Jumat, 25 Februari 2011

ORIENTALISME VIS A VIS OKSIDENTALISME

img_2291Islam merupakan agama samawi terakhir yang diturunkan Allah kepada manusia melalui utusan terakhir-Nya Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para nabi dan rasul, hal ini menjadikan ajaran Islam sebagai agama paripurna yang menyempurnakan segala aturan dari agama-agama samawi sebelumnya.
Kedatangan agama Islam yang didakwahkan Nabi Muhammad menampakkan kilaunya setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah dan seruannya diterima dengan baik di sana, cahaya Islam mulai menyala dan dalam waktu yang singkat menerangi kegelapan di jazirah Arabia, bahkan lambat laun menerangi daerah-daerah sekitarnya sehingga pada masa itu Madinah telah menjelma menjadi sebuah negara besar dengan seorang pemimpin besar tak kalah besarnya dengan Imperium Rumawi di Barat dan Imperium Persia di Timur.
Dalam memahami Islam, harus ditinjau dari dua aspek pokok yang saling berkaitan, yakni : pertama, aspek tekstual berupa aturan-aturan Islam secara normatif yang termuat dalam al-Qur’an dan Hadits yang keberadaannya absolut dan non debatabel, aspek ini lazim disebut Islam normatif; kedua, aspek kontekstual berupa penerapan secara praktis dari Islam normatif yang diambil dari upaya penggalian terhadap nilai-nilai normatif melalui berbagai pendekatan di berbagai bidang yang melahirkan berbagai disiplin ilmu, antara lain ilmu tafsir, hadits, fiqh, ushul al-fiqh, kalam, tasawwuf  dan lain-lain yang keberadaannya masih bersifat relatif dan debatabel, aspek ini lazim juga disebut Islam historis atau budaya umat Islam.
Dalam diskursus mengenai Islam historis yang relatif dan debatebel terbuka peluang besar kepada golongan di luar Islam terutama dunia Barat dalam usaha mempelajari Islam dan budaya umat Islam di Timur untuk ikut memberikan makna dalam penerapan Islam normatif, baik dengan tujuan yang tulus dan murni untuk memahami Islam maupun untuk tujuan-tujuan tertentu guna mendapatkan kemanfaatan dari khazanah Islam dan umat Islam yang --secara langsung maupun dan tidak langsung-- di dalamnya tersembunyi tujuan lain yang dapat merugikan Islam dan Umat Islam.
Salah satu golongan yang sangat getol untuk melakukan hal ini adalah kaum orientalis Barat yang dengan kiprahnya telah banyak memberikan pengaruh --utamanya kepada orang Barat-- terhadap cara bersikap terhadap Islam dan Timur selama berabad-abad di zaman kolonial, kehadiran orientalis dan pengaruhnya ini telah memunculkan reaksi dari dunia Timur dengan memunculkan ide oksidentalisme dengan cara mempelajari Barat dan memberikan  pemahaman yang berimbang terhadap dunia Barat dan dunia Timur.
Artikel sederhana ini akan menyajikan secara ringkas tentang Orientalisme dan Oksidentalisme dan berupaya mengadirkan pandangan seorang muslim awam terhadap dua kubu ini dari aspek kesejarahan dan kiprahnya masing-masing, dengan tidak menutup kemungkinan terbukanya sebuah diskusi dalam konteks pergumulan antara orientalisme vis a vis oksidentalisme baik dalam tataran ideal maupun aktual.
Istilah orientalisme secara umum dimaknai sebagai pola pikir Barat terhadap dunia Timur yang secara lengkap didefenisikan Ahmad Abd al-Hamid Ghurab (1992, hlm. 20-21) sebagai “kajian akademis yang dilakukan bangsa Barat yang kafir tentang Islam dan umat Islam dengan segala aspek, baik mengenai akidah, syari’at, pengetahuan, kebudayaan, sejarah, aturan dan peraturan, hasil bumi dan potensinya dengan tujuan untuk merusak dan mengotori citra Islam, meniupkan keraguan kepada kaum muslimin akan kebenaran dan kepercayaan mereka terhadap ajarannya, menyesatkan mereka dari jalan yang dianjurkan dalam syari’atnya. Kemudian dengan berbagai cara mengelabui mereka dengan sebuah kajian yang seolah-olah ilmiah dan objektif dengan mencitrakan adanya keunggulan dan kelebihan ilmu pengetahuan bangsa Barat atas bangsa Timur yang Islam.”
Tampaknya pengertian di atas lebih menekankan bahwa dalam Orientalisme Barat berperan sebagai Subjek, meskipun tekanan kepada hanya orang-orang Barat saja sudah sukar untuk dipertahankan karena ada orang-orang Timur sendiri yang dimasukkan ke dalam golongan Orientalisme seperti Turki dan Filipina (A. Muin Umar, 1978, h. 8) sedangkan Islam dan umat Islam dijadikan sebagai objek kajiannya. Hal ini dapat dimaklumi dikarenakan kajian tentang Islam --utamanya di dunia Arab-- ternyata lebih banyak dilakukan dibandingkan tentang ajaran agama lainnya yang berkembang di Timur seumpama Hindu dan  Budha.
Minat Barat untuk belajar dari Timur pada awalnya --sebelum pecah perang salib--untuk mendapatkan ilmu pengetahuan semata, hingga dari hasil belajar itu banyak petinggi Eropa terutama di Andalusia telah menggunakan budaya Arab Islam dalam kehidupan mereka, penggunaan bahasa Arab dan huruf Arab, cara berpakaian Arab dan lain-lain. Inilah yang menjadi cikal bakal munculnya orientalisme, di mana hampir semua perguruan tinggi di Eropa memasukkan bahasa Arab dalam kurikulumnya, seperti Bologna (Italia) 1076, Chatres (Perancis) 1117, Oxford (Inggris) 1167 dan lain-lain. Hal ini dikuatkan pendapat Syamsuddin Arif (2008), h. 282) yang menyatakan bahwa di abad pertengahan, orientalisme adalah upaya mempelajari karya-karya ilmuwan Islam, mereka bersemboyan Ex Oriente Lux yang berarti “Cahaya berasal dari Timur”.
Namun setelah pecah perang Salib dan Yerussalem jatuh ke tangan kerajaan Utsmani, mulailah semangat Eropa untuk mengkritik, mengecam dan menyerang Islam dari berbagai kepentingan. Mereka mulai mengarang buku dengan gambaran yang salah tentang Islam. Semangat permusuhan terhadap Islam ini, baru mereda setelah memasuki masa pencerahan di Eropa, yang diwarnai dengan keinginan mencari kebenaran secara objektif, namun berbarengan dengan itu muncul pula era kolonialisme Barat terhadap dunia Timur terutama Islam hingga objektifitas pengetahuan tentang Timur dan Islam dijadikan alat untuk mengokohkan cengkraman kolonialisme Barat terhadap Timur.
Gerakan orientalisme dengan semangat yang sama terus berlanjut setelah berakhirnya masa kolonialisme Barat di awal abad ke-20, pada masa ini gerakan tersebut berupa penggalian dan pemunculan kembali terhadap pemikiran-pemikiran para orientalis lama terhadap pemikiran orientalis era baru seperti yang dilakukan di pusat-pusat studi Islam baik di Barat maupun di Timur, baik oleh pemikir Muslim maupun pemikir Non Muslim.
Dalam melaksanakan misinya mempelajari dunia Timur, penganut orientalisme mengadakan kegiatan-kegiatan terencana, di antaranya: (1) Mengadakan kongres-konres orientalis, dengan membahas issu-issu yang berkembang di Timur mengangkut georgafi, histori, antropologi, agama dan bidang lainnya; (2) Mendirikan lembaga-lembaga ketimuran, seperti di Prancis Sylvester de Sacy mendirikan Ecole des Langues Orientales Vivantesthe school of oriental studies London Institution (1917), di Belanda didirikan Oosters Instituut Leiden (1971) dengan tokohnya Snouck Hurgronje, Logemann dll. sedangkan di Amsterdam ada Instituut voor het mederne nabije oosten yang dipimpin oleh G.E. Pijper; (1795); (3)  Mendirikan organisasi-organisasi ketimuran; (4)  Menerbitkan Ensiklopedia dan buku-buku; (5) Menerbitkan Majalah-majalah.
Kegiatan-kegiatan ini dilakukan untuk mendukung misi dan sikap mereka terhadap Timur, terutama Islam. Di antara sikap mereka tersebut menurut Ghurab adalah sikap-sikap lama yang pernah ditunjukkan kaum musyrikīn dan ahl al-kitāb terhadap Islam pada masa lalu, sikap tersebut antara lain: (1) Menganggap bahwa al-Qur’an bukan merupakan wahyu dan Muhammad bukan Rasulullah, mereka menyatakan bahwa al-Qur’an adalah kata-kata dan buatan manusia, merupakan kesepakatan sepanjang masa. Karenanya mereka mendakwakan bahwa al-Qur’an adalah buatan Muhammad; (2) Menganggap bahwa Islam adalah ajaran yang penuh distorsi dan kekurangan, hingga secara spiritual sama sekali tidak sah. Bahkan ajaran Islam disebut sebagai Muhammadanisme (Agama Muhammad); (3) Menuduh bahwa Nabi Muhammad adalah orang yang haus kekuasaan, dengan menyatakan bahwa tabiat yang ada pada Muhammad bukanlah sosok ahli pikir atau filosof agama, karena itu ia memusatkan pada kekuasaan dan sama sekali tidak mengarahkan perhatian pada pembentukan aqidah; (4) Menganggap hadits sebagai hasil rekayasa sahabat dan bukan berasal dari Rasul.
Uraian di atas menunjukkan bahwa para orientalis sesungguhnya tidaklah secara jujur menilai Islam sebagai agama yang berasal dari Allah, melainkan hanya sekedar menganggapnya sebagai hasil budaya manusia Timur dalam hal ini Muhammad dan para sahabatnya yang diteruskan oleh pengikut-pengikut mereka. Sikap-sikap ini tercermin dalam isi setiap karya tulis yang mereka hasilkan.
Dengan demikian, menurut Zufran Rahman (1995, h. 148) --dengan mengutip Musthafa al-Siba’i dari al-Isyrāq wa al-Mustasyrikūn-- bahwa jika diamati ternyata taktik dan methode penulisan buku-buku orientalisme ialah membuatnya seolah-olah ilmiah dan objektif, di antara trik yang mereka lakukan adalah : (1) Menentukan ide, kemudian mencari dalil-dalil yang dapat menguatkan ide tersebut walaupun secara dipaksakan dan tidak mengena, bahkan tanpa mempedulikan dari mana sumber pengambilannya (jika perlu buku-buku dongeng atau lelucon-lelucon yang sama sekali tidak ilmiah); (2) Dalam tulisannya, mereka awalnya memuji Islam untuk menarik simpati para pembaca kemudian melancarkan tuduhan dan pandangan buruk yang dapat merusak kebaikan yang sebelumnya dipuji; (3) Menonjolkan kesalahan dan kelemahan kaum muslimin sebagai kekeliruan ajaran Islam, bukan karena kebodohan dan kesalahan mereka terhadap nilai-nilai Islam; (4) Membesar-besarkan kekeliruan dan kesalahan yang kecil dari umat Islam, sehingga memungkinkan untuk mencoreng lembaga sejarah dan peradaban Islam dan memupuskan segala kebaikan Islam.
Cara-cara penelitian mereka terhadap khazanah Islam dengan apa yang disebut metodologi ilmiah, kritis dan objektif namun tanpa landasan keimanan yang kokoh, menurut hemat penulis sangat berbahaya dan akan membawa keraguan seorang muslim terhadap keimanannya kepada Islam sebagai agama, bahkan ikut-ikut menganggap Islam bukan ajaran dari Allah yang maha agung melainkan sekedar hasil budaya dan karya manusia semata. Hingga tidaklah mengherankan jika pengaruh pemikiran yang dihasilkan kaum orientalis ini akan menjadikan seorang muslim meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan.
Di pihak lain, oksidentalisme secara umum dimaknai sebagai cara pandang terhadap yang lainnya dari kacamata ketimuran. Kelahirannya dipicu oleh dominasi kajian Barat terhadap Islam dan adanya ketimpangan akibat westrenisasi yang berpengaruh luas tidak hanya pada budaya dan konsepsi tentang alam, tapi juga mengancam kemerdekaan peradaban manusia.
Hadirnya oksidentalisme bertujuan menguraikan inferioritas hubungan Timur dan Barat, menumbangkan superioritas Barat dengan menjadikannya objek kajian dan melenyapkan inferioritas Timur dengan menjadikannya sebagai subjek pengkaji. Secara historis terdapat perbedaan antara orientalisme dan oksidentalisme, dimana orientalisme muncul di tengah ekspansi imperialisme Eropa pada abad ke-17 yang kemudian berkembang membawa paradigma riset ilmiah dan aliran politik yang tidak bersifat netral karena banyak didominasi struktur kesadaran Eropa, sedangkan oksidentalisme cenderung berupa upaya pembebasan tanah air dan belum mengembangkan bentuk apapun hingga berposisi netral karena tidak memburu kekuasaan dan hak kontrol.
Sesungguhnya oksidentalisme sudah ada sejak lama, Dunia Timur yang diwakili Tradisi Islam dan tradisi lain yang telah ada sebelum Islam pada masa lalu telah mengupayakan pengkajian terhadap Yunani dan Romawi sebagai represantasi sumber kesadaran Eropa. Proses pengkajian tersebut menghadirkan dialektika antara tradisi Islam sebagai peradaban Timur dan Barat sebagai objek kajian.
Pada tataran konseptual, oksidentalisme berusaha memahami Eropa secara holistis (menyeluruh) mengenai sejarah kelahiran dan perkembangannya, serta meletakkan Eropa dalam batas geografis dan demografisnya. Oksidentalisme mendambakan terhapusnya budaya kosmopolit yang dipropagandakan Barat dan menemukan jati diri sebuah bangsa dengan ciri khasnya. Oksidentalisme menawarkan kesadaran bahwa setiap bangsa memiliki tipe peradaban dan kesadarananya sendiri, hal ini membuka jalan bagi terciptanya inovasi bangsa non Eropa dan membebaskannya dari pengaruh Eropa yang menghalangi nuraninya, sehingga mereka dapat berpikir dengan akal dan dalam kerangka lokalnya sendiri.
Secara epistimologis, oksidentalisme berupaya mengakhiri hegemoni orientalisme dan mengembalikan status Timur dari sekedar monumen yang dikaji menjadi manusia yang mengkaji. Lebih dari itu, oksidentalisme juga menjelma sebagai ilmu pengetahuan yang akurat serta membentuk peneliti yang mempelajari dan menyelami peradabannya dengan kacamatanya sendiri dan mengkaji peradaban lain secara lebih netral, tidak seperti yang dilakukan Barat terhadap peradaban lain. Dengan oksidentalisme, manusia akan mengalami era baru yang menampilkan rasialisme sebagai penyakit yang harus dimusnahkan, yang selama ini terpendam dan menjadi borok nafas peradaban yang dihembuskan bersama kesadaran Eropa.
Oksidentalisme bertujuan mengakhiri mitos bahwa Barat sebagai representasi seluruh umat manusia serta sebagai pusat kekuatan dan penentu modernitas, menghapus eurosentrisme dan menjelaskan bagaimana kesadaran Eropa mengambil posisi tertinggi sampai pada yahap hegemoni di sepanjang sejarah. Selain itu, oksidentalisme juga mengembalikan kebudayaan Barat ke batas alamiahnya setelah selama kejayaan imperialisme menyebar keluar menlalui penguasaan teknologi mendia informasi, pusat penelitian ilmiah dan media penakluk lainnya.
Oksidentalisme hadir sebagai bentuk reaksi dari keberadaan orientalisme yang --dalam kurun waktu antara abad ke-17 sampai abad ke-20-- telah memposisikan Barat sebagai Subjek pengkaji Timur hingga menimbulkan stereotipe-stereotipe psikologis yang luar biasa parah, antara lain rasa superioritas Barat karena mereka selalu mensubyekkan diri, sebagai pengamat. Sebaliknya Timur yang melulu dijadikan obyek kajian, dan bahkan sasaran penjajahan Barat, lalu merasa inferior. Karena jika hubungan superior-inferior ini dipelihara terus, tidak saja berakibat pada ketidakharmonisan Barat-Timur selama berabad-abad, tapi juga memperkeruh komplikasi sejarah dalam konflik peradaban.
Sebagai bentuk reaksi itu oksidentalisme mengambil sikap bahwa ekspansi kolonialisme Barat yang tanpa batas harus segera dihentikan. Perang kebudayaan pun mesti cepat-cepat diakhiri, lalu kebudayaan dan peradaban Barat dikembalikan ke wilayah geografis dan historisnya dengan menghapus rasa inferior dunia Islam vis a vis dengan superior dunia Barat.
Dalam hal ini Hasan Hanafi (2000, h. 57) megilustrasikan bahwa yang terpenting adalah  “mengakhiri orientalisme” dalam pengertian mengubah status Timur dari sekadar obyek, menjadi subyek. Timur sebagai subyek, sedangkan Barat yang dijadikan obyek kajian. Bahkan lebih dari itu, oksidentalisme juga dapat mengubah peradaban Barat dari kajian-obyek menjadi obyek-kajian dengan melacak sejarah, sumber, lingkungan, awal, akhir, kemunculan, perkembangan, struktur, dan keterbentukan peradaban Barat.
Lebih lanjut diungkapkan, ada harapan bahwa pembebasan diri dari dominasi pihak lain yang selama ini dicita-citakan proyek oksidentalisme dapat tercapai, sehingga muncul “harmoni kebudayaan-peradaban” antara ana (yakni, “saya”, umat/dunia Islam) dengan al-akhar (the other, pihak lain, Barat/Eropa Kristen). Harmoni tersebut perlu dilestarikan terus, terutama dari sudut pandang ontologisnya. Misalnya, seperti dilukiskan begitu indah oleh Hasan Hanafi, “membebaskan ego dari kekuasaan the other pada tingkat peradaban, agar ego dapat memposisikan dirinya sendiri secara bebas.” “Saya tidak teralienasi” karena itu “saya ada”; atau “saya bukan orang lain” dan karenanya “saya ada”.Yang dimaksud dengan ego dalam hal ini adalah peradaban Timur, khususnya Islam; dan the other adalah Barat.
Akhirnya, oksidentalisme idealnya diharapkan mampu membentuk sosok bangsa Timur yang mengenal dirinya, mengenal agamanya, tradisi intelektual secara mendalam dan menyeluruh. Bahkan kalau bisa dapat menghadirkan rasa self confident atau --dengan bahasa gaulnya--“pe de” dengan cara melawan pembaratan dengan cara-cara rasional dan ilmiah. Saat ini harus diakui bahwa hegemoni politik, ekonomi, dan budaya sudah di tangan mereka. Dalam bidang intelektual, mereka juga berhasil menciptakan anggapan bahwa otoritas ada pada mereka dan salah satu langkah konkritnya adalah pemperdalam pengetahuan orang Islam tentang sejarah Islam, sejarah al-Qur’an, sejarah hadits dan hukum Islam, di samping --yang tak kalah perlunya-- mempelajari sejarah Kristen dan Yahudi. Semua ini harus dilakukan karena mereka faham sejarah Islam sedangkan umat Islam mayoritas buta sejarah mereka, sehingga tidak heran jika umat Islam akan gamang ketika mereka mengatakan “What you know, we know. What we know you don’n kwow” artinya “apa yang anda tahu, kami juga tahu. Apa yang kami tahu, anda tidak tahu”.
Sudah saatnya umat Islam percaya diri untuk menggali khazanah sendiri yang bersumber dari kalangan sendiri yang begitu kaya dan tak terpermanai jumlahnya, tanpa harus terhanyut oleh pesona khazanah “import” yang datang dari luar Islam yang dapat meracuni umat dan membawa umat jauh dari akar ke-Islamannya. Seraya pula berupaya untuk terus jadi orang yang dengan yakin mengatakan kepada mereka para “importir” tersebut  “lakum dinukum wa liya din.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar