentakhrij hadist Jubair bin Muth’im melalui sanad sanad: Abdullah bin Yunus, Malik, Ibnu Syihab, Muhammad bin Jubair bin Muth’im.
Nyatalah sekarang karena Sulaiman adalah seorang tabi’iy, dia tidak mungkin mendengar langsung dari Rasulullah tanpa seorang sahabat yang hidup sezaman dan bertemu dengan Rasulullah.
5. Meriwayatkan secara an’anah suatu hadist yang sanadnya telah digugurkan seorang atau beberapa orang
Contoh: Hadist yang diriwayatkan melalui Yunus dari Ibnu Syihab dari Ali bin Husain dari seorang laki laki Anshar yang mengatakan:
انهم كانو مع رسو ل الله صللي الله عليه وسلم ذات ليلة فرمى بنجم فاستنار
“Konon orang-orang Anshar besama-sama dengan Rasulullah SAW pada suatu malam, tiba tiba beliau kejatuhan bintang (melihat bintang jatuh), hingga kesilauan”.
Hadist yang melalui periwayatan Yunus yang diterima dari Ibnu Shihab dari Ali bin Al Husain yang mengatakan bahwa Ali menerimanya dari orang Anshar ini adalah ma’lul.
Dalam hadits ini terdapat illat yaitu: Yunus mengugurkan seorang sanad yaitu, Ibnu Abbas r.a kemudian dia meriwayatkan menggunakan kata “an” (dari). Padahal sebenarnya hadist tersebut diriwayatkan oleh seorang sahabat Ibnu Abbas r.a
6. Melawani pengisnadan rawi yang lebih stiqah.
Contoh: Hadist Umar bin Khattab r.a yang bertanya kepada rasulullah SAW ujarnya:
يارسول الله ما لك افصحنا
“Wahai Rasulullah, apakah engkau mempunyai sesuatu yang dapat menfasihkan kami?..... Dan seterusnya
Hadist ini diriwayatkan oleh orang orang yang stiqah dari Ali bin Alhusain bin Waqid dari ayahnya (waqid) dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya dari Umar bin Khattab r.a. hadist ini adalah hadist mahfudh yang dilawani sanadnya
Sedangkan hadist yang diriwayatkan Ali bin Khasyram dari Ali bin al Husain bin Waqib dari Umar bin Khattab r.a adalah hadist yang ma’lul. Illatnya terletak pada Ali bin al Khasyram yang menyandarkan periwayatannya dengan mengatakan “Haddatsanaali bin al Husain bin Waqid, ballaghany an Umar bin Khattab r.a (telah bercerita kepadaku Ali bin al Husain bin Waqid, telah sampai kepadaku dari Umar)” kata haddasana itu mberikan pemahaman kepada kita kepastian pertemuan antara rawi dengan guru.
7. Mentadhlish syuyukhkan hadist yang mahfudh.
Contoh: Hadist Abu Dawud yang bersumber dari sahabat Abu Hurairah r.a yang diriwayatkan secara marfu’.
المؤمن غر كريم والفاجر خب لءيم
“Orang mu’min itu adalah orang yang mulia lagi dermawan, sedang orang fasik itu adalah perusak yang pemberani”
Hadist Abu Dawud yang bersanad: Nasir bin Ali, Abu Ahmad, Sufyan dan Abu Hurairah r.a adalah ma’lul, karena di dalam sanadnya terdapat seorang laki laki yang tidak di sebut namanya (mubham) sehingga sulit untuk di ketahui identiasnya.
8. Mentadlish isnadkan hadist yang mahfudh.
Contoh:
كان رسول الله صلي الله عليه وسلم اذا افطر عند قوم قال لهم:افطر عندكم الصاءمون واكل كعامكم الابرار وتنزلت الملا ءكة

Konon Rasulullah saw bila berbuka disisi suatu kaum beliau bersabda kepada mereka: “Disampingmu, orang orang yang berpuasa ikut berbuka, orang orang yang baik ikut menikmati makananmu dan para Malaikat pembawa rahmat turun menyampaikan rahmat”.
Illat yang terdapat pada hadist ini adalah pada Yahya bin Katsir, sebenarnya ia mendengar dari orang Bashrah yang bernama Amr bin Zabib . Meskipun Yahya bin Katsir banyak meriwayatkan hadist dari Anas bin Malik namun hadist ini tidak ia terima Anas bin Malik.Pembajakan pemberitan inilah yang menjadikan cacat hadist itu.
9. Mengisnadkan secara waham suatu hadist yang sudah musnad.
Contoh:
كان رسول الله صليي لله عليه وسلم اذا افتتح الصلاة قال سبحانك اللهم وبحمدك تبارك اسمك وتعالي جدك ولاا اله غيرك
Konon Rasulullah saw bila membaca iftitah (do’a antara takbiratul ihram dengan bacaan Al fatihah) membaca maha suci engkau dan dengan pujian-Mu aku menyucikan engkau, yang maha memberkahi nama-Mu, maha tinggi keagungan-Mu dan tiada tuhan sekain engkau.”
Hadist ini sudah mempunyai sanad tertentu akan tetapi salah seorang rawinya meriwayatkan hadist tersebut dari dari sanad lain di luar sanad yang sudah tertentu itu secara waham (duga-duga).
10. Memauqufkan hadist yang marfu’ .
C. Ulama’ yang ahli dalam bidannya dan kitab-kitab ilal al-hadist.
Adapun kitab-kitab karangan ahli dalam bidang ilamu ilal al-hadist yaitu:
Kitab-kitab yang muncul sebelum abad IV antara lain:
1. At-tkarikh wal ilal, karya Imam Al-Hafidh Yahya bin Ma’an (253-233 H).
2. Ilalul hadist, karya Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).
3. Al-musnadul-mu’allal, karya Al-Hafidh Ya’qub bin Syaibah as –Sudusy Al bashri (182-279 H).
4. Al-ilal, karya Imam Muhammad bin Isa At-Turmudzy (209-279 H).

Kemudian kitab-kitab ilalul hadist yang lahir sdudah abad tersebut yaitu:
1. Ilalul hadist, karya Al hafidh Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Razy (204-327 H). Kitab ini terdiri dari dua jilid dan dicetak di Mesir pada tahun 1343 H.
2. Al ilal Al waridhah fil Ahadistin nabawiyah, karya Al hafidh Ali bin Umar Ad Dharuquthi (306-375 H). Kitab ini sudah mencakup seluruh tulisan dalam ilmu ilalul hadist yang telah disusun oleh ulama-ulama yang mendahuluinya. Dan ini terdiri dari 12 jilid.
D. Cara mengetahui illat pada hadist
Untuk mengetahui illat dalam suatu hadist memang sangatlah sulit, orang yang mampu mengetahui hal ini hanyalah orang-orang yang benar-benar memiliki pemahaman yang sangat mendalan dan mempunyai hafalan yang kuat dan luas.Oleh sebab itu, Abdurrahman ibn Mahdy berkata ”mengetahui illat satu hadist menurutku lebih aku sukai dari pada menulis sepuluh hadist (yang tidak aku ketahui). Ibnu Shalah juga berkata” pengetahuan tentang illat-illat hadist merupakan ilmu yang paling agung, paling pelik dan paling mulia. Yang bisa mendalaminya hanyalah ahli hafalan, cermat dan pemahaman yang mendalam ”
Dalam meneliti dan menela’ah illat yang terdapat pada hadist kita harus melihat riwayat riwayat para perawi, kemampuannya dan keahliannya dalam meriwayatkan sebuah hadist.
Adapun illat yang terdapat dalam sebuah hadist terdapat pada dua bagian yaitu:
• Sanad
• Matan dan
• Sanad dan matan bersama-sama.

a. Illat yang terdapat pada sanad ini lebih banyak terjadi dari pada illat yang teredapat pada matan. Illat pada sanad ini kadang terjadi pada sanad saja dan ada pula yang perpengaruh pada matan, disebabkan oleh seorang rawinya.
b. Kemudian sebaliknya illat yang terdapat pada matan ini tidak sebanyak illat yang terdapat pada sanad. Ada hadist yang berillat pada sanad saja dan matannya tidak terdapat illat, akan tetapi hadist yang berillat pada matan pasti pada sanadnya juga terdapat illat karena disebabkan oleh rawi yang menyisipkan perkataannya pada matan tersebut.
c. Yang terakhir illat yang terdapat pada sanad danh matan sebuah hadist ini dapat berpengaruh dan mencacatkan sanad dan matan hadist.
E. Hukum meriwayatkannya
Hukum meriwayatkan hadist Muallal adalah sama dengan hadist mursal, hadist munqhoti’ dan hadist mauquf, karena hadist muallal mngirsalkan hadist yang mutthasil, mewashalkan hadist yang munqhati’ dan memauqufkan hadist yang marfu’.




























BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat kita simpulkan yaitu:
• Ilmu ilal al hadist adalah: ilmu yang mempelajari cara-cara mengetahui cacat (illat) yang terdapat pada sebuah hadist.
• Macam-macam ilmu ilal al hadist yaitu:
1. Memauqufkan hadist yang marfu’
2. Mengisnadkan secara waham suatu hadist yang sudah musnad
3. Mentadlish isnadkan hadist yang mahfudh
4. Mentadhlish syuyukhkan hadist yang mahfudh
5. Melawani pengisnadan rawi yang lebih stiqah
6. Meriwayatkan secara an’anah suatu hadist yang sanadnya telah digugurkan seorang atau beberapa orang
7. Mewahamkan sanad yang mahfudh
8. Mensyadzkan hadist yang mahfudh
9. Me-mutthashilkan sanad hadist yang munqhoti’.
10. Me marfu’kan hadist yang mursal
• Illat yang terdapat pada hadist ada tiga bagian yaitu:
1. Pada sanad
2. Pada matan dan
3. Pada sanad dan matan
B. Saran dan do’a
Kami sangat menyadari bahwasanya makalah yang kami buat ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami mengharap dan membuka saran dan kritik bagi seluruh pembaca dengan tujuan mencapai kesempurnaan bersama.
Dan semoga makalah yang kami buat ini bermanfat dan barokah bagi kita semua amien amien ya rabbal alamien…..

ILMU ’ILAL HADITS

oleh Abu Al-jauzaa
’Ilal adalah jamak dari ’ilah yang berarti “penyakit”. ’Illah menurut istilah ahli hadits adalah suatu sebab yang tersembunyi yang dapat mengurangi status keshahihan hadits, padahal dhahirnya tidaknampak kecacatan.
Sedangkan ilmu ’ilal hadits adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab tersembunyi dan tidak nyata, yang dapat merusakkan hadits. Seperti : menyambung yang munqathi’, me-marfu’-kan yang mauquf, memasukkan suatu hadits ke dalam hadits yang lain, menempatkan sanad pada matan yang bukan semestinya, dan yang serupa itu. Semuanya ini, bila diketahui, dapat merusakkan keshahihan hadits.
Ilmu ini adalah ilmu yang tersamar bagi banyak ahli hadits.Ia dapat dikatakan jenis ilmu hadits yang paling dalam dan rumit, bahkan dapat dikatakan inilah intinya yang termulia. Tidak dapat diketahui penyakit-penyakit ( ‘ilal) melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai kemampuan yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadits. Ibnu Katsir berkata,”Yang dapat meneliti ilmu ini adalah para ulama yang ahli, yang dapat membedakan antara hadits shahih dan saqim (sakit), yang lurus dan yang bengkok, sesuai tingkatan ilmu, kepandaian, dan ketelitian mereka terhadap jalan hadits, serta ketajaman perasaan pada keindahan lafadh hadits Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang tidak mungkin menyamai perkataan manusia.
Di antara beberapa riwayat hadits, ada yang asli, ada yang mengalami perubahan pada lafadh atau penambahan, atau pemalsuan, dan seterusnya. Semuanya ini hanya dapat diketahui oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang ilmu ini. Sedangkan ta’lil dapat disimpulkan dari sanad, hanya dapat ditunjuk dengan praktek, dan untuk memaparkan contoh-contohnya di sini akan terlalu panjang. (Al-Ba’itsul-Hatsits Syarh Ikhtishar Ulumil-Hadits halaman 64a).
Dari Abdurrahman bin Mahdi berkata,”Mengetahui ’ilat hadits bagiku lebih aku sukai daripada menulis sebuah hadits yang bukan milikku”. Dia juga berkata,”Mengetahui hadits adalah ilham”.
Cara mengetahui ’illah hadits adalah dengan mengumpulkan beberapa jalan hadits dan mencermati perbedaan perawinya dan ke-dlabith-an mereka, yang dilakukan oleh orang yang ahli dalam ilmu ini. Dengan cara ini akan dapat diketahui apakah hadits itu mu’tal (ada ’illat-nya) atau tidak. Jika menurut dugaan penelitinya ada ’illat pada hadits tersebut, maka dihukumi sebagai hadits yangtidak shahih.
Abu Zur’ah ditanya tentang alasannya men-ta’lil hadits, ia berkata : “Anda bertanya tentang hadits yang ada ’illat-nya, lalu aku sebutkan ’illat-nya. Kemudian Anda bertanya tentang pendapat Ibnu Darah – yaitu Muhammad bin Muslim bin Darah – lalu dia menyebutkan ’illat-nya. Kemudian bertanya lagi tentang pendapat Abu Hatim Ar-Razi, lalu dia menyebutkan ’illat-nya. Setelah itu Anda dapat membandingkan pendapat masing-masing dari kami terhadap hadits tersebut. Jika terdapat perbedaan dalam ’illat-nya, maka ketahuilah bahwa itu berarti setiap kami berbicara sesuai dengan kehendaknya. Jika terdapat persamaan, maka itulah hakikat ilmu ini”. Setelah diteliti, ternyata pendapat mereka sama. Lalu dia berkata,”Aku bersaksi bahwa ilmu ini memang sebuah ilham”.(Ma’rifatu Ulumil-Hadits jalaman 113).
Pembicaraan tentang ’illat hadits dapat dijumpai pada beberapa buku, antara lain :
1. Nashbur-Rayyah fii Tkahriiji Ahaaditsil-Hidaayah, karya Al-Hafidh Az-Zaila’i.
2. At-Talkhishul-Habiir, karya Ibnu Hajar.
3. Fathul-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, karya Ibnu Hajar juga.
4. Nailul-Authar, karya Asy-Syaukani.
5. Al-Muhalla, karya Ibnu Hazm Adh-Dhahiri.
6. Tahdzib Sunan Abi Dawud, karya Al-‘Allamah Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
Buku Terkenal dalam ’Ilal Hadits
Sebagian ulama telah mengkhususkan ’illat hadits dalam satu buku karangan, ada sebagian tersusun berdasarkan urutan bab fiqh, dan sebagian lagi berdasarkan sistematikan musnad. Namun pada umumnya, metode penyusunan karya tentang ’ilal adalah seorang syaikh menanyakan sebuah hadits dari jalan sanad tertentu, lalu menyebutkan kesalahan pada sanadnya atau matannya atau pada keduanya. Kadang pula menyebutkan sebagian jalan yang shahih sebagai pedoman dalam menjelaskan ’illat haditsyang ditanyakan. Kadang mengenalkan pada sebagian perawi dan menjelaskan keadaan mereka baik dari segi kuat dan lemahnya, dan hafalannya, serta ke-dlabith-annya. Oleh karenanya, sebagian penyusun menamakan buku mereka dengan At-Tarikh wal-‘Ilal atau Ar-Rijal wal-‘Ilal.
Diantara karya-karya tersebut adalah :
1. Kitab At-Tarikh wal-‘Ilal, karya Al-Hafidh Yahya bin Ma’in (wafat 233 H), diterbitkan dengan judul ’Ilal Al-Hadits wa Ma’rifat Ar-Rijaal.
2. Kitab ’Ilal Al-Hadits, karya Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H).
3. Kitab Al-Musnad Al-Mu’allal karya Al-Hafidh Ya’qub bin Syaibah As-Sadusi Al-Bashri (wafat 262 H).
4. Kitab Al-‘Ilal karya Imam Muhammad bin ‘Isa At-Tirmidzi (wafat 279 H).
5. Kitab ’Ilal Al-Hadits karya Imam Al-Hafidh Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi (wafat 327 H), diterbitkan atas biaya Syaikh Muhammad An-Nashif, Pustaka Salafiyyah.
6. Kitab ’Ilal Al-Waridah fil-Ahaaditsi An-Nabawiyyah karya Imam Al-Hafidh Ali bin ‘Umar Ad-Daruquthni (wafat 385 H).
Tempat-Tempat Dimana ’Illat Banyak Terdapat dan Contohnya
’Illat pada hadits erring terdapat pada hadits yang bersambung sanadnya dalam bentuk mursal, atau pada hadits marfu’ dalam bentuk mauquf, atau masuknya satu hadits pada hadits lain, atau selain itu. Hal ini dapat diketahui oleh para ahli dalam bidang ini dengan cara mengumpulkan beberapa jalan sanad dan membandingkannya.
Al-Hakim dalam kitabnya ’Ulumul-Hadits telah membagi jenis-jenis ’illat menjadi sepuluh macam, yang dinukil berikut contohnya oleh Imam As-Suyuthi dalamkaryanya Tadribur-Rawi, dengan kesimpulan sebagai berikut : Bahwa’illat terdapat pada sanad saja, atau pada matan saja, atau terdapat pada keduanya yaitu sanad dan matan.
1. Contoh ’illat pada sanad : Hadits yang diriwayatkan oleh Ya’la bin ‘Ubaid Ath-Thanafisi, dari Sufyan Ats-Tsauri, dari ‘Amr bin Dinar, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”Kedua orang yang berjual beli itu dapat melakukan khiyar (hak pilih)….” (al-hadits).
Keterangan : Sanad pada hadits ini adalah muttashil atau bersambung, diceritakan oleh orang yang ‘adil dari orang yang ‘adil pula; akan tetapi sanadnya tidak shahih karena terdapat ’illat didalamnya. Sedangkan matannya shahih.Letak ’illat-nya, karena riwayat Ya’la bin ‘Ubaid terdapat kesalahan pada Sufyan yang mengatakan : “Amru bin Dinar”, sedangkan yang benar adalah “Abdullah bin Dinar”. Demikian yang diriwayatkan oleh para imam dan huffadh dari murid-murid Sufyan Ats-Tsauri seperti : Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dakin, Muhammad bin Yusuf Al-Firyabi, dan Makhlad bin Yusuf. Mereka semua meriwayatkan dari Sufyan, dari ’Andullah bin Dinar, dari Ibnu ‘Umar; bukan Amru bin Dinar dari Ibnu ‘Umar. (Tadribur-Rawi halaman 159 dan seterusnya).
Dari Ibnu Abi Hatim berkata,”Aku pernah bertanya kepada ayahku dan kepada Abu Zur’ah pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubaidah bin Al-Aswad, dari Qasim bin Walid, dari Qatadah, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang membasu khuff. Keduanya menjawab,”Salah, yang benar diriwayatkan dari Musa bin Salamah, dari Ibnu ‘Abbas secara mauquf”. (’Ilalul-Hadits, Ibnu Abi Hatim 1/17).
2. Contoh ’illat pada matan : Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya dari riwayat Al-Walid bin Muslim : “Telah bercerita kepada kami Al-Auza’I, dari Qatadah, bahwasannya dia pernah menulis surat memberitahukan kepadanya tentang Anas bin Malik yang telah bercerita kepadnya, dia berkata,”Aku pernah shalat di belakang Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman, mereka memulainya dengan membaca : Alhamdulillaahi rabbil-‘aalamiin dengan tidak menyebut : Bismillaahir-rahmaanir-rahiim pada awal maupun akhir bacaan”
Imam Muslim jga meriwayatkan dari Al-Walid, dari Al-Auza’I, telah meberitahukan kepadaku Ishaq bin ‘Abdillah bin Abi Thalhah, bahwasanny dia mendengar Anas menyebut demikian.
Ibnush-Shalah dalam kitab ’Ulumul-Hadits berkata,”Sebagian kaummengatakan bahwa riwayat tersebut di atas (yang menafikkan bacaan basmalah) terdapat ’illat. Mereka berpendapat bahwa kebanyakan riwayat tidak menyebut basmalah tapi membaca hamdalah di permulaan bacaan, dan ini yang muttafaqun-‘alaih menurut riwayat Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya. Mereka mengatakan bahwa lafadh tersebut adalah riwayat yang dipahaminya secara maknawi, yaitu lafadh (yang artinya) : ”Mereka membuka bacaan shalat dengan membaca ‘Alhamdilillaahi rabbil-‘aalamiin’; dipahami bahwa mereka tidak membaca basmalah, maka meriwayatkan seperti apa yang dipahaminya, dan ternyata salah. Karena maknanya bahwa surat yang mereka baca adalah surat Al-Fatihah yang tidak disebutkan di dalmnya basmalah. Ditambah lagi dengan beberapa hal, yaitu : Shahabat Anas ditanya tentang iftitah dengan basmalah, lalu dia menyebutkan bahwa dia tidak mengetahui sesuatu pun dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang itu. (Tadribur-Rawi, halaman 164).
3. Contoh ’illat pada sanad dan matan : Diriwayatkan Baqiyyah dari Yunus, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”Barangsiapa mendapatkan satu raka’at dari shalat Jum’at dan shalat lainnya, maka telah mendapatkan shalatnya”. Abu Hatim Ar-Razi berkata,”Hadits ini sanad dan matannya salah. Yang benar adalah riwayat Az-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Barangsiapa yang mendapatkan satu raka’at dari shalat, maka telah mendapatkannya”. Sedangkan lafadh : ”shalat Jum’at” tidak ada dalam hadits ini. Dengan demikian terdapat ’illat pada keduanya”.
Pembukuan Hadits , Para Imam Hadits , Ilmu Hadits dan Kitab-Kitab Hadits
_____________________________ ___________
Para Sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam yang paling banyak meriwayatkan hadits antara lain :
Abu Hurairah 5374 hadits
Ibnu Umar 2630 hadits
Anas bin Malik 2286 hadits
Aisyah Ummul Mukminin 2210 hadits
Ibnu ‘Abbas 1660 hadits
Jabir bin ‘Abdullah 1540 hadits
Para Sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam yang melakukan pembukuan hadits antara lain :
1. Abdullah bin Amr bin Al-Ash (7-65H) : As-Shahifah As-Shadiqah
2. Abdullah bin Abbas (3-68H)
3. Jabir bin Abdillah Al-Anshari (16-78H) : As-Shahifah.
4. Hamam bin Munabbih (40-131H) : As-Shahifah As-Shahihah
Perintah Umar bin Abdul Aziz untuk memulai pembukuan dan pelembagaan hadits secara resmi
Khalifah Umar bin Abdul Aziz memelopori pembukuan dan pelembagaan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. secara resmi. Beliau memerintahkan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm. Perintah Umar bin Abdul Aziz sebagai berikut “
Perhatikanlah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu tulislah dia, karena sesungguhnya aku khawatir akan hilangnya ilmu dan wafatnya para ‘ulama , dan janganlah diterima kecuali hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”
(Riwayat Imam Bukhary (1/33) dan Ad-Daarimi (1/126)
Dan Ibnu Hazm selanjutnya menunjuk ulama besar yaitu Ibnu Syihab Az-Zuhri untuk melakukan pelembagaan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berdua merupakan thabaqat awal pembukuan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Hazm pulalah yang memulai dan mencetuskan ilmu Riwayatul hadits. Yakni suatu ilmu tentang meriwayatkan sabda-sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. perbuatan-perbuatannya, taqrir-taqrirnya dan sifat-sifatnya. Ilmu ini sifatnya lebih tertuju pada mengumpulkan hadits-hadits saja, tanpa memeriksa secara detail sah atau tidaknya yang orang sandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Faedah-faedah Ilmu riwayatul hadits antara lain :
1. Supaya kita dapat membedakan mana yang orang sandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mana yang disandarkan kepada selain beliau.
2. Agar supaya hadits tidak beredar dari mulut ke mulut atau dari satu tulisan ke tulisan lain tanpa sanad.
3. Agar dapat diketahui jumlah hadits yang orang sandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
4. Agar dapat diperiksa sanad dan matannya sah atau tidak.
Nama-nama ‘ulama pencatat atau perawi hadits yang mu’tabar dari generasi Tabi’in antara lain :
1. Said Ibnul Musayyab (15-94H)
2. Urwah bin Zubair (22-94H)
3. Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (Wafat th.117H)
4. Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri (50-124H)
5. Imam Nafi’ (wafat 117H)
6. Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah (Wafat 98H)
7. Salim bin Abdullah bin Umar (Wafat 106H)
8. Ibrahim bin Yazid An-Nakha’I (46-96H)
9. Amir bin Syarahil Asy-Sya’bi (19-103H)
10. Alqamah bin Qais An-Nakha’i (28-62H)
11. Muhammad bin Sirrin (33-110H)
12. Ibnu Juraij Abdul Aziz bin Juraij (Wafat 150H)
13. Said bin ‘Arubah (Wafat 156H)
14. Al Auza’i (Wafat 156H)
15. Sufyan At-Tsauri (Wafat 161H)
16. Abdullah bin Mubaarak (118-181H)
17. Hammad bin Salamah (Wafat 176H)
18. Husyaim (Wafat 188H)
Nama-nama ‘ulama pencatat atau perawi hadits yang mu’tabar dari generasi Tabi’ut Tabi’in antara lain :
1. Bukhari (194-256H) Kitab : Al-Jaami’ush Shahih atau Shahih Bukhari
2. Muslim (204-261H) Kitab : Shahih Muslim
3. Abu Dawud (202-275H) Kitab : As-Sunan Abi Dawud
4. At-Tirmidzi (209-279H) Kitab : As-Sunan At-Tirmidzi
5. An-Nasa’i (215-303H) Kitab : As-Sunan An-Nasa’i
6. Ibnu Majah (207-275H) Kitab : As-Sunan Ibnu Majah
7. Malik bin Anas (90/93-169H) Kitab : Al-Muwatha’
8. Asy Syafi’iy (150-204H) Kitab : Al Um
9. Ahmad bin Hambal (164-241H) Kitab : Al Musnad Ahmad
10. Ibnu Khuzaimah (223-311H) Kitab : Shahih Ibnu Khuzaimah
11. Ibnu Hibban (—-354H) Kitab : Shahih Ibnu Hibban
12. Hakim (320-405H) Kitab : Al Mustadrak
13. Ad-Daaruquthni (306-385H) Kitab : Sunan Daaruquthni
14. Al Baihaqiy (384-458H) Kitab : Sunan Al-Kubra
15. Ad Daarimi (181-255H) Kitabnya Sunan Ad-Daarimi
16. Abu Dawud At-Thayaalisi (—-204H) Kitab : Musnad At-Thayalisi
17. Al Humaidiy (—219H) Kitab : Musnad Al-Humaidiy
18. Ath Thabrani (260-360H) Kitab : Mu’jam Al-Kabir, Mu’jam Al-Ausath, Mu’jam As-Shagir
19. Abdurrazzaaq (126-211H) Kitab :Mushannaf Abdurrazzaaq
20. Ibnu Abi Syaibah (—-235H) Kitab : Mushannaf Ibnu abi Syaibah
21. Abdullah bin Ahmad (203-209H) Kitab : Az-Zawaaidul Musnad
22. Ibnul Jaarud (—307H) Kitab : Al-Muntaqa
23. At-Thahaawi (239-321H) Kitab : Syarah Ma’aanil Atsar, Musykilul Atsar
24. Abu Ya’la (—307H) Kitab : Musnad Abu Ya’la
25. Abu ‘awaanah (—316H) Kitab : Shahih Abu ‘Awaanah
26. Said bin Manshur (—227H) Kitab : As Sunan Said bin Manshur
27. Ibnu Sunniy (—364H) Kitab : ‘Amalul Yaum wal lailah
28. Ibnu Abi ‘Ashim (—287H) Kitab : Kitabus Sunnah, Kitab Zuhud

Tafsir di Indonesia; Dari Klasik Hingga Moderen

Perkembangan Tafsir Di Indonesia Pada Masa Klasik
Pengkajian al-Qur’an di di Indonesia telah ada sejak masuknya Islam di Indonesia yang dibawa oleh sekolompok pedagang Arab dan Gujarat India. Adapun bentuk-bentuk pendekatan dalam melakukan penyebaran Islam di Indonesia lebih di dominasi oleh pendekatan sufisme, melihat agama yang dianut oleh penduduk di Indonesia – sebelum datangnya Islam – adalah agama Hindu dan budha.
Pengkajian terhadap al-Qur’an pada masa ini masih belum menemukan bentuknya yang baku, meskipun pada masa ini kitab-kitab tafsir karya para ulama dunia telah ada, namun untuk skala Indonesia, penafsiran al-Qur’an masih berada pada wilayah penjelasan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat ferbal-praktis dan penjelasan-penjelasan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pemahaman pembawa ajaran Islam dari Arab ke Nusantara.
Melihat dari kenyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada masa ini penafsiran terhadap al-Qur’an masih dalam bentuk penafsiran umum dan penjelasan terhadap al-Qur’an untuk kebutuhan dakwah Islamiyah. Sehingga untuk melacak karya-karya yang muncul pada masa ini Indonesia sangat susah disebabkan oleh beberap faktor diantaranya, pertama; bahwa tulisan pada masa itu belum begitu penting bagi masyarakat Indonesia, kedua; bahwa masyarakat Indonesia pada masa itu lebih memilih penjelasan-penjelasan praktis terhadap isi dan kandungan al-Qur’an ketimbang membaca karya-karya yang pernah ada di negeri Arab, ketiga; bahwa masayarakat yang telah memeluk Islam dari kalangan pribumi masih membutuhkan waktu untuk belajar membaca huruf-huruf Arab yang secara cultural huruf-huruf tersebut, masih tergolong asing dikalangan masyarakat Indonesia.
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri, bahwa pengaruh Arab terhadap huruf-huruf di Indonesia sangat besar, sehingga huruf-huruf yang digunakan dalam bahasa melayu pada awalnya adalah huruf-huruf Arab.
Perkembangan Tafsir Di Indonesia Pada Abad Pertengahan
Pada periode sebelumnya (periode klasik abad VII-XV) disebutkan bahwa penafsiran belum menampakkan bentuk tertentu yang mengacu pada al-Ma’sur atau al-Ra’yu karena masih bersifat umum dan masih mengandalkan ingatan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Pada periode ini sudah mulai berkenalan dengan kitab-kitab tafsir yang dibawa atau didatangakan dari Timur Tengah, seperti Kitab Tafsir Jalalain. Kitab-kitab tersebut dibacakan kepada murid-murid, lalu diterjemahkan kedalam bahasa murid (Melayu, Jawa, dan sebagainya). Dalam proses tafsir seperti ini, para guru masih terikat dengan corak tafsir yang ada dalam kitab tafsir, artinya belum ada inisiatif pengembangan pemahaman suatu ayat kecuali sebatas yang mereka pahami dari penafsiran yang sudah diberikan dalam kitab-kitab tafsir tersebut.
Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa penafsiran terhadap al-Qur’an pada abad ini berkembang dengan baik dengan terlacaknya beberapa karya ulama nusantara dalam bidang tafsir, diantara karya-karaya tersebut adalah apa yang ditulis oleh Hamzah Fansuri yang hidup antara tahun 1550-1599 karya beliau lebih kepada penerjemahan terhadap al-Qur’an ayat per-ayat dengan menggunakan komentar-komentar ringkas tentang kandungan ayat al-Qur’an yang disusun dalam bahasa melayu dengan menyelipkan beberapa syair yang sarat dengan makna-makna yang dibubuhi pemahaman tasawuf.
Diantara karya yang ada pada masa ini adalah sebuah karya yang penulisnya tidak teridentifikasi yaitu Tafsir Surah al-Kahfi sebagaimana keterangan L. Anthony H. Jhons dalam sebuah artikelnya yang dimuat dalam Melayu online.htm , menyebutkan bahwa karya tersebut manuskrip tersebut tertanggal tahun 1620. Ada yang mengidentifikasi bahwa karya tersebut kemungkinan adalah karya hamzah al-Fansury, namun ternyata tidak sebab hamzah al-Fansury wafat pada tahun 1599 sementara karya ini tertanggal 1620, pada sisi yang lain karya ini berbeda dengan karya dan corak yang digunakan oleh Hamzah al-Fansury, dimana karya ini telah menggunakan metode penafsiran yang baik, dan dapat dipastikan pula bahwa karya ini merupakan terjemahan dari tafsir al-Khazin surah al-Kahfi.
Sejalan dengan metode Hamzah al-Fansuri adalah karya yang disusun oleh Nuruddin ar-Raniry yang merupakan pendatang dari Gujarat India dan masuk ke Aceh dan mendapatkan kedudukan penting pada masa pemerintahan Sulthan Iskandar II hingga tahun 1641, akan tetapi beberapa peneliti menyebutkan, bahwa karyanya dalam bidang tafsir yang juga dibubuhi dengan pemahaman tasawwuf boleh dikatakan hilang sebab banyak karya-karyanya yang dibakar dan pengikutnya banyak yang di eksekusi, sehingga boleh jadi diatara karya-karay ar-Raniry yang terbakar tersebut adalah karya-karya tafsir. Namun ada beberapa peneliti yang menyebutkan bahwa boleh jadi tafsir Surat al-Kahfi tersebut nerupakan karya Nuruddin ar-Raniry.
Kemudian karya Abdul Rauf Singkel (1615-1690) yang diberi judul Turjumanul Mustafid ada beberapa diantara peneliti yang menyebutkan bahwa karya ini merupakan terjemahan dari karya al-Baidhawy yang berjudul Anwaru at-Tanzil wa Asrar at-Takwil akn tetapi setelah dilakukan penelitian kembali ternyata karya tersebut merupakan karya individu As-Sinkily, yang di dalamnya banyak mengungkapkan atau mengutip dari tiga karya tafsir yaitu Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Baidhawy dan Tafsir al-Khazin.
Sebagai sebuah catatan bahwa perkembangan tafsir pada abad ini tidak terlepas dari pengaruh popularitas kitab Tafsir al-Jalalain yang merupakan buah karya gabungan dari Imam Jalauddin al-Mahhaly dan Jalaluddin As-Syuthy.
Perkembangan Tafsir Di Indonesia Pada Abad Pra-Moderen
Pada periode ini perkembangan tafsir al-Qur’an cenderung melemah sehingga bukan berarti tidak meningkat, hanya saja dari segi penulisan boleh dikatakan bahwa karya tafsir pada peride ini tidak ada.
Jika pada periode sebelumnya –peride pertengahan- tulisan-tulisan dan karya-karya dalam bidang tafsir telah ada bahkan telah dterbitkan, namun pada periode ini tidak ditemukan sepucuk karya pun dalam bidang tafsir, yang ada hanyalah pengkajian al-Qur’an lewat majlis-majlis yang ada dirumah-rumah atau di suarau-surau yang sifatnya terbatas.
Secara logika sebenarnya kenyataan ini tidak dapat di cerna sebab pada abad sebelumnya terdapat karya yang bersifat monumental dalam bidang tafsir seperti karaya Abdurrauf Singkel namun pada periode ini tidak terdapat satu pun karya yang dapat dikatakan lebih ko,prehensif dan lebih kritis dari karya-karya yang sebelumnya.
Kenyataan ini sebenarnya lebih diakibatkan oleh faktor keadaan yang terjadi pada masa ini, dimana pada peride ini Belanda berhasil mengencangkan cengkramannya di berbagai tempat di Indonesia, bahkan tidak sedikit diantara para ulama yang ada pada masa tersebut berada diantara dua bentuk aktifitas disisi lain mereka harus mengajarkan Islam kepada para generasi muda harapan bangsa, dan pada sisi yang lain pula mereka harus berjuang mempertahankan harkat dan martabat Negara agar tidak dicaplok oleh kekuasaan Belanda.
Kesibukan inilah yang menyebabkan para ulama yang ada pada masa pra-modern tidak mampu menorehkan pemahamn mereka terhadap al-Qur’an dengan tinta di atas kertas, sebab mereka harus berhadapan dengan kekuatan Belanda yang secara structural telah mengasai Indonesia yang pemerintahannya pada masa itu disebut dengan masa pemerintahan Hindia-Belanda.
Perkembangan Tafsir Di Indonesia Pada Abad Moderen
Periode ini dapat dibagi ke dalam empat bagian, yaitu; pertama, periode 1900-1950 M, kedua, periode 1951-1980, ketiga, 1981-1990 dan keempat 1990-sekarang.
Periode 1900-1950 M
Kemajuan tafsir pada paruh pertama ini tidak bisa dilepaskan dari geraka pembaruan yang dilakukan oleh ulama-ulama Reformis di Timur Tengah semisal Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, Jamaluddin al Afghani dan Muhammad Abduh. Pemikiran-pemiran mereka mengilhami ulama Nusantara untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan organisasi yang diharapkan dapat menyatukan langkah dan menggalang kekompakan di antara pengikut mereka dalam rangka mencapai tuujuan.
Akan tetapi kajian al Qur’an yang dilakukan oleh ulama-ulama tersebut masih terbatas pada beberapa kitab tertentu yang sama dengan periode sebelumnya sekalipun sebenarnya sudah mulai ada upaya membahas kitab-kitab tafsir yang lain. Demikian pula dengan metode dan tempat pengkajiannya sudah mulai lebih maju karena bukan lagi terbatas di surau atau pesantren saja namun sudah masuk dalam lingkungan sekolah dan kelas sehingga pengajarannya sudah mulai sistematis.
Kaitannya dengan produktivitas ulama, sekalipun masih ada bias periode pertengahan (penjajahan Belanda) namun ternyata ulama sudah kembali tumbuh semangat menulisnya sehingga ditemukan ada beberapa kitab tafsir karya ulama Indonesia. Misalnya A. Hassan dengan Al-Furqan fi Tafsir Qur’an, Iskandar Idris dengan Tafsir Hibarna, Prof. Dr. Mahmud Yunus dengan Tafsir Qur’an Karim, dan beberapa kitab lainnya.
Periode 1951-1980
Memasuki kurun waktu kedua ini, studi al Qur’an semakin berkembang disebabkan oleh –paling tidak- tiga hal. Pertama, Indonesia telah memploklamirkan kemerdekaannya, kedua, didirikannya perguruan tinggi, dan ketiga, tingkat intelektual makin membaik. Karena itulah pengajaran tafsir sudah mulai dilakukan secara formal.
Hal ini pun memberi dampak positif dalam pengembangan metodologi penyajian dan penulisan tafsir, sehingga metode yang digunakan tidak lagi terbatas dengan metode global namun sudah muncul metode-metode yang lain, berupa muqaran, tahlili dan tematik. Hal itu terlihat dengan banyaknya karangan-karangan ulama Indonesia, seperti Tafsir al Azhar oleh Buya Hamka dalam bentuk Tafsir Adby Ijtima’i, Tafsir al Bayan dan al Nur oleh Hasbi ash-Shiddiqi, Tafsir Sinar oleh Malik Ahmad, dan beberapa ulama yang lain. Bahkan bukan hanya itu, pengkajian al Qur’an pun sudah ada yang memformatnya dalam bentuk tulisan bernilai sastra, prosa, essay, dan beberapa bentuk yang lain sesuai dengan kapasitas masing-masing ulama
Periode 1981-1990
Paruh ketiga ini sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda dengan paruh kedua di atas, hanya saja pembagian ini dilakukan untuk membedakan system pengajaran dan produktivitas tafsir. Karena pada periode ini semakin dibuka program S2 dan S3 sebagai upaya untuk menghasilkan karya tafsir yang lebih berkualitas. Hal itu terlihat pada metode dan cara berpikir ilmiah yang sistematis dan logis pada kedua program tersebut dan tidak ditemukan pada program S1. Di mana mereka diajarkan berbagai macam metodologi penafsiran sehingga mereka dituntut untuk mengkaji al Qur’an secara mandiri sesuai dengan kapasitas mereka sebagai pelajar dan pengkaji al Qur’an.
Berdasarkan hal tersebut, maka kebanyakan yang muncul pada paruh ketiga ini adalah, karya-karya yang terkait dengan metodologi dan atau berupa tafsir-tafsir tematik.
Periode 1990-sekarang
Pada priode ini bermunculanlah berbagai bentuk analisis terhadap penafsiran al-Qur’an dimana para ulama Indonesia berusaha menggali al-Qur’an secara komprehensif baik yang bersifat analitik maupun yang bersifat tematik dan ringkasan
Diantara karya-karay ulama Indonesia yang muncul dan bersifat anlitik -tematik (tahlili Maudhu’i) pada periode ini adalah Tafsir al-Misbah karya Prof. Dr Qurash Shihab yang menafsirkan ayat-ayat per-ayat dalam bentuknya tersendiri yang mengacu kepada tiga kitab tafsir standar yaitu Tafsir at-Thabary, Tafsir al-Qurthuby, Tafsir Ibnu Katsir. Dan diantara karya yang lain adalah Tafsir al-Qur’an Kontemporer yang mengkaji al-Qur’an berdasarkan kebutuhan masa sekarang. Dan banyak lagi karya lainnya yang tidak dapat kai sebutkan satu persatu.
Wallahu a’lam

Begini cara kerja bintang – Bagian 1: Gravitasi dan tekanan Gas

Tiga orang astronom, Carl Hansen, Steven Kawaler, dan Virginia Trimble, dalam buku teks terbaru mereka tentang struktur bintang, berjudul Stellar Interiors: Physical Principles, Structure, and Evolution (Interior Bintang: Prinsip Fisis, Struktur, dan Evolusi), menulis, “Jika Anda ingin tahu bagaimana bintang bekerja, pergilah keluar dan lihatlah mereka selama beberapa malam. Apa yang mereka lakukan hanyalah bersinar dengan stabil sepanjang waktu.” Secara historis ini betul. Mari kita lihat Matahari sebagai contoh.
Matahari masih satu-satunya bintang yang dapat kita pelajari dengan detail
Penemuan-penemuan fosil menunjukkan bahwa kehidupan di Bumi sudah ada paling tidak semenjak 3 milyar tahun lalu. Studi tentang kandungan kimiawi pohon-pohon tertua dan fosil-fosil tersebut juga menunjukkan bahwa Bumi tidak mengalami perubahan besar yang disebabkan oleh ketidakstabilan matahari. Apa yang dilakukan matahari kita “hanyalah” bersinar begitu lama!
Sinar matahari yang kita nikmati sekarang sama dengan sinar matahari yang dinikmati nenek moyang kita di zaman dahulu, bahkan sama pula dengan yang dinikmati dinosaurus puluhan juta tahun lalu. Dalam rentang waktu jutaan tahun, matahari relatif stabil. Tentu timbul pertanyaan: kenapa matahari bisa begitu stabil? Pertama-tama, mari kita coba hitung massa matahari. Kita sekarang tahu bahwa jarak Bumi kita ke Matahari adalah 150 juta km, sementara waktu yang dibutuhkan Bumi untuk mengelilingi Matahari adalah 1 tahun yaitu 365.25 hari. Anggap saja Bumi mengelilingi matahari dalam orbit berbentuk lingkaran, sehingga kecepatan Bumi mengelilingi matahari adalah 100 000 km/jam.
Matahari dan objek-objek yang mengitarinya menaati Hukum Gravitasi
Karena kita tahu bahwa gerakan Bumi berasal dari tarikan gravitasi Matahari, maka dapat kita simpulkan dari Hukum Gravitasi bahwa gaya gravitasi Matahari dihasilkan oleh massa sebesar 2 x 10^30 kg! Ini kira-kira sama dengan 330 000 kali massa Bumi.
Kenapa massa yang begitu besar ini tidak runtuh ke pusatnya? Sebuah gedung tinggi punya massa besar dan tetap berdiri karena ada pilar-pilar kerangka yang menopang seluruh massa gedung. Namun bila pilar-pilar ini diledakkan oleh pakar peruntuh gedung, seluruh bangunan akan runtuh secara bersamaan ke bawah, ke arah pusat Bumi. Demikian pula dengan matahari, bila tidak ada “sesuatu” yang menopang seluruh massa tersebut, maka matahari akan runtuh ke arah pusatnya dalam waktu kurang dari setengah jam! Karena kita tidak pernah melihat hal itu terjadi, berarti ada sesuatu yang menopang struktur matahari (Lihat video peruntuhan sebuah gedung tua. Inilah yang terjadi bila matahari kehilangan struktur penopangnya).
Kita anggap saja bahwa Matahari adalah sebuah bola gas yang berpijar. Bila hal itu betul, kita dapat anggap gas di dalam matahari sebagai sebuah gas ideal yang memancarkan radiasi elektromagnetik. Hukum Gas ideal mengatakan bahwa gas yang dimampatkan akan menghasilkan tekanan yang melawan pemampatan itu. Bila gas tersebut memancarkan radiasi elektromagnetik, maka Matahari juga menghasilkan tekanan radiasi yang arahnya ke luar permukaan matahari.









    
Lapisan yang lebih dalam mengalami tekanan gravitasi yang lebih besar, oleh karena itu untuk mengimbanginya tekanan radiasi juga harus sama besarnya.
Dengan spektroskopi kita dapat membagi cahaya menurut tingkat-tingkat energinya, dan menelaah sifat-sifat pembangkit cahaya tersebut.
Bila suhu di pusat matahari kita ketahui dengan pemodelan teoritik, maka suhu di permukaan matahari kita ketahui melalui pengamatan. Apabila kita melewatkan sinar matahari pada prisma, maka kita akan melihat bahwa sinar matahari yang berwarna putih tersebut akan terbagi-bagi menjadi sinar dengan berbagai warna, dari warna merah hingga warna ungu. Warna-warna yang berbeda ini adalah tanda bahwa cahaya terbagi-bagi atas sinar dengan energi yang berbeda-beda. Artinya radiasi elektromagnetik merentang dari energi tinggi hingga energi rendah (sinar Gamma dan sinar-X adalah contoh radiasi energi tinggi, sementara sinar inframerah, gelombang Radio, dan gelombang mikro (microwave) adalah contoh radiasi energi rendah), dan radiasi yang kasat mata kita namakan sebagai cahaya.
Sumber radiasi elektromagnetik adalah sebuah pemancar sempurna yang kita namakan benda hitam. Lagi-lagi benda hitam, sebagaimana gas ideal, hanyalah objek khayal. Namun sifat-sifat radiatif matahari dapat didekati bila kita menganggap matahari sebagai sebuah benda hitam.
Benda hitam yang memancarkan energinya pada suhu tertentu akan memiliki kurva distribusi energi yang spesifik pada temperatur tersebut. Sumber: Wikipedia
Eksperimen menunjukkan bahwa sebuah benda hitam memancarkan energinya dalam bentuk radiasi elektromagnetik dan energinya dipancarkan pada seluruh panjang gelombang. Namun intensitas energi pada setiap panjang gelombang tidak sama, dan setiap benda hitam yang memiliki temperatur tertentu memiliki panjang gelombang di mana intensitas energinya paling tinggi. Semakin tinggi temperatur sebuah benda hitam, semakin pendek panjang gelombang di mana energi paling tinggi memancar (lihat gambar kurva benda hitam). Dengan demikian, benda hitam yang memancarkan energinya pada suhu tertentu akan memiliki kurva intensitas energi yang unik. Untuk mengetahui bentuk kurva ini, kita dapat memecah cahaya pancaran benda hitam ini ke dalam spektrumnya masing-masing. Permukaan Matahari dapat kita anggap sebagai sebuah benda hitam, dan oleh karena itu bentuk sebaran energi matahari dapat didekati dengan kurva pancaran benda hitam. Dengan melakukan pengamatan spektroskopi pada matahari, kita dapat mengetahui seperti apa spektrum matahari dan dengan demikian dapat diketahui pula temperatur permukaannya yaitu 5800 Kelvin.
Pengamatan spektrum bintang-bintang lain ternyata menunjukkan perilaku yang sama: bintang juga merupakan sebuah benda hitam dan memancarkan radiasi elektromagnetik. Namun, temperatur permukaan bintang berbeda-beda. Ada yang lebih panas dari matahari, ada pula yang lebih dingin dari matahari. Walaupun demikian, semua bintang yang kita amati berlaku seperti sebuah benda hitam. Dari pengamatan spektrum matahari dan bintang-bintang lain inilah kita dapat menyimpulkan bahwa bintang-bintang yang kita amati di langit malam itu sebenarnya adalah matahari-matahari lain yang letaknya teramat sangat jauh sehingga sinarnya demikian redup bila dibandingkan dengan matahari yang lebih dekat. Karena sekarang kita sudah tahu bahwa bintang adalah objek yang sama dengan matahari kita, maka bintang-bintang lain pun dapat kita anggap pula sebagai sebuah bola gas yang berada dalam kesetimbangan hidrostatik. Apa yang kita ketahui tentang kesetimbangan matahari dapat kita terapkan pula pada bintang!. Posted by Tri L. Astraatmadja 

PERKEMBANGAN TAFSIR ALQURAN

Awal Pertumbuhan Tafsir Alquran
Pada bab I, penulis telah memaparkan secara singkat pertumbuhan serta penyebab munculnya tafsir Alquran. Pada pendahuluan tersebut, penulis mengungkapkan bahwa munculnya tafsir Alquran dilatarbelakangi oleh kedudukan Alquran yang merupakan hudan li an-nas, Alquran tidak mengemukakan pelbagai hal secara mendetail, sebagian besar Alquran mengemukakan hal-hal pokok saja. Selain itu, terdapat pula landasan yang mendorong munculnya tafsir Alquran, yakni tidak mungkin suatu aturan atau hukum yang terdapat di dalam Alquran dapat diterapkan tanpa adanya pemahaman atasnya.
Alquran untuk pertama kalinya ditafsirkan oleh Muhammad saw, yakni ketika para sahabat menanyakan pelbagai persoalan. Namun, keseluruhan tafsir ayat-ayat Alquran yang diberikan Muhammad saw. tersebut tidak sampai pada umat Islam hingga masa kini. Oleh karena itu, wajar ketika terdapat sebagai ulama yang mengatakan bahwa riwayat-riwayat tentang tafsir Muhammad saw. itu tidak sampai pada umat Islam, dan sebagian pendapat lainnya menganggap bahwa Muhammad saw. sendiri tidak menfasirkan seluruh ayat Alquran.
Salah satu tafsir Alquran yang diberikan oleh Muhammad saw. ialah berkenaan pertanyaan seorang sahabat Nabi saw. Yang menanyakan kepada beliau mengenai shalat wustha yang terkandung dalam surat al Baqarah ayat 238. Di dalam ayat itu tidak disebutkan secara eksplisit mengenai yang dimaksud shalat wustha. Menurut riwayat Tirmidzi, Muhammad saw. menyatakan bahwa yang dimkausd dengan shalat wustha adalah shalat Ashar.
Ketika Muhammad saw. masih hidup, para sahabat dapat menanyakan langsung pelbagai persoalan yang tidak jelas atau tidak dipahami kepada beliau. Namun, setelah beliau meninggal para sahabat bingung karena kehilangan seorang sosok yang menjadi penujuk jalan kebenaran, tetapi kemudian mereka terpaksa melakukan ijtihad. Adapun para sahabat Nabi saw. yang banyak melakukan penafsiran atas Alquran diantaranya Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, dan Zaid bin Tsabit (Syurbasyi, 1999: 91). Dari beberapa sahabat Nabi saw. tersebut, ada yang mencoba menafsirkan dengan menggunakan bantuan syair-syair Arab pra-Islam dan ada pula yang mencoba menanyakan pada para Ahlul Kitab yang telah memeluk agara Islam guna memperoleh kejelasan atas Alquran. Pencarian penjelasan Alquran dengan menggunakan keterangan dari Ahlul Kitab inilah yang kemudian menjadi akar-akar munculnya Israiliyat dan Nashraliyat.
Setelah periode sahabat Nabi saw. kemudian tradisi tafsir Alquran dilanjutkan pada periode tabiin. Para tabiin ini lahir atas bimbingan dari sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah yang digurui oleh para sahabat Nabi saw. di tempat mereka tinggal, yakni Irak, Makkah, dan Madinah (Shihab, 1996: 71). Namun, tafsir yang dihasilkan pada periode tabiin ini memiliki kecenderungan pada israiliyat, nasraliyat, dan memiliki kecenderungan pada aliran tertentu (Syafrudin, ____: 36). Oleh karena itu menjadi wajar ketika ada yang mengatakan bahwa pendapat tabiin hanya dapat diterima atau digunakan jika mereka berijma’ atas suatu hal.
Untuk mempermudah menjelaskan perkembangan metodologi tafsir Alquran, penulis akan menjelaskannya berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh al Farmawi. Al Farmawi mengklasifikasikan metodologi tafsir Alquran ke dalam empat penfasiran, seperti; metode tahlili, metode ijmali, metode muqaran, dan metode maudhu’i. Selain itu, penulis memaparkan pula metode tafsir yang dikemukakan oleh Amin al Khuli, seorang ahli tafsir dari Mesir.

A. Metode Tahlili
Menurut Al-Farmawi (2002: 23-24), metode tahlili berarti melakukan penjelasan ayat-ayat Alquran yang dilakukan dengan cara meneliti seluruh aspek di dalam ayat-ayat tersebut sehingga dapat menemukan maksudnya. Aspek-aspek yang dimaksud dalam ayat-ayat Alquran ialah uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antarpemisah (munasabat) sampai sisi-sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh al-munasabat) dengan bantuan asbab an-nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw, sahabat, dan tabi’in. Di dalam praktik penggunaan, metode tafsir tahlili dibedakan menjadi tiga bentuk, yakni penjelasan dari Nabi Muhammad saw. atas Alquran (ma’tsur atau riwayat), melakukan ijtihad (ra’y atau dirayat), dan tafsir yang dilakukan dengan cara mentakwilkan ayat Alquran tanpa menurut makna zahir saja tetapi disertai usaha menggabungkan antara yang zahir dan yang tersembunyi (isyarat) (Syurbasyi, 1999: 124). Sedangkan penyajian tafsir yang termasuk ke dalam metode tafsir tahlili ini memiliki corak penafsiran, seperti sufi atau tasawuf, fikih, filsafat, ilmu, dan sastra sosial kemasyarakatan. Adapun corak penafsiran Alquran tersebut ialah sebagai berikut.
1) Tafsir Bercorak Sufistik atau Tasawuf
“Di dalam menfasirkan Alquran, para sufi cenderung menakwilkan ayat-ayat-Nya sesuai pikiran, perilaku dan pancaran ruhani mereka” (al Usiy, 2002: 253). Para sufi menjadikan Alquran sebagai landasan bagi langkah dan jalan (tariqah) yang mereka tempuh (Syurbasyi, 1999: 159). Adapun tokoh dari metode tafsir ini adalah Muhyiddin Ibnu Arabi. Menurut al Farmawi (2002: 28), Tafsir yang bercorak sufistik atau tasawuf ini tidak dilakukan atau terkumpul ke dalam sebuah kitab tafsir tersendiri khusus, melainkan dilakukan dengan cara penafsiran-penafsiran secara parsial.
Contoh penafsiran Ibnu Arabi yang bercorak sufistik atau tasawuf ini berkanaan dengan surat ar Rahmaan ayat 19 yang berbunyi “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu”. Ibnu Arabi menfasirkan ayat tersebut sebagai “Yang dimaksudkan dengan dua lautan oleh ayat tersebut ialah lautan subtansi raga yang asin dan pahit dan lautan ruh yang murni, yang tawar dan segar yang keduanya saling bertemu di dalam wujud manusia” (dalam al Usiy, 2002: 154).
Menurut azd Dzahabi (dalam al Banna, 2005: 67-68), tafsir Alquran dengan corak sufi dapat dibedakan menjadi dua tipe, yakni sufistik-simbolik, dan sufistik-teoritik. Tafsir sufistik-teoritik dibangun atas premis-premis ilmiah yang sudah terbangun dalam pikiran seorang sufi dan kemudian diterjemahkan menjadi tafsir Alquran pada tahap selanjutnya. Sedangkan tafsir sufistik-simbolik adalah kebalikan dari tafsir sufistik-teoritik, seperti yang diungkapkan oleh al Banna bahwa
tafsir sufistik-simbolik tidak terfokus pada premis ilmiah tertentu, tapi berdiri di atas kegiatan olah spiritual yang ditetapkan seorang sufi, sampai pada taraf di mana dia berhasil meyakini bahwa ungkapan-ungkapan Alquran itu merupakan simbol-simbol suci yang hinggap pada hatinya setelah melewati fase yang gaib, sehingga ayat-ayat tersebut menampilkan pengetahuan-pengetahuan yang Maha Suci (al Banna, 2005: 68).
2) Tafsir
Bercorak Fikih
Tafsir yang bercorak fikih lahir dilatarbelakangi oleh perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya madzhab-mahzab fikih yang kemudian masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum (http://id.wikipedia.org/wiki/tafsir_ al-qur’an.htm). “Ketika memahami Alquran, mereka menggiringnya agar sesuai dengan mazhab yang dianutnya” (al Farmawi, 2002: 31). Oleh karena itu, karena sikap fanatik pula kemudian di kalangan mazhab Sunni kemudian menggiring ayat-ayat Alquran pada mazhab fikih mereka, seperti Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali. Begitu pun pada mazhab Syi’ah atau Imamiyah, muncul mazhab Ja’fari. Dalam mazhab Hanafi muncul Abu Bakar ar Razi atau dikenal dengan al Jashshash yang menulis sebuah buku Ahkam Alquran, dari mazhab Syafi’i muncul nama Abul Hasan ath Thabari yang dikenal dengan al Kiya al Hirasyi Ahkam Alquran, dari mazhab Maliki muncul Abu Bakar bin al Arabi yang menulis buku yang berjudul Ahkam Alquran, dan dari mazhab Syi’ah atau Imamiyah muncul Miqad as Siwari dengan bukunya yang berjudul Kanz al Furqon fi Fiqh Alquran (al Usiy, 2002: 258).
3) Tafsir Bercorak Filsafat
Munculnya tafsir Alquran yang bercorak filsafat dilatarbelakangi oleh perkembangan kebudayaan dan pengetahuan umat Islam, dan diterjemahkannya karya-karya intelektual asing seperti Yunani, Romawi dan Helenis ke dalam bahasa Arab pada masa dinasti Abbasiyyah (al Farmawi, 2002: 32). Di antara buku-buku asing tersebut ialah buku filsafat, yang kemudian dipelajari atau “dikonsumsi” oleh sebagian umat Islam. “Penafsiran filosofis memiliki hubungan dengan penafsiran Mu’tazilah karena keduanya meyakini antinomi antara akal dan iman” (Hanafi, 2005: 168).
Di antara umat Islam yang menafsirkan Alquran dan bercorak filsafat ialah al Farabi, Ibnu Sina, dan al Kindi. Salah satu bentuk tafsir Alquran bercorak filsafat yang dikemukakan oleh Ibnu Sina berkenaan ash Shamad dalam surat al Ikhlash ayat 2. Berkenaan dengan ash Shamad ini, Ibnu Sina menjelaskannya sebagai berikut
Dari segi bahasa, kata ash Shamad memiliki dua penafsiran. Salah satu diantaranya adalah yang tidak mempunyai rongga (al jawf), dan yang kedua adalah tuan (as sayyid). Penafsiran yang pertama tidak tepat karena mengisyaratkan penafian substansi, karena setiap yang memiliki substansi pastilah memiliki rongga dan perut (al bathn). Padahal ada maujud yang tidak memiliki perut. Bila Dia dianggap ada, maka Dia tidak sesuai dengan ketiadaan. Dan sesungguhnya, sesuatu yang berasal dari-Nya adalah ada dan tidak sesuai dengan ketiadaan. Dan karena itu pula, ash shamad adalah yang haq yang mutlak harus ada dari segala segi.
Sedangkan penafsiran yang kedua, sifatnya adalah penisbatan. Karena Dia adalah raja segala sesuatu, maka Dia juga awal bagi segala sesuatu (dalam al Usiy, 2002: 253).
4) Tafsir Ilmi atau Tafsir Bercorak Ilmu
Menurut Hanafi (2005: 169), tafsir Alquran bercorak ilmu ini diawali oleh adanya penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan pengetahuan ilmiah eksternal yang berdasarkan pada akal dan eksperimen. Selain itu, adanya tafsir ini disebabkan oleh adanya keinginan para penafsir Alquran untuk memperluas lapangan penafsiran Alquran secara ilmiah dan kemudian berpendapat bahwa Alquran mencakup seluruh ilmu pengetahuan dan mengisyaratkan semua persoalan dapat diselesaikan dengan Alquran (Syurbasyi, 1999: 154).
Benih-benih munculnya tafsir ilmi ini sudah ada sejak masa dinasti Abbasiyyah, yakni pada masa pemerintahan Khalifah al Ma’mun. Adapun tokoh yang paling gigih berkenaan dengan tafsir ini ialah al Ghazali melalui karya-karyanya seperti Ihya Ulum ad Din dan Jawahirul Qur’an (Shihab, 1996: 101). Melalui buku-buknya tersebut al Ghazali mengatakan bahwa cabang-cabang atau segala ilmu itu semuanya berasal dari Alquran dan semua ilmu itu bukan berada di luar Alquran tetapi digali dari Alquran (Syurbasyi, 1999: 154-155). Selain itu, terdapat pula nama Muhammad Taufiq Shidqi yang mencoba menafsirkan Alquran dengan corak ilmu pengetahuan. Berkenaan dengan surat al Mulk ayat 3 yang berbunyi “Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?” dan surat Haqqah ayat 17 yang berbunyi “Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung Arasy Tuhanmu di atas (kepala) mereka”, Sidqi menafsirkannya sebagai
Soal tujuh langit yang banyak diperbincangkan di dalam Alquran itu adalah tujuh planet, sebab kata as sama yang sering disebut-sebut di dalam Alquran itu, secara kebahasan berarti “setiap yang meninggi di atas manusia atau yang melampaui ketinggiannya” … langit terdiri dari lapisan-lapisan yang bertingkat-tingkat, sebab poros tiap-tiap mereka berada di atas lainnya … poros itu tidak lain adalah al arsy atau sandaran (kursi) langit dan bumi (dalam al Banna, 2005: 177).
Namun, tafsir ilmi ini tidak terlepas dari kekurangan. Tafsir ini memberikan informasi yang keliru kepada umat Islam bahwa Alquran sudah mencakup semua penemuan ilmiah (Hanafi, 2005: 169). Senada dengan Hanafi, Rakhmat (2002: 228) pun menyatakan bahwa “tafsir ilmi itu sebenarnya bukan tafsir Alquran, tetapi ilmu yang ditafsirkan oleh Alquran”. Selain itu, kebenaran ilmiah tidaklah tepat dan dapat berubah-ubah, dan karenanya rambu-rambu yang harus diperhatikan untuk mufasir yang hendak menafsrikan Alquran dengan menggunakan ilmu pengetahuan hendaklah harus yakin bahwa fakta ilmiah tersebut sudah tetap, menguasai bahasa Arab, dan Alquran adalah pendorong pencipta kitab sains dan teknologi bukan sebagai kitab sains dan teknologi (Rakhmat, 2002: 323).
5) Tafsir Bercorak al Adabi al Ijtimali
Tafsir al Adabi al Ijtimali berupaya menyingkap keindahan bahasa Alquran dan mukjizat-mukjizattnya; menjelaskan makna-makna dan maksud-maksudnya; memperhatikan aturan-aturan Alquran tentang kemasyarakatan; dan mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam secara khusus dan permasalahan umat lainnya secara umum (al Farmawi, 2002: 37).
Melalui tafsir al Adabi al Ijtimali ini, manusia diingatkan bahwa Alquran merupakan kitab Allah swt. yang mampu mengatur perkembangan zaman dan kemanusiaan. Tafsir dengan corak al Adabi al Ijtimali ini menggunakan pelbagai argumentasi untuk mempertahankan atau menjawab tuduhan-tuduhan yang mendeskriditkan Alquran yang dinilai tidak dapat memecahkan masalah yang dialami oleh umat Islam dan keragu-raguan atasnya. Menurut Hanafi (2005: 170), tafsir ini mengajak ke arah perubahan sosial dengan mempertimbangkan persoalan-persoalan utama dunia Muslim, menggabungkan teori dengan praktik, melampaui penafsiran klasik untuk menghubungkan teks dengan kondisi saat ini.

B. Metode Ijmali
Metode tafsir ijmali adalah tafsir Alquran yang dalam penafsirannya berdasarkan urutan-urutan ayat secara ayat-per-ayat, dengan suatu uraian yang ringkas dan bahasa yang mudah dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat (Syurbasyi, 1999: 232-233). Metode tafsir ijmali merupakan metode yang pertama kali hadir dalam sejarah perkembangan tafsir Alquran (Saleh, 2007: 45). Dalam menafsirkan Alquran, penafsir menafsirkan kosakata Alquran dengan kosakata yang ada di dalam Alquran sendiri, sehingga para pembaca yang melihat uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks Alquran, tidak keluar dari muatan makna yang dikandung oleh kosakata yang serupa dalam Alquran, dan adanya keserasian antara bagian Alquran yang satu dan bagian lain.
Di dalam penggunaan metode tafsir ini, penafisir menjelaskan Alquran dengan bantuan sebab turun ayat (asbab an-nuzul), peristiwa sejarah, hadis nabi, atau pendapat para ulama. Oleh karena itu, keunggulan dari tafsir ini ialah dapat membendung unsur-unsur dari luar Islam, sepetrti israiliyat dan nasraliyat. Adapun tafsir Alquran yang termasuk ke dalam metode tafsir ini ialah tafsir Jalalain karya Jalal ad Din al Mahalli dan Jalal ad Din al Suyuti.

C. Metode Muqaran
Metode muqaran adalah menjelaskan ayat-ayat Alquran dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan para muffasir. Selain itu, metode ini memiliki pengetian yag lebih luas, yakni membandingkan ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang tema tertentu, atau membandingkan ayat-ayat Alquran dengan hadis-hadis Nabi, termasuk dengan hadis-hadis yang makna tekstualnya tampak kontradiktif dengan Alquran, atau dengan kajian-kajian lainya. Menurut Saleh (2007: 52), metode tafsir ini diduga diawali oleh al Farra. Adapun langkah-langkah dalam metode tafsir Muqaran ialah sebagai berikut
1. Mengumpulkan sejumlah ayat Alquran,
2. Mengemukakan penjelasan para muffasir, baik kalangan salaf atau kalangan khalaf, baik tafsirnya bercorak bi al-mat’sur atau bi ar-ra’yi
3. Membandingkan kecenderungan tafsir mereka masing-masing
4. Menjelaskan siapa diantara mereka yang penafsirannya dipengaruhi (secara subjektif) oleh mazhab tertentu; siapa penafsirannya ditujukan untuk melegitimasi golongan atau mazhab tertentu; siapa yang diwarnai latar belakang disiplin ilmu yang dimilikinya, seperti bahasa, fikih, atau yang lainnya; siapa yang penafsirannya didominasi uraian-uraian yang sebenarnya tidak perlu, seperti kisah-kisah yang tidak rasionaldan tidak didukung oleh argumentasi nakliah; siapa yang penafsirannya dipengaruhi oleh paham-paham Asy’ariyah, atau Mu’tazilah, atau paham-paham tasawuf, atau teori-teori filsafat, atau teori-teori ilmiah (Al-Farmawi, 2002: 39).

D. Metode Maudhu’i
Metode tafsir maudhu’i ialah menghimpun seluruh ayat Alquran yang memiliki rujukan dan tema yang sama. Metode tafsir maudhu’i untuk pertama kalinya digagas oleh Abu Ishaq al-Syatibi dan kemudian diterapkan oleh Mahmud Syaltut, mantan Rektor al Azhar, Kairo (Saleh, 2007: 53). Selain itu, cikal-bakal munculnya metode tafsir maudhu’i ini sudah dimulai pada tafsir yang ditulis oleh Fakr ar Razi, al Qurtubi, dan Ibn Arabi (al Farmawi, 2002, 46). Dalam mazhab Syi’ah, Muhammad Baqir ash Shadr (ulama Syi’ah asal Irak) merupakan salah satu ulama yang menggunakan metode ini.
Latar belakang lahirnya metode tafsir maudhu’i ini ialah adanya kegagalan dalam menjelaskan Alquran dalam satu kesatuan yang integral, penafsiran Alquran yang terpotong-potong, dan adanya bias pada penafsir (Bagir, 2002: 265). Sedangkan yang menjadi dasar pemikiran metode tafsir ini ialah kajian pesan Alquran secara menyeluruh, dan menjadikan bagian-bagian yang terpisah dari ayat-ayat atau surat-surat Alquran menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling berkaitan. Adapun manfaat yang didapat ketika menerapkan metode tafsir ini, menurut Subhani (dalam Rakhmat, 1996: 25), ialah
… kita memeproleh manfaat lain dari pengumpulan ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tertentu dengan tetap berpijak pada pandangan qur’ani yang utuh tentang topik tersebut. Seringkali kita mengalami kesulitan untuk memahami ayat atau mengetahui tujuannya karena jarak kita jauh dari zaman wahtu, dan karena kita tidak mengetahui konteks turunya ayat itu atau petunjuk-petunjuk situasional yang berlaku pada masyarakat Islam saat itu. Mengumpulkan ayat-ayat dalam hubungannya satu sama lain, dapat membantu kita dalam menghilangkan kekaburan dan ketidakjelasan.
Prosedur yang harus dilakukan dalam melakukan penafsiran Alquran melalui metode maudhu’i dapat dirinci sebagai berikut;
1. Menetapkan masalah yang akan dibahas,
2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut,
3. Menyusun runutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab an-nuzul-nya,
4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing,
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out line),
6. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang am (umum)dan yang khash (khusus, mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehinggasemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan (al-Farmawi, 2002: 51-52).

E. Tafsir Sastra
Amin al Khuli adalah tokoh utama dari tafsir sastra ini. al Khuli memandang bahwa Alquran merupakan kitab berbahasa Arab yang agung, oleh karena itu metode yang tepat dalam menafsirkan Alquran adalah dengan menggunakan pendekatan metode sastra. Menurut Saleh (2007: 56), metode tafsir ini merupakan metode dalam menafsirkan Alquran dengan memperhatikan aspek-aspek dalam Alquran dengan melakukan analisis atas bahasa, latar belakang sejarah, sosiologi dan antropologi yang berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Arab pra-Islam dan selama proses wahyu Alquran berlangsung.
Karena disejajarkan dengan studi sastra umumnya, al Khuli menyuguhkan dua prinsip metodologis, yakni studi terhadap apa yang mengitari teks Alquran, dan studi teks Alquran itu sendiri. Studi pertama, menurut Sadili (http://islamlib. com/id/artikel/pendekatan-kritik-sastra-terhadap-alquran/), diarahkan untuk melakukan investigasi terhadap latar belakang Alquran, sejak proses pewahyuan, perkembangan dan sirkulasinya dalam masyarakat Arab sebagai obyek wahyu, serta kodifikasi dan variasi cara bacaannya. Sedangkan pada studi ke dua, menurut Sadili (http://islamlib.com/id/artikel/pendekatan-kritik-sastra-terhadap-alquran/), diarahkan pada penafsiran makna kata-kata tunggal (mufradât) yang digunakan saat ia diwahyukan, perkembangan, dan cara pemakaiannya di dalam Alquran. Cara ini dilanjutkan dengan pengamatan terhadap kata-kata jamak dan analisis tentang pengetahuan gramatikal Arab.
Untuk melakukan tugas penafsiran yang baik, menurut al Khuli (Radiana dan Munir, 2002: 298), maka yang harus dilakukan oleh muffasir adalah
1. mengumpulkan setiap ayat yang membicarakan objek kajian yang dipilih, sehingga tidak berpusat pada satu ayat saja dengan melupakan ayat-ayat lainnya yang membicarakan tentang objek yang sama,
2. memaknai secara hati-hati arti setiap kata, bukan hanya dengan kajian leksikal, melainkan menampilkannya pada paralelitas pengungkapannya dalam Alquran tentang objek yang sama beserta kata-kata derivatnya,
3. Menganalisis bagaimana Alquran mengombinasikannya dalam suatu kalimat.
Dengan demikian, dalam menafsikan Alquran, al-Khuli menggunakan metode tafsir tematik (tafsîr maudhu’i). Sebagaimana dikatakan oleh al Khuli sendiri bahwa “gagasan yang paling tepat dalam penafsiran adalah menafsirkan Alquran secara tema-per-tema (tematik), bukan penafsiran atas susunan ayat di dalam mushaf dan ayat-demi-ayat atau potongan-demi potongan ayat” (dalam al Banna, 2005: 198). Ini dikarenakan urutan ayat dan surat-surat pada Alquran tidak disusun berdasarkan kronologinya, dan karena itu, suatu informasi yang dimuatnya bertebaran tidak hanya pada satu surat saja.

Kebenaran Ilmiah Al-Quran

Al-Quran adalah kitab petunjuk, demikian hasil yang kita peroleh dari mempelajari sejarah turunnya. Ini sesuai pula dengan penegasan Al-Quran: Petunjuk bagi manusia, keterangan mengenai petunjuk serta pemisah antara yang hak dan batil. (QS 2:185).
Jika demikian, apakah hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan? Berkaitan dengan hal ini, perselisihan pendapat para ulama sudah lama berlangsung. Dalam kitabnya Jawahir Al-Quran, Imam Al-Ghazali menerangkan pada bab khusus bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari Al-Quran Al-Karim. Al-Imam Al-Syathibi (w. 1388 M), tidak sependapat dengan Al-Ghazali. Dalam kitabnya, Al-Muwafaqat, beliau --antara lain-- berpendapat bahwa para sahabat tentu lebih mengetahui Al-Quran dan apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun di antara mereka yang menyatakan bahwa Al-Quran mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.
Menurut hemat kami, membahas hubungan Al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian Al-Quran dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.
Membahas hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat, misalnya, adakah teori relativitas atau bahasan tentang angkasa luar; ilmu komputer tercantum dalam Al-Quran; tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Quran yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan? Dengan kata lain, meletakkannya pada sisi "social psychology" (psikologi sosial) bukan pada sisi "history of scientific progress" (sejarah perkembangan ilmu pengetahuan). Anggaplah bahwa setiap ayat dari ke-6.226 ayat yang tercantum dalam Al-Quran (menurut perhitungan ulama Kufah)8 mengandung suatu teori ilmiah, kemudian apa hasilnya? Apakah keuntungan yang diperoleh dengan mengetahui teori-teori tersebut bila masyarakat tidak diberi "hidayah" atau petunjuk guna kemajuan ilmu pengetahuan atau menyingkirkan hal-hal yang dapat menghambatnya?
Malik bin Nabi di dalam kitabnya Intaj Al-Mustasyriqin wa Atsaruhu fi Al-Fikriy Al-Hadits, menulis: "Ilmu pengetahuan adalah sekumpulan masalah serta sekumpulan metode yang dipergunakan menuju tercapainya masalah tersebut."9
Selanjutnya beliau menerangkan: "Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya terbatas dalam bidang-bidang tersebut, tetapi bergantung pula pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan sosial yang mempunyai pengaruh negatif dan positif sehingga dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorongnya lebih jauh."
Ini menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya dinilai dengan apa yang dipersembahkannya kepada masyarakat, tetapi juga diukur dengan wujudnya suatu iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan itu.10
Sejarah membuktikan bahwa Galileo, ketika mengungkapkan penemuannya bahwa bumi ini beredar, tidak mendapat counter dari suatu lembaga ilmiah. Tetapi, masyarakat tempat ia hidup malah memberikan tantangan kepadanya atas dasar-dasar kepercayaan dogma, sehingga Galileo pada akhirnya menjadi korban tantangan tersebut atau korban penemuannya sendiri. Hal ini adalah akibat belum terwujudnya syarat-syarat sosial dan psikologis yang disebutkan di atas. Dari segi inilah kita dapat menilai hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan.
Di dalam Al-Quran tersimpul ayat-ayat yang menganjurkan untuk mempergunakan akal pikiran dalam mencapai hasil. Allah berfirman: Katakanlah hai Muhammad: "Aku hanya menganjurkan kepadanya satu hal saja, yaitu berdirilah karena Allah berdua-dua atau bersendiri-sendiri, kemudian berpikirlah." (QS 34:36).
Demikianlah Al-Quran telah membentuk satu iklim baru yang dapat mengembangkan akal pikiran manusia, serta menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi kemajuannya.

Sistem Penalaran menurut Al-Quran

Salah satu faktor terpenting yang dapat menghalangi perkembangan ilmu pengetahuan terdapat dalam diri manusia sendiri. Para psikolog menerangkan bahwa tahap-tahap perkembangan kejiwaan dan alam pikiran manusia dalam menilai suatu ide umumnya melalui tiga fase. Fase pertama, menilai baik buruknya suatu ide dengan ukuran yang mempunyai hubungan dengan alam kebendaan (materi) atau berdasarkan pada pancaindera yang timbul dari kebutuhan-kebutuhan primer. Fase kedua, menilai ide tersebut atas keteladanan yang diberikan oleh seseorang; dan atau tidak terlepas dari penjelmaan dalam diri pribadi seseorang. Ia menjadi baik, bila tokoh A yang melakukan atau menyatakannya baik dan jelek bila dinyatakannya jelek. Fase ketiga (fase kedewasaan), adalah suatu penilaian tentang ide didasarkan atas nilai-nilai yang terdapat pada unsur-unsur ide itu sendiri, tanpa terpengaruh oleh faktor eksternal yang menguatkan atau melemahkannya (materi dan pribadi).
Sejarah menunjukkan bahwa pada masa-masa pertama dalam pembinaan masyarakat Islam, pandangan atau penilaian segolongan orang Islam terhadap nilai al-fikrah Al-Quraniyyah (ide yang dibawa oleh Al-Quran), adalah bahwa ide-ide tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pribadi Rasulullah saw. Dalam perang Uhud misalnya, sekelompok kaum Muslim cepat-cepat meninggalkan medan pertempuran ketika mendengar berita wafatnya Rasulullah saw., yang diisukan oleh kaum musyrik. Sikap keliru ini lahir akibat pandangan mereka terhadap nilai suatu ide baru sampai pada fase kedua, atau dengan kata lain belum mencapai tingkat kedewasaannya.
Al-Quran tidak menginginkan masyarakat baru yang dibentuk dengan memandang atau menilai suatu ide apa pun coraknya hanya terbatas sampai fase kedua saja, karenanya turunlah ayat-ayat: Muhammad tiada lain kecuali seorang Rasul. Sebelum dia telah ada rasul-rasul. Apakah jika sekiranya dia mati atau terbunuh kamu berpaling ke agamamu yang dahulu? Siapa-siapa yang berpaling menjadi kafir; ia pasti tidak merugikan Tuhan sedikit pun, dan Allah akan memberikan ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur kepadaNya (QS 3:144).
Ayat tersebut walaupun dalam bentuk istifham, tetapi --sebagaimana diterangkan oleh para ulama Tafsir-- menunjukkan "istifham taubikhi istinkariy"11 yang berarti larangan menempatkan "al-fikrah Al-Qur'aniyyah" hanya sampai pada fase kedua. Ayat ini merupakan dorongan kepada masyarakat untuk lebih meningkatkan pandangan dan penilaiannya atas suatu ide ke tingkat yang lebih tinggi sampai pada fase ketiga atau fase kedewasaan. Ayat-ayat ini juga melepaskan belenggu-belenggu yang dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dalam alam pikiran manusia.
Untuk lebih menekankan kepentingan ilmu pengetahuan alam masyarakat, Al-Quran memberikan pertanyaan-pertanyaan yang merupakan ujian kepada mereka: Tanyakanlah hai Muhammad! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan mereka yang tidak mengetahui? (QS 39:9).
Ayat ini menekankan kepada masyarakat betapa besar nilai ilmu pengetahuan dan kedudukan cendekiawan dalam masyarakat. Demikian juga ayat, Inilah kamu (wahai Ahl Al-Kitab), kamu ini membantah tentang hal-hal yang kamu ketahui, maka mengapakah membantah pula dalam hal-hal yang kalian tidak ketahui? (QS 3:66).
Ayat ini merupakan kritik pedas terhadap mereka yang berbicara atau membantah suatu persoalan tanpa adanya data objektif lagi ilmiah yang berkaitan dengan persoalan tersebut. Ayat-ayat semacam inilah yang kemudian membentuk iklim baru dalam masyarakat dan mewujudkan udara yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan. Iklim baru inilah yang kemudian menghasilkan tokoh seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Jabir Ibnu Hayyan, dan sebagainya. Ia-lah yang membantu Muhammad bin Ahmad menemukan angka nol pada tahun 976, yang akhirnya mendorong Muhammad bin Musa Al-Khawarizmiy menemukan perhitungan Aljabar. Tanpa penemuan-penemuan tersebut, Ilmu Pasti akan tetap merangkak dan meraba-raba dalam alam gelap gulita.
Mewujudkan iklim ilmu pengetahuan jauh lebih penting daripada menemukan teori ilmiah, karena tanpa wujudnya iklim ilmu pengetahuan, para ahli yang menemukan teori itu akan mengalami nasib seperti Galileo, yang menjadi korban hasil penemuannya.
Al-Quran sebagai kitab petunjuk yang memberikan petunjuk kepada manusia untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan adalah mendorong manusia seluruhnya untuk mempergunakan akal pikirannya serta menambah ilmu pengetahuannya sebisa mungkin. Kemudian juga menjadikan observasi atas alam semesta sebagai alat untuk percaya kepada yang setiap penemuan baru atau teori ilmiah, sehingga mereka dapat mencarikan dalilnya dalam Al-Quran untuk dibenarkan atau dibantahnya. Bukan saja karena tidak sejalan dengan tujuan-tujuan pokok Al-Quran tetapi juga tidak sejalan dengan ciri-ciri khas ilmu pengetahuan. Untuk menjelaskan hal ini, berikut ini kami paparkan beberapa ciri-ciri ilmu pengetahuan.

Ciri Khas Ilmu Pengetahuan

Ciri khas nyata dari ilmu pengetahuan (science) yang tidak dapat diingkari --meskipun oleh para ilmuwan-- adalah bahwa ia tidak mengenal kata "kekal". Apa yang dianggap salah di masa silam misalnya, dapat diakui kebenarannya di abad modern.
Pandangan terhadap persoalan-persoalan ilmiah silih berganti, bukan saja dalam lapangan pembahasan satu ilmu saja, tetapi terutama juga dalam teori-teori setiap cabang ilmu pengetahuan. Dahulu, misalnya, segala sesuatu diterangkan dalam konsep material (istilah-istilah kebendaan) sampai-sampai manusia pun hendak dikatagorikan dalam konsep tersebut. Sekarang ini kita dapati psikologi yang membahas mengenai jiwa, budi dan semangat, telah mengambil tempat tersendiri dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Dahulu, persoalan-persoalan moral tidak mendapat perhatian ilmuwan, tetapi kini penggunaan senjata-senjata nuklir, misalnya, tidak dapat dilepaskan dari persoalan tersebut; mereka tidak mengabaikan persoalan moral dalam penggunaan senjata nuklir yang merupakan hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan.
Teori-teori ilmiah juga silih berganti. Qawanin Al-Thabi'ah (Natural Law) yang dahulu dianggap pasti, tak mengizinkan suatu kebebasan pun. Sekarang ini ia hanya dinilai sebagai "summary of statictical averages" (ikhtisar dari rerata statistik).
Teori bumi datar yang merupakan satu hukum aksioma di suatu masa misalnya, dibatalkan oleh teori bumi bulat yang kemudian dibatalkan pula oleh teori lonjong seperti lonjongnya telur. Mungkin tidak sedikit orang yang yakin-bahwa pertimbangan-pertimbangan logika atau ilmiah --terutama menurut Ilmu Pasti-- adalah "benar", sedangkan kenyataannya belum tentu demikian.
Salah satu sebab dari kesalahan ini adalah karena sering kali titik tolak dari pemikiran manusia berdasarkan pancaindera atau perasaan umum. Perasaan umumlah yang, misalnya, menyatakan bahwa sepotong baja adalah padat, padahal sinar U memperlihatkan bahwa ia berpori.
Karenanya, tidak heran kalau Imam Al-Ghazali pada suatu masa hidupnya tidak mempercayai indera. Beliau menulis dalam kitabnya Al-Munqidz min Al-Dhalal: "Bagaimana kita dapat mempercayai pancaindera, dimana mata merupakan indera terkuat, sedangkan bila ia melihat ke satu bayangan dilihatnya berhenti tak bergerak sehingga dikatakanlah bahwa bayangan tak bergerak. Tetapi dengan pengalaman dan pandangan mata, setelah beberapa saat, diketahui bahwa bayangan tadi tak bergerak, bukan disebabkan gerakan spontan tetapi sedikit demi sedikit sehingga ia sebenarnya tak pernah berhenti; begitu juga mata memandang kepada bintang, ia melihatnya kecil bagaikan uang dinar, akan tetapi alat membuktikan bahwa bintang lebih besar daripada bumi."12
Segala undang-undang ilmiah yang diketahui hanya menyatakan saling bergantinya "psychological states" (keadaan-keadaan jiwa) yang ditentukan pada diri kita oleh sebab-sebab tertentu (mengambil sebab dari musabab atau dari ma'lul kepada 'illah). Ini menunjukkan bahwa segala undang-undang ilmiah pada hakikatnya relatif dan subjektif.
Dari sini jelaslah bahwa ilmu pengetahuan hanya melihat dan menilik; bukan menetapkan. Ia melukiskan fakta-fakta, objek-objek dan fenomena-fenomena yang dilihat dengan mata seorang yang mempunyai sifat pelupa, keliru, dan ataupun tidak mengetahui. Karenanya, jelas pulalah bahwa apa yang dikatakan orang sebagai sesuatu yang benar (kebenaran ilmiah) sebenarnya hanya merupakan satu hal yang relatif dan mengandung arti yang sangat terbatas.
Kalau demikian ini sifat dan ciri khas ilmu pengetahuan dan peraturannya, maka dapatkah kita menguatkannya dengan ayat-ayat Tuhan yang bersifat absolut, abadi dan pasti benar? Relakah kita mengubah arti ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan perubahan atau teori ilmiah yang tidak atau belum mapan itu? Tidakkah hal ini memberikan kesempatan kepada musuh-musuh Al-Quran atau bahkan kepada kaum Muslim sendiri untuk meragukan kebenaran Al-Quran, kitab akidah dan petunjuk, terutama setelah ternyata terdapat kesalahan suatu teori ilmiah yang tadinya dibenarkan oleh Al-Quran? Demikian juga mengingkari suatu teori ilmiah berdasarkan ayat-ayat Al-Quran sangat berbahaya, karena ekses yang ditimbulkannya tidak kurang bahayanya dengan apa yang timbul di Eropa ketika gereja mengingkari teori bulatnya bumi dan peredarannya mengelilingi matahari.

Perkembangan Tafsir

Perkembangan hidup manusia mempunyai pengaruh yang sangat mendalam terhadap perkembangan akal-pikirannya. Ini juga berarti mempunyai pengaruh dalam pengertian terhadap ayat-ayat Al-Quran.
Dalam abad pertama Islam, para ulama sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Seorang pernah bertanya kepada Sayyidina Abu Bakar, apakah arti kalimat abba dalam ayat: wa fakihah wa abba. Beliau menjawab: "Di bumi apakah aku berpijak, dengan langit apakah aku berteduh bila aku mengatakan sesuatu dalam Al-Quran menurut pendapatku".
Bahkan, sebagian di antara para ulama, bila ditanya mengenai pengertian satu ayat, mereka tidak memberikan jawaban apa pun. Diriwayatkan oleh Imam Malik bahwa Said Ibn Musayyab, bila ditanya mengenai tafsir suatu ayat, beliau berkata: "Kami tidak berbicara mengenai Al-Quran sedikit pun." Demikian juga halnya dengan Sali bin 'Abdullah bin 'Umar, Al-Qasim bin Abi Bakar, Nafi', Al-Asma'i, dan lain-lain.
Pada abad-abad berikutnya, sebagian besar ulama berpendapat bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat-ayat Al-Quran selama ia memiliki syarat-syarat tertentu seperti: pengetahuan bahasa yang cukup, misalnya, menguasai nahw, sharaf, balaghah, dan isytiqaq; juga Ilmu Ushuluddin, Ilmu Qira'ah, Asbab Al-Nuzul, Nasikh-Mansukh, dan lain sebagainya.
Sejarah penafsiran Al-Quran dimulai dengan menafsirkan ayat-ayatnya sesuai dengan hadis-hadis Rasulullah saw., atau pendapat para sahabat. Penafsiran demikian kemudian berkembang, sehingga dengan tidak disadari, bercampurlah hadis-hadis shahih dengan Isra'iliyat (kisah-kisah yang bersumber dari Ahli Kitab yang umumnya tidak sejalan dengan kesucian agama atau pikiran yang sehat). Hal ini mengakibatkan sebagian ulama menolak penafsiran yang menggambarkan pendapat-pendapat penulisnya, atau menyatukan pendapat-pendapat tersebut dengan hadis-hadis atau pendapat-pendapat para sahabat yang dianggap benar.
Tafsir Al- Thabari, misalnya, adalah satu kitab tafsir yang menyimpulkan hadis-hadis dan pendapat-pendapat terdahulu. Kemudian penulisnya, Al-Thabari, men-tarjih (menguatkan) salah satu pendapat di antaranya. Sedangkan Tafsir Fakhr Al-Razi (w. 606 H/1209 M) adalah satu kitab yang lebih banyak menggambarkan pendapat Fahr Al-Razi sendiri; sementara riwayat-riwayat terdahulu tidak banyak dituliskan, kecuali dalam batas-batas yang sangat sempit.
Demikianlah, dan dari masa ke masa timbullah kemudian beraneka warna corak tafsir: ada yang berdasarkan nalar penulisnya saja, ada pula berdasarkan riwayat-riwayat, ada pula yang menyatukan antara keduanya. Persoalan-persoalan yang dibahas pun bermacam-macam: ada yang hanya membahas arti dari kalimat-kalimat yang sukar saja (Tafsir Gharib), seperti Al-Zajjaj dan Al-Wahidiy; ada yang menulis kisah-kisah, seperti Al-Tsa'labiy dan Al-Khazin; ada yang memperhatikan persoalan balaghah (sastra bahasa) seperti Al-Zamakhsyari; atau persoalan ilmu pengetahuan, logika dan filsafat seperti Al-Fakhr Al-Razi; atau fiqih seperti Al-Qurthubiy; dan ada pula yang hanya merupakan "terjemahan" kalimat-kalimatnya saja seperti Tafsir Al-Jalalain.
Agaknya benar juga pandangan sementara pakar, bahwa "Sepanjang sejarah, tidak dikenal satu kitab apa pun yang telah ditafsirkan, diterangkan, dikumpulkan interpretasi dan pendapat para ahli terhadapnya dalam kitab yang berjilid-jilid seperti halnya Al-Quran."
Penafsiran ilmiah atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan ilmu pengetahuan telah lama berlangsung. Tafsir Fakhr Al-Raziy, misalnya, adalah satu contoh dari penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat Al-Quran, sehingga sebagian ulama tidak menamakan kitabnya sebagai Kitab Tafsir. Karena persoalan-persoalan filsafat dan logika disinggung dengan sangat luas.
Abu Hayyan dalam tafsirnya menulis: "Al-Fakhr Al-Razi di dalam Tafsirnya mengumpulkan banyak persoalan secara luas yang tidak dibutuhkan dalam Ilmu Tafsir. Karenanya sebagian ulama berkata: 'Di dalam Tafsirnya terdapat segala sesuatu kecuali tafsir'."13
Kelanjutan dari penafsiran ilmiah ini adalah penafsiran yang sesuai dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru. Dahulu ada orang yang menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa planet hanya tujuh (sebagaimana pendapat ahli-ahli Falak ketika itu) dengan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa ada tujuh langit. Teori tujuh planet tersebut ternyata salah. Karena planet-planet yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan dalam tata surya saja berjumlah 10 planet, disamping jutaan bintang yang tampaknya memenuhi langit, kesepuluh planet itu hanya laksana setetes air dalam lautan bila dibandingkan dengan banyaknya bintang di seluruh angkasa raya.
Setiap galaksi, menurut mereka, rata-rata memiliki seratus biliun bintang, sedangkan seluruh ruang alam semesta didiami oleh berbiliun-biliun galaksi.
Jadi, yang membenarkan bahwa planet hanya tujuh berdasarkan ayat-ayat tadi, nyata-nyata telah keliru. Kekeliruan tersebut merupakan satu dosa besar bila dia memaksakan orang untuk mempercayai pendapat tersebut atas nama Al-Quran, atau dia meyakini hal tersebut sebagai satu akidah Al-Quran. Setiap Muslim wajib mempercayai segala sesuatu yang terdapat di dalam Al-Quran. Bila seseorang membenarkan satu teori ilmiah berdasarkan Al-Quran, berarti pula dia mewajibkan setiap Muslim untuk mempercayai teori tersebut.
Kekeliruan mereka itu serupa dengan kekeliruan sebagian cendekiawan Islam yang mengingkari teori evolusi Darwin (1804-1872) dengan beberapa ayat Al-Quran, atau mereka yang membenarkan dengan ayat-ayat lainnya. Memang, tak sedikit dari cendekiawan Islam yang mengakui kebenaran teori tersebut. Bahkan lima abad sebelum Charles Darwin, 'Abdurrahman Ibn Khaldun (1332-1406) menulis dalam kitabnya, Kitab Al-'Ibar fi Daiwani Al-Mubtada'i wa Al-Khabar (dalam mukadimah ke-6 pasal I) sebagai berikut: "Alam binatang meluas sehingga bermacam-macam golongannya dan berakhir proses kejadiannya pada masa manusia yang mempunyai pikiran dan pandangan. Manusia meningkat dari alam kera yang hanya mempunyai kecakapan dan dapat mengetahui tetapi belum sampai pada tingkat menilik dan berpikir."
Yang dimaksud dengan kera oleh beliau ialah sejenis makhluk yang --oleh para penganut evolusionisme-- disebut Anthropoides. Ibnu Khaldun dan cendekiawan-cendekiawan lainnya, ketika mengatakan atau menemukan teori tersebut, bukannya merujuk kepada Al-Quran, tetapi berdasarkan penyelidikan dan penelitian mereka. Walaupun demikian, ada sementara Muslim yang kemudian berusaha membenarkan teori evolusi dengan ayat-ayat Al-Quran seperti: Mengapakah kamu sekalian tidak memikirkan/mempercayai kebesaran Allah, sedangkan Dia telah menjadikan kamu berfase-fase (QS 71:13-14).
Fase-fase ini menurut mereka bukan sebagaimana apa yang kami pahami dan yang diterangkan oleh Al-Quran dalam surah Al-Mu'minun ayat 11-14. Tapi mereka menafsirkannya sesuai dengan paham penganut-penganut teori Darwin dalam proses kejadian manusia. Ayat, Adapun buih maka akan lenyaplah ia sebagai sesuatu yang tak bernilai, sedangkan yang berguna bagi manusia tetap tinggal di permukaan bumi (QS 13:17) dijadikan bukti kebenaran teori "struggle for life" yang menjadi salah satu landasan teori Darwin. Hemat penulis, ayat-ayat tadi, dan yang semacamnya, tidak dapat dijadikan dasar untuk menguatkan dan membenarkan teori Darwin, tetapi ini bukan berarti bahwa teori tadi salah menurut Al-Quran. 'Abbas Mahmud Al-'Aqqad menerangkan dalam bukunya Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, sebagai berikut: "Mereka yang mengingkari teori evolusi dapat mengingkarinya dari diri mereka sendiri, karena mereka tidak puas terhadap kebenaran argumentasi-argumentasinya. Tetapi mereka tidak boleh mengingkarinya berdasarkan Al-Quran Al-Karim, karena mereka tidak dapat menafsirkan kejadian asal-usul manusia dari tanah dalam satu penafsiran saja kemudian menyalahkan penafsiran-penafsiran lainnya."14
Atau apa yang ditulis oleh Muhammad Rasyid Ridha dalam majalah Al-Manar. "Teori Darwin tidak membatalkan --bila teori tersebut benar dan merupakan hal yang nyata-- tentang satu dasar dari dasar-dasar Islam; tidak bertentangan dengan satu ayat dari ayat-ayat Al-Quran. Saya mengenal dokter-dokter dan lainnya yang sependapat dengan Darwin. Mereka itu orang-orang mukmin dengan keimanan yang benar dan Muslim dengan keislaman sejati; mereka menunaikan sembahyang dan kewajiban-kewajiban lainnya, meninggalkan keonaran, dosa dan kekejaman yang dilarang Allah SWT sesuai dengan ajaran-ajaran agama mereka. Tetapi teori tersebut adalah ilmiah, bukan persoalan agama sedikit pun."15
Kita tidak dapat membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah dengan ayat-ayat Al-Quran; setiap ditemukan suatu teori cepat-cepat pula kita membuka lembaran-lembaran Al-Quran untuk membenarkan atau menyalahkannya, karena apabila teori yang dibenarkan itu ternyata salah atau sebaliknya, maka musuh-musuh Islam mendapat kesempatan yang sangat baik untuk menyalahkan Kitab Allah sambil mencemooh kaum Muslim. Jalan yang lebih tepat guna membantah cemoohan ialah dengan menghindarkan sebab-sebab cemoohan itu: Janganlah kamu mencerca orang-orang yang menyembah selain Allah, karena hal ini menjadikan mereka mencerca Allah dengan melampaui batas, karena kebodohan mereka (QS 6:108).
Ayat ini melarang kita mencemoohkan mereka, karena cercaan kita merupakan sebab dari cercaan mereka kepada Allah SWT. Begitu juga halnya dalam masalah Al-Quran: jangan membenarkan atau menyalahkan suatu teori dengan ayat-ayat Allah (Al-Quran) yang memang pada dasarnya tidak membahas persoalan-persoalan tersebut secara mendetil. Tidak membahas secara mendetil, karena tidak dapat diingkari bahwa ada ayat-ayat Al-Quran yang menyinggung secara sepintas lalu kebenaran-kebenaran ilmiah yang belum ditemukan atau diketahui oleh manusia di masa turunnya Al-Quran, seperti firman Allah SWT:
Apakah orang-orang kafir tidak berpikir sehingga tidak mengetahui bahwa langit dan bumi tadinya bersatu/bertaut, kemudian kami ceraikan keduanya dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air (QS 21:30).
Ayat ini menerangkan bahwa langit dan bumi, tadinya merupakan suatu gumpalan. Dan pada suatu masa yang tidak diterangkan oleh Al-Quran, gumpalan tersebut dipecahkan atau dipisah oleh Allah SWT. Hanya ini yang dimengerti dari ayat tersebut dan merupakan kewajiban setiap Muslim untuk mempercayainya. Seorang Muslim tidak dapat menyatakan bahwa ayat tersebut menguatkan suatu teori, atau lebih tepat dikatakan sebagai hipotesis tentang pembentukan matahari dan planet-planet lainnya, apa pun teori tersebut.
Setiap orang bebas untuk menyatakan pendapatnya mengenai terjadinya planet-planet tata surya. Ia boleh berkata bahwa ia berasal bola gas yang berotasi cepat, yang lama kelamaan pecah dan terpisah-pisah menjadi planet-planet kecil akibat panas yang sangat keras. Ia juga dapat menyatakan bahwa terjadinya planet sebagai akibat tabrakan antara dua matahari, atau disebabkan karena pecahnya matahari itu sendiri, dan lain-lain. Setiap orang bebas dan berhak untuk menyatakan apa yang dianggapnya benar, tetapi ia tidak berhak untuk menguatkan pendapatnya dengan ayat tersebut dengan memahaminya lebih dari apa yang tersimpul didalamnya. Karena dengan demikian ia menjadikan pendapat tersebut sebagai satu akidah dari 'aqidah Quraniyyah. Dan ia juga tidak berhak untuk menyalahkan satu teori atas nama Al-Quran kecuali bila ia membawakan satu nash yang membatalkannya.

Catatan kaki

8 Jumlah yang populer dan luas dipegang adalah 6.666 ayat. Tetapi, jumlah ini tidak diketahui dasarnya. Terdapat juga pandangan lain. Perbedaan jumlah ini disebabkan oleh perbedaan cara menghitung basmalah di setiap awal surat sebagai ayat tersendiri. Juga ayat seperti Alif lam mim, dan lain-lain.
9 Terbitan Dar Al-Irsyad, 1969, h. 30.
10 Ibid.
11 Pertanyaan yang mengandung kecaman, sekaligus larangan untuk melakukannya.
12 Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal, komentar 'Abdul Halim Mahmud, Anglo Al-Mishriyyah, Kairo, 1964, h. 15.
13 Abu Hayyan, Al-Bahr Al-Muhith, Dar Al-Fikr, Kairo 1979, Jilid I, h. 13.
14 Bandingkan dengan 'Abbas Mahmud Al-Aqqad, Al-Insan fi Al-Quran Al-Karim, Dar Al-Hilal, Kairo, t.t., h. 171.
15 Al-Manar, Sya'ban 1327/September 1909.