Jumat, 25 Februari 2011

ORIENTALISME VIS A VIS OKSIDENTALISME

img_2291Islam merupakan agama samawi terakhir yang diturunkan Allah kepada manusia melalui utusan terakhir-Nya Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para nabi dan rasul, hal ini menjadikan ajaran Islam sebagai agama paripurna yang menyempurnakan segala aturan dari agama-agama samawi sebelumnya.
Kedatangan agama Islam yang didakwahkan Nabi Muhammad menampakkan kilaunya setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah dan seruannya diterima dengan baik di sana, cahaya Islam mulai menyala dan dalam waktu yang singkat menerangi kegelapan di jazirah Arabia, bahkan lambat laun menerangi daerah-daerah sekitarnya sehingga pada masa itu Madinah telah menjelma menjadi sebuah negara besar dengan seorang pemimpin besar tak kalah besarnya dengan Imperium Rumawi di Barat dan Imperium Persia di Timur.
Dalam memahami Islam, harus ditinjau dari dua aspek pokok yang saling berkaitan, yakni : pertama, aspek tekstual berupa aturan-aturan Islam secara normatif yang termuat dalam al-Qur’an dan Hadits yang keberadaannya absolut dan non debatabel, aspek ini lazim disebut Islam normatif; kedua, aspek kontekstual berupa penerapan secara praktis dari Islam normatif yang diambil dari upaya penggalian terhadap nilai-nilai normatif melalui berbagai pendekatan di berbagai bidang yang melahirkan berbagai disiplin ilmu, antara lain ilmu tafsir, hadits, fiqh, ushul al-fiqh, kalam, tasawwuf  dan lain-lain yang keberadaannya masih bersifat relatif dan debatabel, aspek ini lazim juga disebut Islam historis atau budaya umat Islam.
Dalam diskursus mengenai Islam historis yang relatif dan debatebel terbuka peluang besar kepada golongan di luar Islam terutama dunia Barat dalam usaha mempelajari Islam dan budaya umat Islam di Timur untuk ikut memberikan makna dalam penerapan Islam normatif, baik dengan tujuan yang tulus dan murni untuk memahami Islam maupun untuk tujuan-tujuan tertentu guna mendapatkan kemanfaatan dari khazanah Islam dan umat Islam yang --secara langsung maupun dan tidak langsung-- di dalamnya tersembunyi tujuan lain yang dapat merugikan Islam dan Umat Islam.
Salah satu golongan yang sangat getol untuk melakukan hal ini adalah kaum orientalis Barat yang dengan kiprahnya telah banyak memberikan pengaruh --utamanya kepada orang Barat-- terhadap cara bersikap terhadap Islam dan Timur selama berabad-abad di zaman kolonial, kehadiran orientalis dan pengaruhnya ini telah memunculkan reaksi dari dunia Timur dengan memunculkan ide oksidentalisme dengan cara mempelajari Barat dan memberikan  pemahaman yang berimbang terhadap dunia Barat dan dunia Timur.
Artikel sederhana ini akan menyajikan secara ringkas tentang Orientalisme dan Oksidentalisme dan berupaya mengadirkan pandangan seorang muslim awam terhadap dua kubu ini dari aspek kesejarahan dan kiprahnya masing-masing, dengan tidak menutup kemungkinan terbukanya sebuah diskusi dalam konteks pergumulan antara orientalisme vis a vis oksidentalisme baik dalam tataran ideal maupun aktual.
Istilah orientalisme secara umum dimaknai sebagai pola pikir Barat terhadap dunia Timur yang secara lengkap didefenisikan Ahmad Abd al-Hamid Ghurab (1992, hlm. 20-21) sebagai “kajian akademis yang dilakukan bangsa Barat yang kafir tentang Islam dan umat Islam dengan segala aspek, baik mengenai akidah, syari’at, pengetahuan, kebudayaan, sejarah, aturan dan peraturan, hasil bumi dan potensinya dengan tujuan untuk merusak dan mengotori citra Islam, meniupkan keraguan kepada kaum muslimin akan kebenaran dan kepercayaan mereka terhadap ajarannya, menyesatkan mereka dari jalan yang dianjurkan dalam syari’atnya. Kemudian dengan berbagai cara mengelabui mereka dengan sebuah kajian yang seolah-olah ilmiah dan objektif dengan mencitrakan adanya keunggulan dan kelebihan ilmu pengetahuan bangsa Barat atas bangsa Timur yang Islam.”
Tampaknya pengertian di atas lebih menekankan bahwa dalam Orientalisme Barat berperan sebagai Subjek, meskipun tekanan kepada hanya orang-orang Barat saja sudah sukar untuk dipertahankan karena ada orang-orang Timur sendiri yang dimasukkan ke dalam golongan Orientalisme seperti Turki dan Filipina (A. Muin Umar, 1978, h. 8) sedangkan Islam dan umat Islam dijadikan sebagai objek kajiannya. Hal ini dapat dimaklumi dikarenakan kajian tentang Islam --utamanya di dunia Arab-- ternyata lebih banyak dilakukan dibandingkan tentang ajaran agama lainnya yang berkembang di Timur seumpama Hindu dan  Budha.
Minat Barat untuk belajar dari Timur pada awalnya --sebelum pecah perang salib--untuk mendapatkan ilmu pengetahuan semata, hingga dari hasil belajar itu banyak petinggi Eropa terutama di Andalusia telah menggunakan budaya Arab Islam dalam kehidupan mereka, penggunaan bahasa Arab dan huruf Arab, cara berpakaian Arab dan lain-lain. Inilah yang menjadi cikal bakal munculnya orientalisme, di mana hampir semua perguruan tinggi di Eropa memasukkan bahasa Arab dalam kurikulumnya, seperti Bologna (Italia) 1076, Chatres (Perancis) 1117, Oxford (Inggris) 1167 dan lain-lain. Hal ini dikuatkan pendapat Syamsuddin Arif (2008), h. 282) yang menyatakan bahwa di abad pertengahan, orientalisme adalah upaya mempelajari karya-karya ilmuwan Islam, mereka bersemboyan Ex Oriente Lux yang berarti “Cahaya berasal dari Timur”.
Namun setelah pecah perang Salib dan Yerussalem jatuh ke tangan kerajaan Utsmani, mulailah semangat Eropa untuk mengkritik, mengecam dan menyerang Islam dari berbagai kepentingan. Mereka mulai mengarang buku dengan gambaran yang salah tentang Islam. Semangat permusuhan terhadap Islam ini, baru mereda setelah memasuki masa pencerahan di Eropa, yang diwarnai dengan keinginan mencari kebenaran secara objektif, namun berbarengan dengan itu muncul pula era kolonialisme Barat terhadap dunia Timur terutama Islam hingga objektifitas pengetahuan tentang Timur dan Islam dijadikan alat untuk mengokohkan cengkraman kolonialisme Barat terhadap Timur.
Gerakan orientalisme dengan semangat yang sama terus berlanjut setelah berakhirnya masa kolonialisme Barat di awal abad ke-20, pada masa ini gerakan tersebut berupa penggalian dan pemunculan kembali terhadap pemikiran-pemikiran para orientalis lama terhadap pemikiran orientalis era baru seperti yang dilakukan di pusat-pusat studi Islam baik di Barat maupun di Timur, baik oleh pemikir Muslim maupun pemikir Non Muslim.
Dalam melaksanakan misinya mempelajari dunia Timur, penganut orientalisme mengadakan kegiatan-kegiatan terencana, di antaranya: (1) Mengadakan kongres-konres orientalis, dengan membahas issu-issu yang berkembang di Timur mengangkut georgafi, histori, antropologi, agama dan bidang lainnya; (2) Mendirikan lembaga-lembaga ketimuran, seperti di Prancis Sylvester de Sacy mendirikan Ecole des Langues Orientales Vivantesthe school of oriental studies London Institution (1917), di Belanda didirikan Oosters Instituut Leiden (1971) dengan tokohnya Snouck Hurgronje, Logemann dll. sedangkan di Amsterdam ada Instituut voor het mederne nabije oosten yang dipimpin oleh G.E. Pijper; (1795); (3)  Mendirikan organisasi-organisasi ketimuran; (4)  Menerbitkan Ensiklopedia dan buku-buku; (5) Menerbitkan Majalah-majalah.
Kegiatan-kegiatan ini dilakukan untuk mendukung misi dan sikap mereka terhadap Timur, terutama Islam. Di antara sikap mereka tersebut menurut Ghurab adalah sikap-sikap lama yang pernah ditunjukkan kaum musyrikīn dan ahl al-kitāb terhadap Islam pada masa lalu, sikap tersebut antara lain: (1) Menganggap bahwa al-Qur’an bukan merupakan wahyu dan Muhammad bukan Rasulullah, mereka menyatakan bahwa al-Qur’an adalah kata-kata dan buatan manusia, merupakan kesepakatan sepanjang masa. Karenanya mereka mendakwakan bahwa al-Qur’an adalah buatan Muhammad; (2) Menganggap bahwa Islam adalah ajaran yang penuh distorsi dan kekurangan, hingga secara spiritual sama sekali tidak sah. Bahkan ajaran Islam disebut sebagai Muhammadanisme (Agama Muhammad); (3) Menuduh bahwa Nabi Muhammad adalah orang yang haus kekuasaan, dengan menyatakan bahwa tabiat yang ada pada Muhammad bukanlah sosok ahli pikir atau filosof agama, karena itu ia memusatkan pada kekuasaan dan sama sekali tidak mengarahkan perhatian pada pembentukan aqidah; (4) Menganggap hadits sebagai hasil rekayasa sahabat dan bukan berasal dari Rasul.
Uraian di atas menunjukkan bahwa para orientalis sesungguhnya tidaklah secara jujur menilai Islam sebagai agama yang berasal dari Allah, melainkan hanya sekedar menganggapnya sebagai hasil budaya manusia Timur dalam hal ini Muhammad dan para sahabatnya yang diteruskan oleh pengikut-pengikut mereka. Sikap-sikap ini tercermin dalam isi setiap karya tulis yang mereka hasilkan.
Dengan demikian, menurut Zufran Rahman (1995, h. 148) --dengan mengutip Musthafa al-Siba’i dari al-Isyrāq wa al-Mustasyrikūn-- bahwa jika diamati ternyata taktik dan methode penulisan buku-buku orientalisme ialah membuatnya seolah-olah ilmiah dan objektif, di antara trik yang mereka lakukan adalah : (1) Menentukan ide, kemudian mencari dalil-dalil yang dapat menguatkan ide tersebut walaupun secara dipaksakan dan tidak mengena, bahkan tanpa mempedulikan dari mana sumber pengambilannya (jika perlu buku-buku dongeng atau lelucon-lelucon yang sama sekali tidak ilmiah); (2) Dalam tulisannya, mereka awalnya memuji Islam untuk menarik simpati para pembaca kemudian melancarkan tuduhan dan pandangan buruk yang dapat merusak kebaikan yang sebelumnya dipuji; (3) Menonjolkan kesalahan dan kelemahan kaum muslimin sebagai kekeliruan ajaran Islam, bukan karena kebodohan dan kesalahan mereka terhadap nilai-nilai Islam; (4) Membesar-besarkan kekeliruan dan kesalahan yang kecil dari umat Islam, sehingga memungkinkan untuk mencoreng lembaga sejarah dan peradaban Islam dan memupuskan segala kebaikan Islam.
Cara-cara penelitian mereka terhadap khazanah Islam dengan apa yang disebut metodologi ilmiah, kritis dan objektif namun tanpa landasan keimanan yang kokoh, menurut hemat penulis sangat berbahaya dan akan membawa keraguan seorang muslim terhadap keimanannya kepada Islam sebagai agama, bahkan ikut-ikut menganggap Islam bukan ajaran dari Allah yang maha agung melainkan sekedar hasil budaya dan karya manusia semata. Hingga tidaklah mengherankan jika pengaruh pemikiran yang dihasilkan kaum orientalis ini akan menjadikan seorang muslim meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan.
Di pihak lain, oksidentalisme secara umum dimaknai sebagai cara pandang terhadap yang lainnya dari kacamata ketimuran. Kelahirannya dipicu oleh dominasi kajian Barat terhadap Islam dan adanya ketimpangan akibat westrenisasi yang berpengaruh luas tidak hanya pada budaya dan konsepsi tentang alam, tapi juga mengancam kemerdekaan peradaban manusia.
Hadirnya oksidentalisme bertujuan menguraikan inferioritas hubungan Timur dan Barat, menumbangkan superioritas Barat dengan menjadikannya objek kajian dan melenyapkan inferioritas Timur dengan menjadikannya sebagai subjek pengkaji. Secara historis terdapat perbedaan antara orientalisme dan oksidentalisme, dimana orientalisme muncul di tengah ekspansi imperialisme Eropa pada abad ke-17 yang kemudian berkembang membawa paradigma riset ilmiah dan aliran politik yang tidak bersifat netral karena banyak didominasi struktur kesadaran Eropa, sedangkan oksidentalisme cenderung berupa upaya pembebasan tanah air dan belum mengembangkan bentuk apapun hingga berposisi netral karena tidak memburu kekuasaan dan hak kontrol.
Sesungguhnya oksidentalisme sudah ada sejak lama, Dunia Timur yang diwakili Tradisi Islam dan tradisi lain yang telah ada sebelum Islam pada masa lalu telah mengupayakan pengkajian terhadap Yunani dan Romawi sebagai represantasi sumber kesadaran Eropa. Proses pengkajian tersebut menghadirkan dialektika antara tradisi Islam sebagai peradaban Timur dan Barat sebagai objek kajian.
Pada tataran konseptual, oksidentalisme berusaha memahami Eropa secara holistis (menyeluruh) mengenai sejarah kelahiran dan perkembangannya, serta meletakkan Eropa dalam batas geografis dan demografisnya. Oksidentalisme mendambakan terhapusnya budaya kosmopolit yang dipropagandakan Barat dan menemukan jati diri sebuah bangsa dengan ciri khasnya. Oksidentalisme menawarkan kesadaran bahwa setiap bangsa memiliki tipe peradaban dan kesadarananya sendiri, hal ini membuka jalan bagi terciptanya inovasi bangsa non Eropa dan membebaskannya dari pengaruh Eropa yang menghalangi nuraninya, sehingga mereka dapat berpikir dengan akal dan dalam kerangka lokalnya sendiri.
Secara epistimologis, oksidentalisme berupaya mengakhiri hegemoni orientalisme dan mengembalikan status Timur dari sekedar monumen yang dikaji menjadi manusia yang mengkaji. Lebih dari itu, oksidentalisme juga menjelma sebagai ilmu pengetahuan yang akurat serta membentuk peneliti yang mempelajari dan menyelami peradabannya dengan kacamatanya sendiri dan mengkaji peradaban lain secara lebih netral, tidak seperti yang dilakukan Barat terhadap peradaban lain. Dengan oksidentalisme, manusia akan mengalami era baru yang menampilkan rasialisme sebagai penyakit yang harus dimusnahkan, yang selama ini terpendam dan menjadi borok nafas peradaban yang dihembuskan bersama kesadaran Eropa.
Oksidentalisme bertujuan mengakhiri mitos bahwa Barat sebagai representasi seluruh umat manusia serta sebagai pusat kekuatan dan penentu modernitas, menghapus eurosentrisme dan menjelaskan bagaimana kesadaran Eropa mengambil posisi tertinggi sampai pada yahap hegemoni di sepanjang sejarah. Selain itu, oksidentalisme juga mengembalikan kebudayaan Barat ke batas alamiahnya setelah selama kejayaan imperialisme menyebar keluar menlalui penguasaan teknologi mendia informasi, pusat penelitian ilmiah dan media penakluk lainnya.
Oksidentalisme hadir sebagai bentuk reaksi dari keberadaan orientalisme yang --dalam kurun waktu antara abad ke-17 sampai abad ke-20-- telah memposisikan Barat sebagai Subjek pengkaji Timur hingga menimbulkan stereotipe-stereotipe psikologis yang luar biasa parah, antara lain rasa superioritas Barat karena mereka selalu mensubyekkan diri, sebagai pengamat. Sebaliknya Timur yang melulu dijadikan obyek kajian, dan bahkan sasaran penjajahan Barat, lalu merasa inferior. Karena jika hubungan superior-inferior ini dipelihara terus, tidak saja berakibat pada ketidakharmonisan Barat-Timur selama berabad-abad, tapi juga memperkeruh komplikasi sejarah dalam konflik peradaban.
Sebagai bentuk reaksi itu oksidentalisme mengambil sikap bahwa ekspansi kolonialisme Barat yang tanpa batas harus segera dihentikan. Perang kebudayaan pun mesti cepat-cepat diakhiri, lalu kebudayaan dan peradaban Barat dikembalikan ke wilayah geografis dan historisnya dengan menghapus rasa inferior dunia Islam vis a vis dengan superior dunia Barat.
Dalam hal ini Hasan Hanafi (2000, h. 57) megilustrasikan bahwa yang terpenting adalah  “mengakhiri orientalisme” dalam pengertian mengubah status Timur dari sekadar obyek, menjadi subyek. Timur sebagai subyek, sedangkan Barat yang dijadikan obyek kajian. Bahkan lebih dari itu, oksidentalisme juga dapat mengubah peradaban Barat dari kajian-obyek menjadi obyek-kajian dengan melacak sejarah, sumber, lingkungan, awal, akhir, kemunculan, perkembangan, struktur, dan keterbentukan peradaban Barat.
Lebih lanjut diungkapkan, ada harapan bahwa pembebasan diri dari dominasi pihak lain yang selama ini dicita-citakan proyek oksidentalisme dapat tercapai, sehingga muncul “harmoni kebudayaan-peradaban” antara ana (yakni, “saya”, umat/dunia Islam) dengan al-akhar (the other, pihak lain, Barat/Eropa Kristen). Harmoni tersebut perlu dilestarikan terus, terutama dari sudut pandang ontologisnya. Misalnya, seperti dilukiskan begitu indah oleh Hasan Hanafi, “membebaskan ego dari kekuasaan the other pada tingkat peradaban, agar ego dapat memposisikan dirinya sendiri secara bebas.” “Saya tidak teralienasi” karena itu “saya ada”; atau “saya bukan orang lain” dan karenanya “saya ada”.Yang dimaksud dengan ego dalam hal ini adalah peradaban Timur, khususnya Islam; dan the other adalah Barat.
Akhirnya, oksidentalisme idealnya diharapkan mampu membentuk sosok bangsa Timur yang mengenal dirinya, mengenal agamanya, tradisi intelektual secara mendalam dan menyeluruh. Bahkan kalau bisa dapat menghadirkan rasa self confident atau --dengan bahasa gaulnya--“pe de” dengan cara melawan pembaratan dengan cara-cara rasional dan ilmiah. Saat ini harus diakui bahwa hegemoni politik, ekonomi, dan budaya sudah di tangan mereka. Dalam bidang intelektual, mereka juga berhasil menciptakan anggapan bahwa otoritas ada pada mereka dan salah satu langkah konkritnya adalah pemperdalam pengetahuan orang Islam tentang sejarah Islam, sejarah al-Qur’an, sejarah hadits dan hukum Islam, di samping --yang tak kalah perlunya-- mempelajari sejarah Kristen dan Yahudi. Semua ini harus dilakukan karena mereka faham sejarah Islam sedangkan umat Islam mayoritas buta sejarah mereka, sehingga tidak heran jika umat Islam akan gamang ketika mereka mengatakan “What you know, we know. What we know you don’n kwow” artinya “apa yang anda tahu, kami juga tahu. Apa yang kami tahu, anda tidak tahu”.
Sudah saatnya umat Islam percaya diri untuk menggali khazanah sendiri yang bersumber dari kalangan sendiri yang begitu kaya dan tak terpermanai jumlahnya, tanpa harus terhanyut oleh pesona khazanah “import” yang datang dari luar Islam yang dapat meracuni umat dan membawa umat jauh dari akar ke-Islamannya. Seraya pula berupaya untuk terus jadi orang yang dengan yakin mengatakan kepada mereka para “importir” tersebut  “lakum dinukum wa liya din.”

Dr. Muhammad Iqbal

Oleh: Herisuanto bin Mahfudz

Dr. muhammad Iqbal adalah salah seorang tokoh abad ke-20 yang menjadi kebanggaan dunia islam, dulu, kini dan akan datang. Beliau telah memberikan sumbangan besar pada dunia islam bahkan dunia internasional, Tokoh yang berasal dari Pakistan ini selain terkenal sebagai penyair besar dalam peradaban dunia sastra islam juga terkenal sebagai pemikir, filosof, ahli perundang-undangan, reformis, politikus, ahli kebudayaan dan pendidikan.
Kalau kita perhatikan karya-karyanya yang dituangkan dalam syair-syair dan puisinya dapat kita tangkap beliau tidak hanya menyerukan rasa hatinya dalam pembentukan atau kemerdekaan negara Pakistan dari tangan penjajah, tetapi juga tentang kegemilangan zaman islam di Spanyol, mengenai nasib Umat islam seperti faktor-faktor yang menjadi penyebab kemunduran umat islam dan faktor-faktor yang mendorong kebangkitan umat islam, beliau juga menyinggung tentang keburukan dan kebaikan budaya barat dan sebagainya.

Riwayat Hidup Sang Penyair

Dr.Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot, Wilayah Punjab (pakistan barat) pada tahun 1877. Iqbal berasal dari keluarga Brahma Kashmir, tetapi nenek moyang Muhammad Iqbal telah memeluk islam 200 tahun sebelum Ia dilahirkan. Ayah muhammad Iqbal, Nur Muhammad adalah penganut islam yang taat dan cenderung ke pada ilmu tasawuf.
Dengan lingkungan dan asuhan yang ada dalam rumah muhammad Iqbal, sedikit banyak telah menanamkan roh islam dalam jiwa Muhammad Iqbal, Ia masuk sekolah dasar dan menengah di Sialkot. pada masa yang sama Ia mendapatkan pendidikan agama secara langsung dari seorang guru yang bernama Mir Hassan, dari guru beliau ini ia memahami islam secara mendalam, mengajarinya sikap kritis dan mengasah bakatnya dalam dunia kesusastraan.
Tidak berlebihan jika dikatakan pengaruh didikan gurunya Mir Hassan ini direkam mendalam dan sangat mempengaruhi jiwa Muhammad Iqbal yang ia ukir lewat untaian bait-bait syair sebagaimana tergambar dalam rangkaian sajaknya ini:
Cahayanya dari keluarga Ali yang penuh berkah
Pintu gerbang dibersihkan sentiasa, bagiku bagaikan Kaabah
Nafasnya menumbuhkan tunas keinginanku
Penuh ghairah hingga menjadi kuntum bunga yang merekah indah
Daya kritis tumbuh dalam diriku oleh cahayanya yang ramah.
(Lihat Dr. H. H. Bilgrami; 1979:16).

Pada tahun 1895 Muhammad iqbal melanjutkan sekolahnya di Government College Lahore. di sini ia dapat menguasai bahasa arab dan inggris dengan baik disamping penguasaanya terhadap bahasa urdu dan bahasa persi. Ia lulus sarjana muda Bachelor of Arts tahun 1897 untuk jurusan Filsafat, Bahasa Arab, dan Sastera Inggeris, dan gelaran Master of Arts pada 1899, setelah itu Ia mendalami bahasa arab di Oriental College, Lahore. saat beliau mendapatkan gelar Master of Arts Ia bertemu dengan Sir Thomas Arnold, seorang cendekiawan pakar filsafat modern, yang kemudian menjadi jambatan Iqbal ke peradaban Barat dan mendukungnya untuk melanjutkan pendidikan di Eropa. Selama berada di Lahore Iqbal banyak penulis puisi dan banyak berkenalan dengan sastrwan-sastrawan terkenal serta aktif pada persatuan-persatuan sastrawan di sana.
Muhammad Iqbal yang kuat keislamannya sangat tertarik kepada Profesor Thomas Arnold Sahabat rapat kenalannya sekaligus gurunya, karena Thomas Arnold seorang orientalis yang berpegang teguh kepada fakta-fakta ilmiah, cenderung kepada kebenaran, tidak merendahkan Islam dan tidak mencaci penganut-penganut Islam, sebagaimana setengah orientalis yang anti Islam.
Dengan gagasan ilmu dan kebudayaan Islam murni yang dipelajarinya dari Mir Hassan dan cara Thomas Arnold menyampaikan pengetahuan Islam, menimbulkan dua pengaruh dalam diri Muhammad Iqbal yaitu menghayati nilai suci Islam dan menghargai serta mengambil nilai-nilai yang baik dari peradaban Barat.
Selama Belajar di Eropa pemikiran Muhammad Iqbal tidak jumud sebaliknya ia memperhatikan dengan hikmah perkembangan peradaban barat. Ia mendapatkan bahwa orang orang Barat lebih mementingkan kebendaan dari pada kehormatan, mereka mengagungkan paham materialisme, imperialisme, dan nasionalisme. Iqbal mengingatkan bahawa kehidupan masyarakat yang sedemikian itu lambat-laun akan musnah dan binasa seperti yang dibayangkannya dalam sajaknya ini :
Saat tersingkap rahsia telah datang
Sang kekasih kan dipandang semua orang
Rahsia yang tersembunyi dalam kesunyian
Akan menjadi kenyataan.
Wahai penduduk benua Barat,
Bumi Tuhan bukanlah kedai
Apa yang kalian anggap berharga,
Akan terbukti tak bernilai
Peradaban kalian akan bunuh diri
Dengan senjatanya sendiri,
Sarang yang dibangunkan di atas kerapuhan dahan
Pasti tak akan lama bertahan.
(Lihat Dr.H.H.Bilgrami; 1979:18)


Karya-karyanya

Muhammad Iqbal adalah seorang yang kreatif berpuisi. Segala pemikiran dan perjuangannya terpancar dalam puisinya yang bernafaskan Islam dengan pengolahan bahasa dan bait syair yang indah. Oleh kerana itu beliau lebih dikenal sebagai sastrawan besar islam.
Antara karya puisinya yang dianggap besar pernah diterbitkan ialah Asrari Khudi (Rahsia agung-Rahsia Peribadi), terbit pada tahun 1915, diikuti dengan Rumuz bi Khudi (Rahsia tidak Mementingkan Diri Sendiri), pada tahun 1917, Fayami Mashriq (Pesan Untuk Timur), Tulu'ul Islam (Munculnya Islam) dan banyak lagi pada tahun-tahun berikutnya, bukunya yang dianggap penting ialah Reconstruction of Religious Thought in Islam (Membina Kembali Cita-Cita Keagamaan Dalam Islam) dan sebuah lagi yang tidak dapat disiapkannya kerana sakit tua yang dideritanya ialah The Reconstruction of Muslim Jurisprudence. Kebanyakan sajak-sajaknya ditulisnya dalam bahasa Parsi dan Urdu.
Setelah sakit agak lama, Sang penyair agung islam Muhammad Iqbal menghembuskan nafasnya yang terakhir pada 21 April 1938 dalam usia 65 tahun. Sayangnya beliau tidak sempat melihat sebagian dari usaha dan impiannya yang kemudian setelah ia wafat menjadi kenyataan.
Sesaat sebelum wafatnya, sang penyair besar itu menggoreskan sajak:
Bila beta telah pergi meninggalkan dunia ini, Tiap orang kan berkata ia telah mengenal beta Tapi sebenarnya tak seorang pun kenal kelana ini, apa yang Ia katakan Siapa yang ia ajak bicara Dan darimana ia datang.


Al-Qur'an

Mengenai Al-Qur'an, Muhammad iqbal menceritakan bahwa kitab suci ini telah menuntunnya kepada kesadaran yang mendalam dalam jiwanya katanya:
"Setiap hari selepas sholat Subuh, aku terus membaca Al-Quraan. Ayahku memerhatikan keadaan ini lalu bertanya: "Apa yang engkau baca?". Aku menjawab: "Aku sedang membaca Al-Qura'an". Demikianlah halnya selama tiga tahun ayahku bertanya pertanyaan yang sama dan aku memberikan jawaban yang sama. suatu hari aku bertanya kepadanya: "Apakah yang ada dalam dadamu wahai ayahku, engkau bertanya pertanyaan yang sama dan aku terpaksa menjawab dengan jawaban yang sama". Maka jawab ayahku: "sebenarnya aku ingin mengatakan kepadamu wahai anakku, bacalah Al-Qura'an itu seolah-olah ia diturunkan kepadamu". Sejak itulah aku mulai mencoba memahami kandungan Al-Quraan dan dari Al-Quraanlah aku mendapat cahaya inspirasi untuk sajak-sajakku". [Lihat Abu Al-Hasan Al-Nadawi, Rawa'ie Iqbal (Keindahan Iqbal, 1978)]
Dari sini jelaslah bahwa Al-Qur'an adalah sumber utama inspirasi syair-syairnya yang ditunjang dengan bakatnya yang besar dalam kesusastraan.
Tema Cinta
Iqbal seolah-olah tidak merasa puas dengan sajak yang pendek untuk menyampaikan maksudnya yang tersemat dalam hati dan pemikirannya. Dengan sajak yang panjang, ia bebas mencurahkan isi pemikiran dan mengalunkan perasaanya termasuk perasaan cinta yang menjadi fitrah manusia
Dalam menghayati keluasan cinta ini, Iqbal tidak pernah lupa bahawa kemuncak daripada segala yang dicintai ialah Allah Swt dan kekasih-Nya nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassalam. Mari kita nikmati suara hati Iqbal ini :
Titik yang bercahaya yang namanya ialah diri
Adalah bunga api hidup di bawah debu kita
Dengan cinta, ia jadi abadi
Lebih pintar, lebih membakar, lebih bersinar
Dari cinta bermula kegemilangan wujudnya,
Dan pembangunan kemungkinannya yang tidak diketahui
Keadaannya mengumpul api dari cinta
Cinta mengarahnya menyinari dunia
Cinta tidak takut pedang atau keris
Cinta bukan dilahirkan dari air dan udara dan tanah
Cinta mengadakan damai dan perang dalam dunia
Cinta ialah pancaran hidup
Cinta ialah pedang mati yang berkilauan
Batu yang paling keras retak oleh pandangan cinta
Cinta Allah akhirnya menjadi seluruhnya Allah
Dalam hati manusia bertempatnya Muhamamd
Tanah Madinah lebih manis dari kedua-dua alam
Oh gembiralah kota di mana tinggalnya yang dicinta
Konsep cinta Iqbal ini sesuai dengan ajaran Islam yang menuntut penganutnya memberikan keutamaan cinta kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw sebelum cinta kepada yang lainnya.

Politik

Pada tahun 1927, Iqbal berkiprah di arena politik secara aktif dan Ia dipilih sebagai perwakilan Dewan Punjab selama tiga tahun. Selanjutnya pada tahun 1930 diangkat menjadi presiden Sidang Tahunan Liga Muslim yang berlangsung di Allahabad. Dalam kesempatan ini Iqbal mengutarakan ide pembentukan sebuah negara Islam Pakistan. Ide ini dibentangkan berdasarkan geografi, keagamaan dan kesejahteraan masyarakat Islam yang jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan masyarakat Hindu.
Tujuan membentuk negara islam itu ditegaskan oleh Iqbal dalam rapat Liga Muslim pada tahun 1930 yang mendapat dukungan dari para anggotanya. Sejak saat itu ide dan tujuan pembetukan negara islam tersebut diumumkan secara resmi dan kemudian menjadi tujuan perjuangan nasional umat Islam India. Disebabkan gagasan ide ini, Iqbal telah diberi julukan sebagai : ‘Bapak Pakistan’.
Daerah-daerah yang diinginkan oleh Iqbal menjadi satu negara Islam India adalah Punjab, daerah perbatasan Utara Sind dan Balukhistan.
Di samping menyuarakan pembentukan negara Islam Pakistan, Iqbal juga menyeru kepada kebangkitan dan mempererat persaudaraan Islam sedunia. Bagaimanapun sebagai seorang yang dilahirkan di Timur, Iqbal tetap mempertahankan dan menyanjung kebudayaan dan keperibadian Timur yang halus, tinggi dan indah. Tentunya termasuk dalam arti kata Timur itu ialah hasil budaya masyarakat benua kecil India.
Terbentuknya negara islam Pakistan sebagaimana yang diasaskan Muhammad Iqbal dapat tercapai pada tahun 1947 setelah beliau meninggal dunia.

Penutup

Dalam mencari konsep sastra Islam, jelas bahwa Muhammad Iqbal adalah salah seorang tokoh besar yang dapat menjadi contoh. Iqbal tidak hanya semata-mata kepunyaan Pakistan, tetapi juga kepunyaan seluruh dunia Islam. Semakin dunia sadar akan kemurnian Islam, semakin terasa kebenaran pendapat dan falsafah Iqbal yang terpancar melalui syair-syairnya dan terasa dekatnya Iqbal itu dengan diri kita. Rahasia kejayaan dan kekuatan Iqbal bersumber pada Al-Qura'an dan al-Sunnah yaitu dua sumber besar yang terukti mampu merubah dunia dan telah disaksikan sepanjang sejarah manusia.
Melodi selamat tinggal akan menggema atau tidak
Nafiri akan berbunyi dari Hijaz atau tidak,
Hari fakir ini telah sampai pada batanya
Pujangga yang lain akan datang atau tidak.


Sumber tulisan:
Hadiah Majalah Al Azhar, Safar,1429 H/2008:
Penyair Islam, Dr.Muhammad Iqbal, Syaikh Abu Al-hasan Ali Al-husni Annadwy
Internet, Mas Google.com

Kajian Kritis Ilmu Hadits

Oleh: Herisuanto Mahfudz

Muqadimah

Allah swt mengutus nabi Muhammad saw. Kepada umat manusia adalah sebagai seorang penunjuk hidayah, pembawa kabar gembira dan juga peringatan, maka mengikuti ajarannya dalam segala aspek kehidupan adalah tanda keimanan pada diri seseorang.
Tidak ada keselamatan bagi sesiapapun di atas dunia ini dan akherat kelak melainkan mentaati perintah Allah swt dan rasulallah saw dengan cara berpegang teguh dengan Al-Qura'an sumber utama pengambilan syariat islam serta hadits (sunnah) nabi Muhammad saw, sebagai sumber ke dua setelah Al-Qur'an, Kedua sumber syariat islam ini adalah semata-mata wahyu dari Allah swt.
Karena itu maka umat islam dari zaman ke zaman sangat memperhatikan kedua pokok sumber syariat islam ini terutama hadits (sunnah) nabi Muhammad saw. Karena Ia adalah pensyarah alqur'an, penjelas dari kemujmalan ayat- ayat Al-Qur'an dan sebagainya.
Perhatian ummat islam yang sangat besar terhadap sunnah nabi saw. telah melahirkan suatu disiplin ilmu pengambilan hadits dan periwayatannya serta meletakkan syarat-syarat yang ketat untuk orang yang meriwayatkannya, sehingga tidak bercampur antara hadits nabi saw. dan yang bukan hadits.
Di tulisan ini penulis berusaha untuk mengkaji beberapa point yang berkenaan dengan ilmu hadits:

a. Definisi sunnah
b. Posisi sunnah pe-periode
c. konsep al-jarhu wa al-ta'dil
d. Subyektifitas konsep al-jarhu wa al-ta'dil.

A. Definisi Sunnah

Definisi sunnah nabi secara etimologi mengandung beberapa arti :
1.jalan dan petunjuk (baik dan buruk)
2.Jalan yang baik dan lurus
3.Adat kebiasaan dan jalan yang diikuti

Definisi sunnah secara istilah
Para ulama berbeda-beda pendapat dalam menta'rifkan Assunnah. Perbedaan pendapat tersebut di sebabkan karena terpengaruh oleh terbatas dan luasnya objek peninjauan mereka masing-masing.

a. Ta'rif assunnah menurut ulama hadits :
Mazhab Jumhur :
“ialah sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw. baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir), sifat fisik atau akhlaq hingga gerak dan diamnya saw. dalam waktu bangun dan tidurnya saw, begitu juga jalan hidupnya sebelum masa kenabian dan setelahnya sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat R.a dan tabiin baik perkataan atau perbuatan”.

Mazhab lain :
“Ialah sesuatu yang disandarkan kepada nabi muhammad saw baik perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir), sifat fisik atau akhlaq hingga gerak dan diamnya saw di bangun dan tidurnya, jalan hidupnya sebelum diangkat menjadi rasul atau sesudahnya”.

b. Ta'rif assunnah menurut ulama fiqih :
“ialah sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw yang bukan fardhu dan juga bukan wajib dan juga masuk di dalamnya hukum yang lima menurut jumhur ulama”.

c. Ta'rif assunnah menurut ulama usul :
“Ialah sesuatu yang dinuqilkan dari nabi Muhammad saw baik perkataan , perbuatan, pernyataan (taqrir)”.

B. Posisi Assunnah pe-periode

a. Masa Nabi

Periode Periwayatan Dengan Lisan

1. Larangan menulis hadits
Pada masa Rasulallah saw masih hidup sunnah atau Hadits belum mendapat perhatian sepenuhnya seperti Al-Qur'an. Para sahabat terutama yang mempunyai tugas istimewa selalu mencurahkan perhatiannya terhadap ayat-ayat Al-Qur'an dengan mengabadikanya di atas alat-alat yang mungkin dapat dipergunakannya. Sedangkan Hadits tidak diabadikan dalam tulisan sebagaimana ayat-ayat Al-Qur'an tetapi diriwayatkan dengan lisan. Rasulallah saw. telah melarang untuk menulis sesuatu selain Al-Qur'an sebagaimana sabdanya :

“Jangan kamu tulis sesuatu yang kamu telah terima dariku selain Alqur'an, barang siapa yang menuliskan yang ia terima dariku selain alqur'an hendaklah ia hapus, ceritakan saja yang kamu dengar terima dariku, tidak mengapa. Barang siapa yang berdusta atas namaku maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka” (Riwayat Muslim).

Larangan Penulisan hadits tersebut ialah untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan hadits ke dalam Al-Qur'an, lebih-lebih generasi yang tidak menyaksikan zaman tanzil (turunya wahyu) tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah Al-Qur'an semuanya, sehingga bercampur aduk antara Al-Qur'an dengan Hadits.

2. perintah menulis hadits

Disamping Rasulallah saw. melarang menulis hadits beliau juga memerintahkan beberapa orang sahabat tertentu untuk menulis Hadits. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. Menerangkan bahwa sesaat ketika kota Makkah kembali dikuasai oleh Nabi Muhammad saw. beliau berdiri berpidato dihadapan manusia, di waktu beliau berpidato tiba-tiba seorang laki-laki dari Yaman yang bernama Abu Syah berdiri dan berkata : “Ya Rasulallah tulislahlah untukku!” Jawab Rasul “Tulislah oleh kamu sekalian untuknya”
Selain hadits di atas sejarah juga mencatatat adanya beberapa naskah tulisan yang bersifat pribadi dari beberapa sahabat.

=>> Para sahabat yang mempunyai naskah hadits antara lain :

a. 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash r.a. (7 sebelum Hijrah-65 Hijrah)
Adalah seorang sahabat yang selalu menuliskan apa yang pernah didengarnya dari Nabi Muhammad saw tindakan ini pernah ditegur oleh beberapa orang Qurays ujarnya “ Kautuliskan semua apa-apa yang kamu dengar dari nabi? Sedangkan nabi itu manusia biasa yang kadang-kadang berbicara dalam keadaan suka dan kadang-kadang berbicara dalam keadaan duka?” atas teguran tersebut ia segera menanyakan tindakannya itu pada Rasulallah saw.
Jawab Nabi saw. :
“ Tulislah! Demi Dzat yang nyawaku berada di tangan-Nya, tidaklah keluar dari padanya selain hak”(Riwayat Abu Daud).

b.Jabir bin 'Abdullah Al-Anshary r.a. (16 H.-73 H.).
naskah jabir 'Abdullah Al-Anshary dinamai “Shafiah jabir”.

Nash-nash yang melarang menulis hadits di satu pihak dan yang mengizinkan di pihak lain, bukanlah nash-nash yang saling bertentangan satu sama lain, akan tetapi nash-nash itu dapat disimpulkan sebagai berikut:

=> Bahwa larangan menulis hadits itu adalah terjadi di awal-awal islam untuk menjaga agar Alqur'an tidak bercampur dengan hadits. Tetapi setelaj jumlah kaum muslimin semakin bertambah dan telah banyak mengenal Al-Qur'an, maka hukum larangan menulis Hadits di-nasakh-kan dengan perintah yang membolehkannya. Dengan demikian hukum menulisnya adalah boleh.

=> Bahwa larangan menulis Hadits itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang mempunyai keahlaian tulis menulis hingga terjaga dari kekeliruan dari menulisnya.

=> Bahwa larangan menulis hadits ditunjukkan kepada orang yang lebih kuat menghafalnya dari pada menulisnya, sedangkan izin menulis hadis ditujukan kepada orang yang tidak kuat hapalannya seperti Abu Syah.

b. Masa al-khulafa ar-rasyida

Pada masa ini perkembangan Hadits tidak begitu pesat, terutama pada masa kekhalifahan Abu Bakr r.a. dan Umar bin Khatab r.a., hal ini karena anjuran beliau kepada para sahabat agar mengutamakan penyiaran Al-Qur'an, bahkan dalam rangka menyukseskan penyebaran Alqur'an ini Umar bin Khatab r.a mengadakan larangan memperbanyak riwayat Hadits. Kebijaksanaan kedua khalifah tersebut dapat dimaklumi mengingat bahwa masyarakat pada waktu itu belum seluruhnya mengenal Al-Qur'an sebagi dasar syari'at yang pertama.
Saat Usman bin 'Affan r.a menjadi khalifah adalah merupakan saat terpenting bagi perkembangan Hadits, para sahabat kecil dan tabi'in mulai menaruh perhatian serius dalam mencari dan mengumpulkan Hadits Rasulallah saw. dari para sahabat besar yang jumlahnya kian hari kian berkurang dan tempat tinggalnya sudah berpencar di berbagi pelosok kekuasaan islam waktu itu.
Sejak berakhirnya pemerintah khalifah Usman r.a (40 H.) dan pada awal berdirinya khalifah 'Ali bin Abi Thalib r.a mulai timbul hadits-hadits palsu (maudlu').

c. Menulis dan membukukan hadits secara resmi (abad ke II. H.)

Perintis dan sejarah (motif) membukukan Hadits

Setelah agama islam tersebar dan dipeluk oleh masyarakat luas bahkan oleh penduduk yang bertempat tinggal di luar jazirah arab dan para sahabat mulai terpencar di beberapa wilayah bahkan tidak sedikit jumlahnya yang meninggal dunia, maka keadaan seperti ini telah menggerakkan hati khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz (99.-101.H.) - seorang khalifah bani 'Umaiyah untuk menulis dan membukukan (mendewankan) Al-Hadist.

Motif utama khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz berinisiatif untuk menulis dan membukukan Al-Hadits:

=> Kekhawatiran beliau akan hilang dan lenyapnya Hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum didewankannya dalam dewan Hadits.

=> Keinginan beliau untuk memelihara dan membersihkan Hadits dari Hadits-Hadits Maudlu' yang dibuat oleh orang-orang untuk mempertahankan ideologi golongannya, atau sekte tertentu atau untuk mempertahankan mazhabnya. Ini mulai muncul sejak awal berdirinya kekhalifahan 'Ali bin 'Abi Thalib r.a

=> Kekhawatiran akan bercampurnya ayat-ayat Al-Qur'an dengan Al-Hadits sebagaimana pada zaman Rasulallah saw. telah hilang disebabkan Al-Qur'an telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata di seluruh pelosok kekuasaan islam serta telah dihafal oleh beribu-ribu umat islam.

=> Terjadinya perang antara kaum muslimin dengan orang-orang Kafir, serta perang saudara orang -orang Muslim semakin menjadi-jadi, maka berakibat berkurangnya ulama-ulama Hadits.

Khalifah 'Umar bin 'Abdul Aziz telah mengintruksikan kepada seluruh pejabat dan ulama yang yang memegang kekuasaan di wilayah kekuasaanya untuk mengumpulkan Hadits-hadits Nabi saw. Misalnya, beliau meginstruksikan kepada Wali Kota Madinah, Abu Bakr bin Muhammad bin 'Amr bin Hazm dan seorang tabi'iy wanita 'Amrah binti 'Abdurrahman.
Beliau juga menginstruksikan kepada Ibnu Syihab Az-Zuhry seoraang imam dan ulama Besar di Hijaz dan Syam, beliau mengumpulkan hadits-hadits dan ditulisnya pada lembaran-lembaran dan dikirimnya kepada masing-masing penguasa di tiap-tiap wilayah masing-masing satu lembar, itulah sebabnya para ahli sejarah dan ulama menganggap bahwa Ibnu Syihablah-lah orang yang mendewankan Hadits secara resmi atas perintah khalifah Umar bin 'Abdul 'Aziz.

d. Metodologi ulama dalam menyeleksi Hadits

I. Metode penyeleksian Hadits pra-kodifikasi

a. Membandingkan matan hadits dengan ayat al-Qur’an yang berkaitan.
Teknik ini kerap kali dilakukan oleh sejumlah sahabat Nabi. Umar bin Khattab misalnya, ia pernah mempertanyakan dan kemudian menolak hadis yang diriwayatkan oleh Fatimah bin Qais yang menyatakan bahwa wanita yang dicerai tidak berhak menerima uang nafkah (dari mantan suaminya). Menurut Umar (matan) hadis tersebut, bila dibandingkan tidak sejalan dengan bunyi ayat al-Qur'an.
Sebagai contoh 'Aisyah pernah mengkritik hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan ibnu ‘Umar yang menyatakan bahwa orang yang meninggal dunia akan disiksa karena ratapan tangis keluarganya. Menurut ‘Aisyah hadits tersebut tidak sejalan dengan al-Qur'an.

b. Membandingkan (matan-matan) hadis dalam dokumen tertulis dengan hadis-hadis yang disampaikan dari hafalan.
Dalam teknik ini apabila ada perbedaan antara versi tulisan dengan versi lisan, para ulama biasanya lebih memilih versi tulisan daripada versi lisan, karena dianggap lebih kuat (ahfaz). Imam Bukhari (w. 256 H=870 M) misalnya, beliau pernah melakukan teknik ini pada saat menghadapi matan hadis tentang mengangkat tangan ketika akan ruku dalam shalat, yang diriwayatkan oleh Sufyan melalui Ibnu Mas’ud. Setelah membandingkannya, Bukhari memutuskan untuk memilih hadis yang diriwayatkan oleh Yahya bin Adam yang teleh mengeceknya dari kitab ‘Abdullah bin Idris (dalam versi tulisan), dan pada matan tersebut tidak memuat redaksi yang mengundang perselisihan.

c. Perbandingan antara pernyataan dari seorang periwayat yang disampaikan pada waktu yang berlainan.

d. Membandingkan hadis-hadis dari beberapa murid yang mereka terima dari satu guru.

e. Melakukan rujuk silang antara satu periwayat dengan periwayat lainnya.

II. Metode penyeleksian Hadits pasca kodifikasi.

a. Membandingkan matan-matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang terkait atau memiliki kedekatan susunan redaksi.
Dalam teknik ini sesungguhnya tidak lagi sekedar kritik perbandingan teks, tetapi perlu melibatkan aspek pemahaman atau pemaknaan teks. Membandingkan teks atau matan-matan hadis dengan ayat-ayat al-Qur'an dari susunan redaksi adalah kurang proposional, karena redaksi atau lafal-lafal al-Qur'an diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan matan-matan hadis hampir seluruhnya diriwayatkan menurut maknanya saja (riwayah bi al-ma’na). Namun demikian, perbandingan teks ini bukanlah hal yang mustahil dilakukan, dan analisis perbandingan matan-matan hadis dengan al-Qur'an tetap membantu proses kritik.

b. Membandingkan antara matan-matan hadis.
yaitu menghimpun matan-matan hadis. Untuk itulah penelusuran hadis-hadis (secara lengkap sanad dan matannya) kepada sumber-sumber aslinya yang dikenal dengan istilah takhrij al-hadis, Matan-matan hadis hendaknya yang memiliki kesamaan makna, dan lebih bagus lagi yang susunan redaksi atau lafalnya satu sama lain memiliki kemiripan. Ini penting karena dimungkinkan bahwa hadis-hadis itu pada mulanya bersumber dari orang yang sama, kemudian mengalamai perbedaan redaksi karena diriwayatkan oleh para periwayat berikutnya secara makna.

Abad ke 3 dari Hijriyah adalah masa perang ideologi antar sekte dan golongan, secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keorsinilan Hadits-hadits Nabi saw, karena setiap sekte atau golongan demi untuk mempertahankan mazhabnya telah membuat Hadits-hadits palsu hingga mazhabnya tetap unggul dan eksis. Maka mulailah tersebar Hadits-hadits maudlu', keadaan seperti ini bila dibiarkan tentu akan berakibat fatal terhadap kemurnian syariat islam.
Penulis akan coba paparkan di antara sebab-sebab timbulnya hadits-hadits palsu:

1. At-Ta'asyub As-Siyasii (Fanatisme Politik); dengan sebab ini mereka berani menafsirkan Al-qur'an keluar dari makna yang asli hanya sekedar untuk menguatkan golongan mereka masing-masing, dan juga membuat suatu hadits dengan sanad yang masyhur yang sebenarnya itu bukanlah haqiqi, seperti kelompok Ar-Rafidhah yang banyak melakukan kebohongan dalam hadits untuk membela Ahlul bait karena kebanyakan mereka dari fars yang bergolongan syi'ah.
2. At-Ta'asyub al-'Unshurii (fanatisme golongan); yaitu seperti ketika telah terjadinya gejolak antara bani 'abbas dan bani umayah, dan dimenangkan oleh bani 'abbas, yang kemudian muncul golongan asy-syu'ubiyah dengan mengedepankan bangsa asing dan menganggap lebih dari utama dari bangsa arab, dengan cara membuat hadits palsu.
3.Az-Zindiqah adalah golongan yang tidak memiliki agama yang berusaha menghancurkan agama Islam dengan cara membuat hadits palsu dalam masalah aqidah, akhlak, serta halal dan haram.
4.Pertentangan fiqhiyah, kalamiyah, dan kefanatikan untuk menguatkan pendapat mereka dari yang lainnya. Ketidak pahaman di dalam agama sementara ia menginginkan kebaikan tetapi dengan cara yang salah.
5.Para pencerita yang sengaja bercerita untuk melemahkan hati orang awam dengan tujuan mencari kenikmatan dunia semata.

Meski sudah bertebar luasnya Hadits palsu yang disebabkan oleh golongan-golongan dengan segala macamnya, tetapi para ulama sangat selektif dalam mencari dan mahami suatu hadits; apakah ia termasuk hadits shahih, dhaif, atau palsu. Para ulama telah bangkit dan membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat Hadits shahih. Sehingga bisa menyaring atau menyeleksi Hadits yang benar-benar dari Rasulallah saw atau hadits palsu.
Pada abad ke tiga Hijriyah ini juga muncul ide-ide untuk mengumpulkan yang shahih-shahih saja yang dipelopori oleh Imam Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah al-Bukhari (Imam Bukhari) dengan karyanya Jami'us Shahih dan disusul oleh muridnya Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi (Imam Muslim).
 
Oleh: Herisuanto Mahfudz

Muqadimah

Allah swt mengutus nabi Muhammad saw. Kepada umat manusia adalah sebagai seorang penunjuk hidayah, pembawa kabar gembira dan juga peringatan, maka mengikuti ajarannya dalam segala aspek kehidupan adalah tanda keimanan pada diri seseorang.
Tidak ada keselamatan bagi sesiapapun di atas dunia ini dan akherat kelak melainkan mentaati perintah Allah swt dan rasulallah saw dengan cara berpegang teguh dengan Al-Qura'an sumber utama pengambilan syariat islam serta hadits (sunnah) nabi Muhammad saw, sebagai sumber ke dua setelah Al-Qur'an, Kedua sumber syariat islam ini adalah semata-mata wahyu dari Allah swt.
Karena itu maka umat islam dari zaman ke zaman sangat memperhatikan kedua pokok sumber syariat islam ini terutama hadits (sunnah) nabi Muhammad saw. Karena Ia adalah pensyarah alqur'an, penjelas dari kemujmalan ayat- ayat Al-Qur'an dan sebagainya.
Perhatian ummat islam yang sangat besar terhadap sunnah nabi saw. telah melahirkan suatu disiplin ilmu pengambilan hadits dan periwayatannya serta meletakkan syarat-syarat yang ketat untuk orang yang meriwayatkannya, sehingga tidak bercampur antara hadits nabi saw. dan yang bukan hadits.
Di tulisan ini penulis berusaha untuk mengkaji beberapa point yang berkenaan dengan ilmu hadits:

a. Definisi sunnah
b. Posisi sunnah pe-periode
c. konsep al-jarhu wa al-ta'dil
d. Subyektifitas konsep al-jarhu wa al-ta'dil.

A. Definisi Sunnah

Definisi sunnah nabi secara etimologi mengandung beberapa arti :
1.jalan dan petunjuk (baik dan buruk)
2.Jalan yang baik dan lurus
3.Adat kebiasaan dan jalan yang diikuti

Definisi sunnah secara istilah
Para ulama berbeda-beda pendapat dalam menta'rifkan Assunnah. Perbedaan pendapat tersebut di sebabkan karena terpengaruh oleh terbatas dan luasnya objek peninjauan mereka masing-masing.

a. Ta'rif assunnah menurut ulama hadits :
Mazhab Jumhur :
“ialah sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw. baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir), sifat fisik atau akhlaq hingga gerak dan diamnya saw. dalam waktu bangun dan tidurnya saw, begitu juga jalan hidupnya sebelum masa kenabian dan setelahnya sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat R.a dan tabiin baik perkataan atau perbuatan”.


Mazhab lain :
“Ialah sesuatu yang disandarkan kepada nabi muhammad saw baik perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir), sifat fisik atau akhlaq hingga gerak dan diamnya saw di bangun dan tidurnya, jalan hidupnya sebelum diangkat menjadi rasul atau sesudahnya”.

b. Ta'rif assunnah menurut ulama fiqih :
“ialah sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw yang bukan fardhu dan juga bukan wajib dan juga masuk di dalamnya hukum yang lima menurut jumhur ulama”.

c. Ta'rif assunnah menurut ulama usul :
“Ialah sesuatu yang dinuqilkan dari nabi Muhammad saw baik perkataan , perbuatan, pernyataan (taqrir)”.

B. Posisi Assunnah pe-periode

a. Masa Nabi

Periode Periwayatan Dengan Lisan

1. Larangan menulis hadits
Pada masa Rasulallah saw masih hidup sunnah atau Hadits belum mendapat perhatian sepenuhnya seperti Al-Qur'an. Para sahabat terutama yang mempunyai tugas istimewa selalu mencurahkan perhatiannya terhadap ayat-ayat Al-Qur'an dengan mengabadikanya di atas alat-alat yang mungkin dapat dipergunakannya. Sedangkan Hadits tidak diabadikan dalam tulisan sebagaimana ayat-ayat Al-Qur'an tetapi diriwayatkan dengan lisan. Rasulallah saw. telah melarang untuk menulis sesuatu selain Al-Qur'an sebagaimana sabdanya :

“Jangan kamu tulis sesuatu yang kamu telah terima dariku selain Alqur'an, barang siapa yang menuliskan yang ia terima dariku selain alqur'an hendaklah ia hapus, ceritakan saja yang kamu dengar terima dariku, tidak mengapa. Barang siapa yang berdusta atas namaku maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka” (Riwayat Muslim).

Larangan Penulisan hadits tersebut ialah untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan hadits ke dalam Al-Qur'an, lebih-lebih generasi yang tidak menyaksikan zaman tanzil (turunya wahyu) tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah Al-Qur'an semuanya, sehingga bercampur aduk antara Al-Qur'an dengan Hadits.

2. perintah menulis hadits

Disamping Rasulallah saw. melarang menulis hadits beliau juga memerintahkan beberapa orang sahabat tertentu untuk menulis Hadits. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. Menerangkan bahwa sesaat ketika kota Makkah kembali dikuasai oleh Nabi Muhammad saw. beliau berdiri berpidato dihadapan manusia, di waktu beliau berpidato tiba-tiba seorang laki-laki dari Yaman yang bernama Abu Syah berdiri dan berkata : “Ya Rasulallah tulislahlah untukku!” Jawab Rasul “Tulislah oleh kamu sekalian untuknya”
Selain hadits di atas sejarah juga mencatatat adanya beberapa naskah tulisan yang bersifat pribadi dari beberapa sahabat.


=>> Para sahabat yang mempunyai naskah hadits antara lain :

a. 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash r.a. (7 sebelum Hijrah-65 Hijrah)
Adalah seorang sahabat yang selalu menuliskan apa yang pernah didengarnya dari Nabi Muhammad saw tindakan ini pernah ditegur oleh beberapa orang Qurays ujarnya “ Kautuliskan semua apa-apa yang kamu dengar dari nabi? Sedangkan nabi itu manusia biasa yang kadang-kadang berbicara dalam keadaan suka dan kadang-kadang berbicara dalam keadaan duka?” atas teguran tersebut ia segera menanyakan tindakannya itu pada Rasulallah saw.
Jawab Nabi saw. :
“ Tulislah! Demi Dzat yang nyawaku berada di tangan-Nya, tidaklah keluar dari padanya selain hak”(Riwayat Abu Daud).

b.Jabir bin 'Abdullah Al-Anshary r.a. (16 H.-73 H.).
naskah jabir 'Abdullah Al-Anshary dinamai “Shafiah jabir”.

Nash-nash yang melarang menulis hadits di satu pihak dan yang mengizinkan di pihak lain, bukanlah nash-nash yang saling bertentangan satu sama lain, akan tetapi nash-nash itu dapat disimpulkan sebagai berikut:

=> Bahwa larangan menulis hadits itu adalah terjadi di awal-awal islam untuk menjaga agar Alqur'an tidak bercampur dengan hadits. Tetapi setelaj jumlah kaum muslimin semakin bertambah dan telah banyak mengenal Al-Qur'an, maka hukum larangan menulis Hadits di-nasakh-kan dengan perintah yang membolehkannya. Dengan demikian hukum menulisnya adalah boleh.

=> Bahwa larangan menulis Hadits itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang mempunyai keahlaian tulis menulis hingga terjaga dari kekeliruan dari menulisnya.

=> Bahwa larangan menulis hadits ditunjukkan kepada orang yang lebih kuat menghafalnya dari pada menulisnya, sedangkan izin menulis hadis ditujukan kepada orang yang tidak kuat hapalannya seperti Abu Syah.

b. Masa al-khulafa ar-rasyida

Pada masa ini perkembangan Hadits tidak begitu pesat, terutama pada masa kekhalifahan Abu Bakr r.a. dan Umar bin Khatab r.a., hal ini karena anjuran beliau kepada para sahabat agar mengutamakan penyiaran Al-Qur'an, bahkan dalam rangka menyukseskan penyebaran Alqur'an ini Umar bin Khatab r.a mengadakan larangan memperbanyak riwayat Hadits. Kebijaksanaan kedua khalifah tersebut dapat dimaklumi mengingat bahwa masyarakat pada waktu itu belum seluruhnya mengenal Al-Qur'an sebagi dasar syari'at yang pertama.
Saat Usman bin 'Affan r.a menjadi khalifah adalah merupakan saat terpenting bagi perkembangan Hadits, para sahabat kecil dan tabi'in mulai menaruh perhatian serius dalam mencari dan mengumpulkan Hadits Rasulallah saw. dari para sahabat besar yang jumlahnya kian hari kian berkurang dan tempat tinggalnya sudah berpencar di berbagi pelosok kekuasaan islam waktu itu.
Sejak berakhirnya pemerintah khalifah Usman r.a (40 H.) dan pada awal berdirinya khalifah 'Ali bin Abi Thalib r.a mulai timbul hadits-hadits palsu (maudlu').

c. Menulis dan membukukan hadits secara resmi (abad ke II. H.)

Perintis dan sejarah (motif) membukukan Hadits

Setelah agama islam tersebar dan dipeluk oleh masyarakat luas bahkan oleh penduduk yang bertempat tinggal di luar jazirah arab dan para sahabat mulai terpencar di beberapa wilayah bahkan tidak sedikit jumlahnya yang meninggal dunia, maka keadaan seperti ini telah menggerakkan hati khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz (99.-101.H.) - seorang khalifah bani 'Umaiyah untuk menulis dan membukukan (mendewankan) Al-Hadist.

Motif utama khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz berinisiatif untuk menulis dan membukukan Al-Hadits:

=> Kekhawatiran beliau akan hilang dan lenyapnya Hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum didewankannya dalam dewan Hadits.

=> Keinginan beliau untuk memelihara dan membersihkan Hadits dari Hadits-Hadits Maudlu' yang dibuat oleh orang-orang untuk mempertahankan ideologi golongannya, atau sekte tertentu atau untuk mempertahankan mazhabnya. Ini mulai muncul sejak awal berdirinya kekhalifahan 'Ali bin 'Abi Thalib r.a

=> Kekhawatiran akan bercampurnya ayat-ayat Al-Qur'an dengan Al-Hadits sebagaimana pada zaman Rasulallah saw. telah hilang disebabkan Al-Qur'an telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata di seluruh pelosok kekuasaan islam serta telah dihafal oleh beribu-ribu umat islam.

=> Terjadinya perang antara kaum muslimin dengan orang-orang Kafir, serta perang saudara orang -orang Muslim semakin menjadi-jadi, maka berakibat berkurangnya ulama-ulama Hadits.

Khalifah 'Umar bin 'Abdul Aziz telah mengintruksikan kepada seluruh pejabat dan ulama yang yang memegang kekuasaan di wilayah kekuasaanya untuk mengumpulkan Hadits-hadits Nabi saw. Misalnya, beliau meginstruksikan kepada Wali Kota Madinah, Abu Bakr bin Muhammad bin 'Amr bin Hazm dan seorang tabi'iy wanita 'Amrah binti 'Abdurrahman.
Beliau juga menginstruksikan kepada Ibnu Syihab Az-Zuhry seoraang imam dan ulama Besar di Hijaz dan Syam, beliau mengumpulkan hadits-hadits dan ditulisnya pada lembaran-lembaran dan dikirimnya kepada masing-masing penguasa di tiap-tiap wilayah masing-masing satu lembar, itulah sebabnya para ahli sejarah dan ulama menganggap bahwa Ibnu Syihablah-lah orang yang mendewankan Hadits secara resmi atas perintah khalifah Umar bin 'Abdul 'Aziz.

d. Metodologi ulama dalam menyeleksi Hadits

I. Metode penyeleksian Hadits pra-kodifikasi

a. Membandingkan matan hadits dengan ayat al-Qur’an yang berkaitan.
Teknik ini kerap kali dilakukan oleh sejumlah sahabat Nabi. Umar bin Khattab misalnya, ia pernah mempertanyakan dan kemudian menolak hadis yang diriwayatkan oleh Fatimah bin Qais yang menyatakan bahwa wanita yang dicerai tidak berhak menerima uang nafkah (dari mantan suaminya). Menurut Umar (matan) hadis tersebut, bila dibandingkan tidak sejalan dengan bunyi ayat al-Qur'an.
Sebagai contoh 'Aisyah pernah mengkritik hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan ibnu ‘Umar yang menyatakan bahwa orang yang meninggal dunia akan disiksa karena ratapan tangis keluarganya. Menurut ‘Aisyah hadits tersebut tidak sejalan dengan al-Qur'an.


b. Membandingkan (matan-matan) hadis dalam dokumen tertulis dengan hadis-hadis yang disampaikan dari hafalan.
Dalam teknik ini apabila ada perbedaan antara versi tulisan dengan versi lisan, para ulama biasanya lebih memilih versi tulisan daripada versi lisan, karena dianggap lebih kuat (ahfaz). Imam Bukhari (w. 256 H=870 M) misalnya, beliau pernah melakukan teknik ini pada saat menghadapi matan hadis tentang mengangkat tangan ketika akan ruku dalam shalat, yang diriwayatkan oleh Sufyan melalui Ibnu Mas’ud. Setelah membandingkannya, Bukhari memutuskan untuk memilih hadis yang diriwayatkan oleh Yahya bin Adam yang teleh mengeceknya dari kitab ‘Abdullah bin Idris (dalam versi tulisan), dan pada matan tersebut tidak memuat redaksi yang mengundang perselisihan.


c. Perbandingan antara pernyataan dari seorang periwayat yang disampaikan pada waktu yang berlainan.

d. Membandingkan hadis-hadis dari beberapa murid yang mereka terima dari satu guru.

e. Melakukan rujuk silang antara satu periwayat dengan periwayat lainnya.

II. Metode penyeleksian Hadits pasca kodifikasi.

a. Membandingkan matan-matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang terkait atau memiliki kedekatan susunan redaksi.
Dalam teknik ini sesungguhnya tidak lagi sekedar kritik perbandingan teks, tetapi perlu melibatkan aspek pemahaman atau pemaknaan teks. Membandingkan teks atau matan-matan hadis dengan ayat-ayat al-Qur'an dari susunan redaksi adalah kurang proposional, karena redaksi atau lafal-lafal al-Qur'an diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan matan-matan hadis hampir seluruhnya diriwayatkan menurut maknanya saja (riwayah bi al-ma’na). Namun demikian, perbandingan teks ini bukanlah hal yang mustahil dilakukan, dan analisis perbandingan matan-matan hadis dengan al-Qur'an tetap membantu proses kritik.

b. Membandingkan antara matan-matan hadis.
yaitu menghimpun matan-matan hadis. Untuk itulah penelusuran hadis-hadis (secara lengkap sanad dan matannya) kepada sumber-sumber aslinya yang dikenal dengan istilah takhrij al-hadis, Matan-matan hadis hendaknya yang memiliki kesamaan makna, dan lebih bagus lagi yang susunan redaksi atau lafalnya satu sama lain memiliki kemiripan. Ini penting karena dimungkinkan bahwa hadis-hadis itu pada mulanya bersumber dari orang yang sama, kemudian mengalamai perbedaan redaksi karena diriwayatkan oleh para periwayat berikutnya secara makna.

Abad ke 3 dari Hijriyah adalah masa perang ideologi antar sekte dan golongan, secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keorsinilan Hadits-hadits Nabi saw, karena setiap sekte atau golongan demi untuk mempertahankan mazhabnya telah membuat Hadits-hadits palsu hingga mazhabnya tetap unggul dan eksis. Maka mulailah tersebar Hadits-hadits maudlu', keadaan seperti ini bila dibiarkan tentu akan berakibat fatal terhadap kemurnian syariat islam.
Penulis akan coba paparkan di antara sebab-sebab timbulnya hadits-hadits palsu:

1. At-Ta'asyub As-Siyasii (Fanatisme Politik); dengan sebab ini mereka berani menafsirkan Al-qur'an keluar dari makna yang asli hanya sekedar untuk menguatkan golongan mereka masing-masing, dan juga membuat suatu hadits dengan sanad yang masyhur yang sebenarnya itu bukanlah haqiqi, seperti kelompok Ar-Rafidhah yang banyak melakukan kebohongan dalam hadits untuk membela Ahlul bait karena kebanyakan mereka dari fars yang bergolongan syi'ah.
2. At-Ta'asyub al-'Unshurii (fanatisme golongan); yaitu seperti ketika telah terjadinya gejolak antara bani 'abbas dan bani umayah, dan dimenangkan oleh bani 'abbas, yang kemudian muncul golongan asy-syu'ubiyah dengan mengedepankan bangsa asing dan menganggap lebih dari utama dari bangsa arab, dengan cara membuat hadits palsu.
3.Az-Zindiqah adalah golongan yang tidak memiliki agama yang berusaha menghancurkan agama Islam dengan cara membuat hadits palsu dalam masalah aqidah, akhlak, serta halal dan haram.
4.Pertentangan fiqhiyah, kalamiyah, dan kefanatikan untuk menguatkan pendapat mereka dari yang lainnya. Ketidak pahaman di dalam agama sementara ia menginginkan kebaikan tetapi dengan cara yang salah.
5.Para pencerita yang sengaja bercerita untuk melemahkan hati orang awam dengan tujuan mencari kenikmatan dunia semata.

Meski sudah bertebar luasnya Hadits palsu yang disebabkan oleh golongan-golongan dengan segala macamnya, tetapi para ulama sangat selektif dalam mencari dan mahami suatu hadits; apakah ia termasuk hadits shahih, dhaif, atau palsu. Para ulama telah bangkit dan membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat Hadits shahih. Sehingga bisa menyaring atau menyeleksi Hadits yang benar-benar dari Rasulallah saw atau hadits palsu.
Pada abad ke tiga Hijriyah ini juga muncul ide-ide untuk mengumpulkan yang shahih-shahih saja yang dipelopori oleh Imam Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah al-Bukhari (Imam Bukhari) dengan karyanya Jami'us Shahih dan disusul oleh muridnya Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi (Imam Muslim).

Muhammad Imarah: Turâts, Tajdîd dan Relasi Agama-Negara

Oleh: Tedi Kholiludin
Sosok Muhammad Imarah juga bisa dikategorikan sebagai seorang intelektual kelas kakap di Tanah Arab. Responnya yang cukup antusias pada dunia akademis, terutama dalam menyikapi tren pemikiran Islam, telah mengibarkan namanya dalam dunia pendidikan dan pemikiran Islam kontemporer. Salah satu karyanya dalam merespons pemikiran tokoh sezamannya, adalah sebuah buku berjudul Suqûthul Ghuluwwil Almcnî (Gugurnya Kenaifan Kaum Sekuler). Buku ini merupakan karya ilmiahnya dalam merespons pemikiran Muhammad Sa`id Al-Asymawi yang cenderung sekuler.
Dalam diskursus turâts dan tajdîd, nama Muhammad Imarah mungkin bisa disejajarkan dengan sosok Hasan Hanafi atau Muhammed Abed Al-Jabiry. Mereka sama-sama menyerukan umat Islam untuk kembali menggali dan berdialog secara kritis dengan khasanah intelektual klasik yang selama ini berada dalam wilayah unthinkable. Sementara untuk urusan relasi agama dan negara, Muhammad Imarah sering disetarakan dengan sosok Ali Abdul Raziq. Bagi mereka berdua, Islam dan politik adalah dua entitas yang berbeda dan tak mungkin disatukan. Dalam beberapa hal, Imarah mengritik tajam Abdul Raziq yang terkesan sekuler, tapi di lain sisi, dia banyak terpengaruh oleh gurunya itu dalam menginterpretasi wahyu Tuhan dalam konteks politik dan ketatanegaraan.

Muhammad Imarah atau Amarah lahir di Desa Sharwah-Qalain Propinsi Kafr Al-Syaikh Mesir dalam sebuah lingkungan keluarga yang sangat sederhana. Meski kondisi perekonomian keluarganya tidak berlebihan, minatnya di bidang pendidikan tidak lantas jadi berkurang. Terbukti pada tahun 1975, ia berhasil menggondol gelar doktor dengan disertasi yang berjudul Al-Islâm wa Falsafatul Hukm (Islam dan Falsafah Pemerintahan).

Sosok Muhammad Imarah juga bisa dikategorikan sebagai seorang intelektual kelas kakap di Tanah Arab. Responnya yang cukup antusias pada dunia akademis, terutama dalam menyikapi tren pemikiran Islam, telah mengibarkan namanya dalam dunia pendidikan dan pemikiran Islam kontemporer. Salah satu karyanya dalam merespons pemikiran tokoh sezamannya, adalah sebuah buku berjudul Suqûthul Ghuluwwil Almcnî (Gugurnya Kenaifan Kaum Sekuler). Buku ini merupakan karya ilmiahnya dalam merespons pemikiran Muhammad Sa`id Al-Asymawi yang cenderung sekuler.

Selain cukup responsif terhadap tren pemikiran baru, Muhammad Imarah juga termasuk pemikir Islam yang termat menghargai pemikiran pendahulunya. Di antara pemikir muslim yang selalu mengilhaminya dan untuk itu dia apresiasi melalui karya ilmiah antara lain: Muhammad Abduh (melalui buku Al-Imâm Muhammad ‘Abduh: Mujaddidud Dunyâ bit Tajdîdid Dinî [Imam Muhammad Abduh: Pembaru Dunia Melalui Pembaruan Agama]); Jamaluddin Al-afghani (melalui buku Jamâluddin Al-Afghânî: Munqidzus Syarq wat Tamaddun Al-Islâmî [Jamaluddin Al-Afghani: Pembangkit Dunia Timur dan Peradaban Islam]); Qasim Amin (melalui buku Qâsim Amîn: Tahrîrul Mar`ah wat Tamaddun Al-Islâmî), serta Abdurahman Al-Kawakibi (melalui buku Al-A`malul Kâmilah li Abdir Rahmân Al-Kawâkibî [Kompilasi Karya Abdurrahman Al-Kawakibi]). Apresiasinya yang cukup dalam terhadap tema-tema baru keislaman, di samping penghargaannya yang tinggi terhadap karya klasik Islam, telah menjadikan Imarah sebagai pemikir Islam kontemporer yang cukup disegani.

Revitalisasi Turâts
Salah satu tema besar pemikiran Muhammad Imarah adalah proyek revitalisasi turâts. Muhammad Imarah, seperti halnya Hasan Hanafi dan Muhammed Abed Al-Jabiry nampaknya masih mempercayai turâts sebagi kekuatan revolusioner yang tak pernah tersentuh (untouchable). Proyeksi turâts dalam konteks masyarakat muslim saat ini, merupakan sebuah dialog tradisi antar ruang, yang membutuhkan energi besar karena harus menggali kembali warisan masa lalu. Di dalam proyek ini terpendam kesungguhan untuk menjadikan turats sebagai teks baru umat Islam. Sebab dalam pandangan Muhammad Imarah, turâts bisa menjadi salah satu solusi problem umat Islam saat ini. Hanya saja kesadaran untuk mengembalikan nilai luhur turâts, ternyata belum muncul dalam ruang kesadaran umat Islam. Turâts selalu diidentifikasi sebagai rongsokan dogma kaku yang mengkristal, serta hanya berproses pada masa yang sudah lewat. 

Bagi Imarah, turâts tidak hanya sekedar warisan budaya dan peradaban yang terkubur dan berada dalam kerangkeng pemikir masa lalu. Turâts baginya tetap masih diperlukan spiritnya pada saat ini, terutama dalam menghadapi kooptasi peradaban lain atas dunia Islam. Dengan demikian, starting point atau langkah awal untuk menghidupkan kembali turâts (ihyâ’ut turâts) dalam konteks masyarakat saat ini adalah dengan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya nilai turâts dan kontribusinya dalam setiap pranata kehidupan. Selain itu, umat Islam juga harus memahami adanya korelasi antara turâts dengan tujuan serta orientasi umat Islam saat ini.

Salah satu yang menjadi orientasi umat dalam rangka revitalisasi turâts, menurut Imarah adalah melalui optimalisasi fungsi dan peran akal dalam menerjemahkan wahyu Tuhan. Dengan kata lain, kebebasan berpikir yang dibangun di untuk menghidupkan kembali turâts harus menjadi salah satu tugas mahapenting umat Islam. Sebab, ternyata turâts membuka ruang yang cukup lebar bagi akal untuk dapat menemukan makna dari diturunkannya wahyu. 

Hanya saja premis yang diterima oleh sebagian besar umat Islam tidak selalu mencerminkan hal di atas. Kebebasan berpikir selalu diasosiasikan dengan budaya Barat yang sudah sejak lama menyuarakannya. Jebakan discourse ini pada gilirannya akan menggiring kita pada kesimpulan bahwa umat Islam ternyata tidak punya banyak ruang dalam wacana kebebasan berpikir. Argumen yang dikemukakan para orientalis untuk mendukung tesis ini, biasanya didasarkan pada tiga hal. 

Pertama, dalam kelompok Islam, hanya kalangan Muktazilah saja yang menyuarakan pentingnya kebebasan berpikir. Padahal dalam sejarah Islam, Muktazilah hanyalah sebuah sekte kecil. Kedua, kebebasan berpikir yang dianut kaum Muktazilah, itu pun menurut para orientalis, lebih karena pengaruh kalangan Kristen rasionalis yang masuk Islam. Ketiga, para orientalis juga mencermati bahwa Muktazilah sebagai kaum yang menyuarakan kebebasan berpikir, juga merupakan bagian dari rezim pro status quo dalam wilayah politik. Dengan demikian, poin kebebasan berpikir Muktazilah menjadi tereduksi oleh sikap politiknya sendiri. Dan ini akibatnya membuat kalangan orientalis meremehkan peran Muktazilah dan menyebutnya tidak banyak membuka peran akal.

Menanggapi hipotesa kaum orientalis ini, Muhammad Imarah tergerak untuk menyangkalnya. Kesimpulan ini, menurut Imarah sangat tergesa-gesa. Karena dilihat dari sudut pandang manapun, serta dalam corak kehidupan manapun, kaum Muktazilah jelas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada manusia. Baik dalam dimensi fikih, muamalah, akidah dan siyasah, kelompok Muktazilah tetap menjadikan kebebasan sebagai panglima dalam mewujudkan kemaslahatan. 

Tapi menurut kacamata orientalis, idiom kebebasan berpikir yang berpijak pada nilai turâts sama artinya dengan tunduk pada iltizâmât (ikatan-ikatan agama yang rigid). Inilah yang menjadikan dua tema itu (kebebasan dan iltizâmât) menjadi paradoks. Ini kemudian berakhir pada keyakinan akan terkesampingnya kebebasan dari alam pikiran kaum Muktazilah. Padahal, kebebasan berpikir tidak bisa diartikan sama dengan kebebasan. Bila keduanya dilihat secara literal, pun tidak pernah menunjukan satu makna yang inheren.

Tapi disamping itu, secara jujur Imarah mengakui bahwa unsur kebebasan berpikir dalam Islam memang tidak cukup mendapat perhatian para orientalis. Ini disebabkan dalam kamus Muktazilah, frase yang digunakan untuk menandai upaya pembebasan nalar adalah idiom al-ikhtiyâr sebagai antonim dari al-jabr, bukan huriyyatul fikr, atau kebebasan berpikir. Sehingga, perbedaan pada level istilah yang dipakai menyebabkan perbedaan pada makna yang ditangkap. Padahal al-ikhtiyâr dalam perspektif kaum Muktazilah sama halnya dengan huriyyatul fikr, yaitu upaya untuk mengoptimalkan fungsi dan peran akal ketika menghadapi permasalahan yang mempunyai beberapa kemungkinan. 

Meskipun demikian, Imarah tidak menafikan kenyataan bahwa kebebasan berikir sebagai salah satu produk kebudayaan Barat. Di sini terlihat sikap moderat Imarah. Imarah menganggap kebebasan berpikir sebagai warisan tradisi intelektual yang kuat bercokol dalam tradisi Barat. Maka dari itu, Imarah menganjurkan dialog, dengan tidak terjebak pada dikotomi Islam dan Barat. Selama ada produk peradaban Barat yang bisa ditiru dan sesuai dengan prinsip universalitas Islam, maka sangat memungkinkan untuk dijadikan basis epistemologi kajian keislaman. Karena menurutnya, al-hikmah dhallatul mu`min, anna wajadaha fahuwa ahaqqun nâs bihâ (kearifan merupakan barang tercecer kaum beriman; diamanapun mereka menjumpainya, mereka berhak merangkulnya). Dengan landasan itu, meski sebauah kearifan datang dari warisan “the other” yang berbeda (nonmuslim), asal selaras dengan nilai-nilai universal Islam, maka sepatutnya tetap dijadikan referensi.
Upaya penggalian turâts serta revitalisasi fungsinya, bagi Imarah tidak hanya berhenti pada temuan materi karya-karya para intelektual muslim seperti halnya karya Abu Utsman `Amru ibn Bahr Al-Jahidh (775-872 M) yang memuat berbagai inovasi serta dimensi baru dalam pelbagai hal yang dilandaskan pada kebebasan berpikir, ataupun filsafat Ibn Rusyd saja (Tafsir Mâ Ba`dat Thabî`ah dan lain-lain). Jauh lebih penting dari itu, perlu ada dialektika kritis dari para penggali turâts untuk menjadikan warisan intelektual itu lebih bisa menunjukan elan vitalnya. Sebab, jika turâts diejawantahkan “telanjang bulat” tanpa adanya usaha untuk menggali dan menyesuaikannya dengan konteks masyarakat, maka itu akan menyebabkan terkungkungnya nalar kreatif manusia dan menjebaknya dalam ortodoksisme. Dalam literatur umat Islam, piranti teologis yang sangat memungkinkan untuk berkreasinya nalar manusia dan keluar dari jebakan ortodoksisme, diformulasikan dalam bentuk ijtihad. Ijtihad harus dilakukan sebagai upaya untuk melakukan tajdîd (pembaruan). Karena hanya dengan tajdîd umat Islam akan tercerahkan, sekaligus dapat membuktikan fleksibilitas Islam dalam merespon pelbagai perubahan. 

Otoritas Politik dan Pluralisme
Selain memokuskan diri pada upaya ihya’ut turâts atau revitalisasi turâts dalam skala makro, Imarah juga termasuk piawai dalam mencermati urusan politik dan ketatanegaraan. Ide-idenya tentang politik, dia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Al-Islâm Wsa Shultatut Dîniyyah (Islam dan Otoritas Agama), serta Al-Islâm wal Wahdatul Qaumiyyah (Islam dan Kesatuan Nasional) yang konon berhasil terjual 11.000 eksemplar hanya dalam waktu sepuluh hari (Issa J. Boulata: 2002). 

Salah satu point pemikiran politiknya adalah kritikannya yang cukup pedas terhadap konsep hakimiyatuLlâh (kuasa Tuhan). Selain Syi`ah, menurut Imarah tidak ada komunitas Islam yang mengklaim adanya kemungkinan orang suci, utusan Tuhan, serta figur maksum dalam Islam. maka dari itu, tidak cukup alasan baik normatif maupun historis untuk membentuk kekuasaan atas nama Tuhan dalam Islam, khususnya dalam tradisi Sunni. Otoritas religius dengan mengatasnamakan Tuhan, menurutnya harus dihindari oleh umat Islam pada altar politik. Sistem pemerintahan apapun yang pernah ada dalam sejarah umat Islam, sama sekali tidak didasarkan atas firman Tuhan. Ini dibuktikan pada prosesi pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah dan khalifah lainnya. Semua didasarkan atas hasil ijtihad semata. 

Meskipun demikian, ini tidak menunjukkan bahwa Imarah menganggap Islam memisahkan urusan agama dengan dunia (fashl). Menurut Imarah, dalam kasus yang bersifat ijtihadi, yang terjadi adalah pembedaan wilayah (tamyîz) antara agama dan dunia. Ini artinya, Islam tidak melepaskan urusan dunia secara radikal, untuk kemudian menyebabkan dunia tercerabut dari nilai luhur yang melandasinya (baca: Islam). 

Hanya saja, memberi karakter religius pada dimensi politik atau sistem pemerintahan, menurut Imarah akan sangat bertentangan dengan semangat Islam. Karakter religius hanya akan tercermin dan berada pada wilayah yang penduduknya mempunyai keimanan tunggal. Sementara politik, terimplementasi pada ranah yang diwarnai oleh berbagai bentuk keimanan. Ini persis seperti yang tergambar dalam Piagam Madinah. Umat Islam dalam Piagam Madinah, berada pada ranah satu kesatuan ummah dengan kaum Yahudi, Banu Auf dan yang lainnya.

Dalam sejarah umat Islam, memang terdapat masa-masa yang oleh Imarah disebut sebagai masa gelap sejarah muslim. Banyak di antara para khalifah yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan status quo, serta memberangus lawan politiknya dengan menggunakan kekuasaan (agama) yang kejam. Dalam pandangan Imarah, ini merupakan salah satu miskonsepsi dari interpretasi umat Islam terhadap teks-teks keagamaan. 

Otoritas keagamaan pada hakikatnya tidak boleh dipaksakan oleh satu orang kepada orang lain. Masing-masing individu tidak berhak menentukan doktrin keagamaan yang paling absah, meski ia seorang qadhi atau khalifah. Karena otoritas yang dimiliki oleh individu adalah otoritas madani atau sipil yang dibingkai dalam frame hukum Islam. Otoritas ini berwenang sebatas pada memberikan nasihat dan menyerukan amar makruf, bukan untuk memaksakan sebuah doktrin yang akan menyebabkan timbulnya logosentrisme. 

Pada kerangka otoritas politik, Imarah menegaskan bahwa Islam tidak menentukan sebuah model yang ideal dalam menjalankan roda pemerintahan, baik dalam pengangkatan pemimpin ataupun mekanisme pemerintahan. Sebab logikanya, aturan politik dibuat untuk kepentingan bersama yang didasarkan atas kebutuhan masyarakat pada saat itu. Formulasinya tentu akan disesuaikan dengan evolusi pemikiran manusia itu sendiri, selain locus (tempat) dan habitus (kebiasaan, adat, ‘urf) yang mereka anut.

Selain itu, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, Imarah menekankan pentingnya memahami perbedaan agama dan keyakinan (tasâmuh). Sebab, tujuan sebuah negara dalam menciptakan stabilitas, tidak akan terwujud jika masing-masing individu yang berbeda keyakinan tetap mengedepankan sentimen primordialnya. Imarah kemudian merujuk pada beberapa ayat Al-Qur`an yang menurutnya telah meletakan fondasi yang cukup kuat bagi umat Islam dalam menyemai benih-benih toleransi, seperti pada QS. Hud: 18, An-Nahl: 93, dan As-Syuro: 8. dalam keyakinan Imarah, pada dasarnya agama adalah tunggal pada esensinya dan plural pada sisi ritualnya.

Sehingga, pada akhirnya posisi umat Islam dalam menghadapi persoalan keduniaan akan bermuara pada dua prinsip. Pertama, umat Islam harus meyakini bahwa agama yang diturunkan Tuhan termaktub dalam ajaran-ajaran Al-Qur`an. Untuk membantu memahaminya, umat Islam harus mencari bantuan Sunnah dengan tetap mengedepankan akal dalam mengawal proses interpretasi terhadap Al-Qur`an tersebut. Kedua, dalam persoalan politik dan hal lain yang tidak ada dalam Al-Qur`an, maka umat Islam harus menetapkannya melalui mekanisme pendapat personal atau ijtihad. 

Menurut Imarah, pembaharuan (tajdîd) agama hanya dimungkinkan akan terjadi jika umat Islam berani melakukan ijtihad. Menurut Imarah, iktimâlud din (kesempurnaan agama)dan tajdîd pembaruan,meski sekilas terlihat paradoks, sebenarnya adalah dua hal yang integral dan mencerminkan murînatut islâm atau kelenturan Islam. Kesempurnaan agama Islam hanya berhenti pada wilayah ushul (fondasi-fondasi pokok keagamaan). Tapi pada permasalahan furu` atau cabang-rantingnya, Islam belumlah sempurna. Makanya, ijtihad dan tajdîd adalah keniscayaan Islam. Ini tentunya dilakukan dengan mengedepankan kepentingan umat dan menjadikan Al-Qur`an sebagai landasan etika-moral.

Sejarah Oksidentalisme

Istilah oksidentalisme dipopulerkan oleh Dr. Hasan hanafi seorang pemikir dari Mesir dan juga penulis al yasar al Islam - islam kiri, Oksidentalisme adalah kebalikan (antonim) dari istilah oreantalisme yang dalam pengertian umum, orientalisme adalah suatu kajian komprehensif dengan meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Timur.

Yang disebut Timur meliputi kawasan yang luas, termasuk Timur Jauh (negara-negara Asia yang jauh dari Eropa, seperti Jepang dan Cina), Timur Dekat (negara-negara Asia yang dekat dengan Benua Eropa, seperti Turki), dan Timur Tengah (negara-negara Asia yang terletak di antara keduanya, seperti negara-negara Arab).

Setelah menjabarkan pengertian Oreantalisme, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pengertian secara umum oksidentalisme adalah kajian kebaratan atau suatu kajian komprehensif dengan meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Barat. Dalam oksidentalisme, posisi subjek objek menjadi terbalik. Timur sebagai subjek pengkaji dan Barat sebagai objek kajian.

Walau istilah oksidentalisme adalah antonim dari Oreantalisme, tapi di sini ada perbedaan lain, oksidentalisme tidak memiliki tujuan hegemoni dan dominasi sebagaimana orientalisme. Tetapi, para oksidentalis hanya ingin merebut kembali ego Timur yang telah dibentuk dan direbut Barat.

Latar belakang dan sejarah munculnya oksidentalisme

Berbicara tentang latar belakang dan sejarah munculnya oksidentalisme tidak bisa kita lewatkan begitu saja sejarah kecemerlangan peradaban islam dan masa kegelapan peradaban dunia barat. Sejarah telah mencatat era kecemerlangan dunia timur khususnya peradaban islam, bahkan peradaban keilmuan barat berhutang budi dengan peradaban keilmuan islam. Dan ini tidak bisa dipungkiri lagi, Kita ingat masa-masa kegelapan dunia barat sebelum masa kebangkitan, doktrin gereja sangat mendominasi dan mengekang kebebasan mereka dalam bertindak bahkan dalam berpikir, semuanya harus sejalan dengan ajaran gereja yang menjadikan bangsa barat terbelakang dari peradaban lainya. Peradaban islam waktu itu sangat bertolak belakang dengan peradaban barat, peradaban islam sangat mencolok dan maju pesat bak anak panah, universalnya islam telah mengubah bangsa timur dari bangsa yang terbelakang dan primitif menjadi bangsa yang maju baik dari segi agama, pemerintahan-politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Keadaan ini membuat para pemikir dan cendikiawan barat (bisa disebut oreantalis masa awal) yang sudah bosan dengan doktrin gereja yang kadang tidak sesuai dengan nalar telah terinspirasi serta melirik peradaban islam dan mempelajarinya, mereka hijrah ke wilayah kekuasaan islam dan belajar dari ilmuan-ilmuan islam, maka lambat laun setidaknya dalam beberapa pereode telah merubah wajah barat dari kungkungan kegelapan.

Ketika bangsa Barat mulai bangkit dari keterbelakangan mereka (renaissance), setelah belajar dari dunia timur khususnya peradaban islam, dunia islam mulai keropos, sedikit demi sedikit dan terus terpuruk disebabkan pemimpin-pemimpin islam yang lemah, setelah peradaban islam dihancur-ludeskan oleh pasukan Tartar (bangsa Mongol). Maka barat semakin menunjukkan jayanya dan terus berkembang hingga abad ini. Dari sini muncul tokoh-tokoh oreantalis (pengkaji peradaban ketimuran) yang dengan seiring perjalanan waktu telah berubah menjadi suatu kajian yang bukan hanya mempelajari keilmuan peradaban timur tapi semua yang terkait dengan ketimuran termasuk bagaimana cara menguasai dunia timur (islam) dan penjajahan.

Dalam sejumlah karya orientalis, yang lebih banyak ditonjolkan ialah unggulnya orang-orang Barat serta mengerdilnya segala yang terkait dengan Timur khususnya islam. Mereka senantiasa mengemukakan orang-orang Timur tidak berbudaya, bodoh, keras, kasar, dan tidak punya potensi, untuk membuktikan ini para oreantalis telah mendistorsi sejarah dan mengagungkan kemajuan peradaban mereka serta menghilangkan jejak bahwa mereka pernah belajar dari Timur (islam). Misalnya mereka (oreantalis) telah membaratkan nama seorang tokoh ilmuan islam seperti Ibnu Sina menjadi Avecina, Ibnu Rusd menjadi Averos dan sebagainya.

Atas dasar itu, muncul kesadaran baru di dunia Timur (pemikir dan pembaharu islam) bahwa selama ini mereka dibodohi kajian-kajian ketimuran (orientalisme) itu. Lahirlah apa yang disebut kajian kebaratan atau yang dikenal dengan istilah oksidentalisme. Menurut hemat penulis kajian ini adalah upaya untuk menandingi oreantalisme dan merebut kembali ego Timur yang telah direbut oleh Barat.

Tokoh-tokoh oksidentalisme
Dalam kajian ini penulis akan sebutkan beberapa tokoh oksidentalisme yang mayoritas mereka adalah pemikir dan tokoh pembaharu islam.

1. Jamaluddin al-Afghani
Jamaluddin Al-Afghani adalah pahlawan besar dan salah seorang putra terbaik Islam. Kebesaran dan kiprahnya membahana hingga ke seluruh penjuru dunia. Sepak terjangnya dalam menggerakkan kesadaran umat Islam dan gerakan revolusionernya yang membangkitkan dunia Islam, menjadikan dirinya orang yang paling dicari oleh pemerintahan kolonial ketika itu, Inggris. Tapi, komitmen dan konsistennya yang sangat tinggi terhadap nasib umat Islam, membuat Al-Afghani tak pernah kenal lelah apalagi menyerah.

2. Dr. Muhammad Abduh
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Lahir didesa Mahallat Nashr di kabupaten al-Buhairah, Mesir tahun 1849 M. Dan beliau wafat pada tahun 1905 M.

3. Sheikh Muhammad Rasyid Ridha
Muhammad Rasyid Ridha, lahir di Qalmun, sebuah desa sekitar 4 km dari Tripoli, Libanon pada 27 Jumadil Awal 1282 H.; Beliau adalah bangsawan Arab yang memiliki garis keturunan langsung dari Sayyidina Husen, putera Ali bin Abu Thalib dan Fatimah puteri Rasulullah Saw.

4. Dr. Muhammad Imarah
Muhammad Imarah atau Amarah lahir di Desa Sharwah-Qalain Propinsi Kafr Al-Syaikh Mesir, seorang intelektual kelas kakap di Tanah Arab. Responnya yang cukup antusias pada dunia akademis, terutama dalam menyikapi tren pemikiran Islam, telah mengibarkan namanya dalam dunia pendidikan dan pemikiran Islam kontemporer.

5. Dr. Hasan Hanafi
Dilahirkan di Cairo, Mesir pada 14 Februari 1934 M. Hasan Hanafi, pemikir muslim modernis dari Mesir, adalah salah satu tokoh yang akrab dengan simbol-simbol pembaruan dan revolusioner, seperti Islam kiri, oksidentalisme, Tema-tema tersebut ia kemas dalam rangkaian proyek besar; pembaruan pemikiran Islam, dan upaya membangkitkan umat dari ketertinggalan dan kolonialisme modern.

6. Nurcholish Madjid.M.A
Lahir di Jombang, 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358), dari keluarga kalangan pesantren. Pendidikan yang ditempuh: Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan Bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar (sore); Pesantren Darul 'Ulum di Rejoso, Jombang; KMI (Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah) Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo; IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta (Sarjana Sastra Arab, 1968), dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought, 1984).

7. Adian Husaini, M.A.
Lahir Bojonegoro, 17 Desember 1965 adalah ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, sekretaris jenderal Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dan Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina-Majelis Ulama Indonesia (KISP-MUI), Anggota Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan anggota pengurus Majlis Tabligh Muhammadiyah.

Sebenarnya masih banyak tokoh-tokoh oksidentalisme lain yang penulis tidak sebutkan di sini, karna nanti akan membuat tulisan ini terlalu panjang dan membosankan pembaca.

Motif di balik Kajian Oksidentalisme
Sebagaimana kita singgung di atas bahwa kajian oksidentalisme adalah kebalikan dari kajian oreantalisme, upaya untuk menanggulangi oreantalisme, Merebut kembali ego timur yang direbut oleh barat dan selama ini barat dipandang sangat mendominasi dalam kajian ketimuran khususnya kajian ke-islaman. Bahkan, di era kolonial, orientalisme dianggap sebagai senjata untuk menundukan bangsa-bangsa timur. Hal inilah yang membangkitkan kekesalan Edward Said dengan menulis buku “orientalism” . Dia mengkritik bahwa kajian barat atas timur kurang lebih bertujuan politis ketimbang ilmiah.

Dalam pemikiran dunia timur, “karena trauma sejarah akibat kolonialisme”, ada suatu perasaan curiga terhadap kajian-kajian oreantalisme bahwa kajian yang mereka lakukan memiliki motif-motif terselubung, bahkan, terkesan mengerdilkan semua yang berbau timur, walaupun ada beberapa oreantalis yang objektif dalam mengkaji ketimuran.

Adanya perasangka atau tuduhan klise dari dunia timur yang tidak mendasar, seperti : Kebudayaan barat yang dekaden, individualistik dan Amoral.

Namun disisi lain dunia timur dibuat terpesona dengan kemajuan peradaban barat yang tiada henti serta anggapan timur bahwa mengadopsi kebudayaan barat adalah modernitas atau life styile. Dengan semangat oksidentalisme diharapkan dapat membantu atau menjembatani kebuntuan tersebut. Terpenting, motif di balik kajian oksidentalisme adalah untuk mempelajari akar kemajuan bangsa-bangsa barat, memfilternya dan menerapkanya di dunia timur hingga timur keluar dari keterbelakangannya. Selain itu Oksidentalisme diharapkan mampu menghilangkan kecurigaan yang tidak mendasar terhadap barat yang terus mengendap dipikiran orang timur.

Dampak positif dan negatif yang ditimbulkan akibat oksidentalisme

Berbicara plus dan minus akibat kajian oksidentalisme sama halnya dengan membicarakan peperangan antara kebaikan dan keburukan artinya, sudah menjadi sunnatullah di dunia ini sesuatu yang dianggap sempurna akan nampak kekurangannya, dalam kajian oksidentalisme ada kebaikan yang bisa diambil dan ada juga keburukan yang muncul.

Menurut penulis dampak positif dan negatif akibat oksidentalisme tergantung pada pribadi oksidentalis itu sendiri. Seorang oksidentalis yang benar menurut penulis, ialah yang tidak terlalu terpengarah dengan kemajuan peradaban barat dan lantas mengadopsi apa saja yang yang diproduksi oleh barat, boleh mengambil dan meniru barat tetapi harus memfilternya dengan landasan islam dan iman. karena kalau tidak, akan menimbulkan semacam racun dalam masarakat timur khususnya ummat islam.

Islam yang universal, mengajarkan libralisme dalam berfikir, memfungsikan akal sebagai anugerah fitrah tetapi dibatasi oleh dua pokok pondasi dasar yaitu Al-qur'an dan Assunnah, seagaimana ungkapan yang sering kita dengar “ kamu punya kebebasan tetapi kebebasanmu dibatasi oleh kebebasan orang lain”, bersebrangan dengan libralisme yang didengung-dengungkan dan dianut oleh barat, yaitu libralisme tanpa batas, dan ini danger!!