Selasa, 08 Februari 2011

MENIKAH + KULIAH = PASANGAN SERASI©

H. Danni Nursalim Harun, Lc. Dipl.

Mukaddimah

Untaian kata-kata maupun rangkaian kalimat sebanyak apapun dan memakai gaya bahasa apapun tidak akan dapat menggambarkan betapa indahnya suatu pernikahan. Tidak memandang apakah anda orang biasa atau anda seorang pujangga kawakan, namun ketika disuruh untuk mengungkapkan tentang indahnya suatu pernikahan, niscaya akan terasa kurang. Apalagi digambarkan oleh seseorang yang belum pernah menikah, maka gambaran pernikahan itu akan menjadi hambar dan hampa. Untuk mengetahui betapa indahnya suatu pernikahan hanyalah ada satu cara: MENIKAHLAH!!!
Menikah adalah anugerah Ilahy yang tidak akan pernah habis-habisnya disyukuri sampai akhir hayat. Betapa tidak, dengan melangkahkan diri ke arena pernikahan kita telah diberikan kesempurnaan hidup sebagai seorang manusia. Minimal ada dua kesempurnaan yang akan kita dapatkan dari pernikahan. Pertama kita mendapatkan Nisfuddien, tinggal kita mempertahankan yang setengahnya lagi. Kemudian kita telah mendapatkan setengah dari diri kita yang hilang yang berbentuk pasangan kita, baik istri maupun suami. Belum ditambah anak-anak kita yang kita harapkan akan menjadi permata hati kita di dunia dan menjadi tabungan amalan kita di akhirat.
Pada kesempatan ini, kita tidak akan membahas pernikahan secara definitif atau secara hukum. Karena, lebih kurang, semua diantara kita sudah mengetahui hukum melaksanakan pernikahan. Namun disini, kita hanya mencoba berbagi pengalaman dan pandangan seputar pernikahan diantara para Mahasiswa & Mahasiswi, khususnya yang berada di Mesir. Karena, dari berbagai dialog yang pernah kami adakan dengan banyak mahasiswa/i di Mesir ini, sebagian besar dari mereka sudah punya keinginan untuk melangkah menuju gerbang pernikahan. Tapi kenapa diantara sekian banyak yang berminat dan berkeinginan untuk menikah hanya sebagian kecil saja yang berhasil untuk mewujudkan keinginannya. Adapun yang lain, dengan terpaksa mengurungkan niatnya ataupun ada juga yang sudah mencoba melangkah namun kemudian mengurungkan niatnya dengan alasan yang kadang terlihat dibuat-buat.
Problematika yang akan dimunculkan disini hanyalah sekedar prototype dari permasalahan yang sering terjadi diantara mereka yang ingin menikah. Bukan sebagai batasan. Kalaupun ada masalah lain yang belum tercakup disini, alangkah baiknya untuk diungkapkan juga pada kesempatan ini, agar kita bisa mencari problem solvingnya secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jadi, apa yang diungkapkan disini hanyalah sebagai stimulus bagi para audience untuk menanggapi lebih lanjut permasalahan yang kita hadapi sekarang ini. Sehingga kita bisa mendapatkan satu nuansa yang seragam dalam menghadapi problematika ini, dan kalau perlu kita hadapi bersama-sama.

Belajar & Berkeluarga, Mungkinkah?

Ya, Mungkinkah menikah sambil kuliah atau kuliah sambil menikah? pasti akan didapatkan dua jawaban disini. Golongan pertama, yaitu kaum yang optimis (bukan oportunis) akan menjawab, Mungkin saja! Kenapa tidak mungkin? Bukankah segala yang ada di dunia ini serba mungkin?
Golongan kedua akan menjawab, Mana mungkin? Tidak mungkin sama sekali! Menikah dan kuliah itu dua hal yang bertolak belakang yang tidak mungkin disatukan. Kalau mau kuliah, kuliahlah yang serius. Kalau mau menikah, menikahlah yang benar.
Kenapa bisa terjadi dua jawaban seperti itu? Tentunya disebabkan alasan mereka yang berbeda yang berasal dari sudut pandang yang berbeda pula. Mari kita tengok alasan masing-masing dari kedua kelompok tadi.
Golongan kedua mengatakan bahwa kuliah adalah satu pekerjaan yang harus dihadapi dengan serius dan konsentrasi. Apalagi jika seseorang mengejar prestasi, maka seseorang harus memfokuskan dirinya hanya untuk belajar dan meninggalkan hal-hal yang lain termasuk aktif dengan kegiatan ekstra kurikuler. Membagi waktu dan konsentrasi dengan hal-hal diluar pelajaran akan membuat belajar kita terhambat.
Demikian juga hidup berkeluarga, tidak bisa dicampur aduk dengan urusan belajar. Sebab, hidup berkeluarga itu memerlukan ekstra konsentrasi yang sulit diharapkan bagi seseorang yang masih serius untuk belajar. Bagaimana tidak, mengurus sebuah rumah tangga itu adalah pekerjaan yang berat yang terkadang beberapa fihak gagal untuk menjalaninya sehingga mengakibatkan rumah tangganya berantakan.
Kemudian golongan ini mengambil contoh beberapa keluarga Mahasiswa di Mesir yang ternyata prestasi belajar mereka terhambat dan seakan-akan jalan di tempat. Tidak jarang diantara mereka yang gagal dalam belajarnya, sehingga terpaksa pulang ke tanah air tanpa menyandang titel apa-apa. Hal itu disebabkan sulitnya mengatur waktu antara belajar dan mengurusi rumah tangga. Apalagi bagi seorang istri yang berkewajiban melayani suaminya, manalah bisa dia mengatur konsentrasinya dengan belajar..??
Lain halnya dengan golongan pertama yang melihat sisi positif dari pernikahan para mahasisiwa/i. Ada beberapa manfaat besar yang bisa diambil dari pernikahan tersebut. Diantaranya, seorang mahasiswa/i akan dapat menjaga diri dan kehormatannya dengan lebih baik lagi dibanding ketika dia masih sendiri. Sebab, menurut ilmu biologi, libido seseorang pada usia kuliah ini sedang menghadapi masa puncaknya. Sangat sulit bagi seorang pemuda/i untuk menahan libidonya yang meninggi ini tanpa menimbulkan efek samping, yang diantaranya memunculkan sosok manusia yang frigid dengan lawan jenis. Jika seseorang sudah memasuki kepala tiga, libidonya tersebut cenderung sudah menurun, yang mengakibatkan ketertarikan terhadap lawan jenis pun akan ikut menurun pula, apalagi bila belum pernah tersalurkan. Maka tidaklah heran kalau seseorang yang terlambat menikah, semakin lamabat dia menikah semakin enggan dia untuk menikah. Kenapa? Karena menurunnya libido dia tersebut. Dan untuk memunculkan libidonya maka dia memasang standar pasangan yang cukup aduhai, padahal dia tidak sadar bahwa kalaupun ada pasangan yang diharapkan dengan standar yang seperti itu belum tentu mau sama bujang lapuk atau perawan tua…
Itu dari segi psikis dan psikologis. Dari sisi lain, antara belajar dan hidup berkeluarga bukanlah suatu hal yang bertentangan atau bertolak belakang. Kalaulah golongan kedua melihat dari sisi negatif menikah sambil kuliah, maka kita harus melihat dari sis positifnya. Diantaranya, dengan hidup berkeluarga seseorang akan lebih tenang untuk belajar. Kenapa? Kalaulah dulu ketika mempunyai permasalahan yang bisa mengganggu konsentrasi belajarnya dia harus mencoba mencari solusinya sendiri, kalau memang bisa. Tapi setelah hidup berkeluarga, paling tidak seseorang mempunyai tempat untuk mengadu dan membagi duka, disamping membagi suka, bahkan tidak jarang mendapatkan solusi yang diinginkan.
Belajar sambil berkeluarga mendidik diri untuk lebih dewasa dalam bersikap dan bertindak. Selain akan menghindarkan diri dari godaan-godaan yang bisa merontokkan hafalan kita. Prestasi bukanlah masalah bagi sesorang yang keluarga. Kalaulah orang yang hidup berkeluarga banyak yang prestasinya tersendat, yang tidak berkeluargapun lebih banyak yang tersendat prestasinya. Jika orang yang berkeluarga itu tersendat prestasinya, maka lihatlah ketika dia masih sendiri, apakah prestasinya tersendat atau tidak? Karena biasanya, mereka yang tersendat prestasinya ketika berkeluarga adalah mereka yang sewaktu masih sendirinya juga prestasinya tersendat. Hanya sekarang dia punya point tambahan, yaitu TELAH MENIKAH. Kalau memang sebelum dia berkeluarga prestasinya baik, namun setelah berkeluarga prestasinya menurun, makanya jangan salahkan pernikahan. Kesalahan terletak pada personel tersebut yang tidak bisa memanage diri dan keluarganya.

Terlalu Muda Untuk Menikah

Problem lain yang muncul ketika ada hasrat untuk menikah, adalah masalah usia. Banyak diantara para Mahasiswa/i yang ketika berniat untuk menikah dibenturkan dengan alasan bahwa dirinya masih terlalu muda. Sehingga dikhawatirkan dia tidak bisa konsisten dengan pernikahan yang dijalaninya. Pernikahan adalah sebuah perkara yang sangat agung dan harus dihadapi dengan persiapan yang matang. Kalau seseorang tidak siap, maka dia akan gagal mengendalikan bahtera pernikahan untuk mengarungi kehidupan yang dipenuhi ombak dan badai ganas. Sedangkan persiapan seperti itu tidak bisa diharapkan dari seseorang yang berusia muda.
Kalau kita melihat Undang-undang pernikahan Indonesia, bahwa batasan minimal untuk menikah bagi laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan untuk perempuan adalah 16 tahun. Melihat ukuran rata-rata para mahasiswa/i yang ada di Mesir ini maka sebenarnya mereka itu sudah melewati batas minimal untuk melangsungkan pernikahan. Dengan kata lain, mereka sudah sangat layak untuk menikah. Jadi terbentur dengan masalah usia itu bukan alasan yang kongkret, jika dihadapkan dengan perundang-undangan kita. Apalagi dalam Islam. Seseorang bisa dinikahkan ketika dia sudah memasuki masa akil balig. Dan itu sangat relatif. Bisa jadi usia akil balig seseorang itu dibawah usia akil balig orang lain.
Masalah kesiapan untuk menikah itu tidak memandang usia. Sama halnya dengan belajar. Bisa jadi seseorang yang lebih muda lebih siap untuk menikah dari mereka yang lebih tua. Karena untuk menikah itu diperlukan mental dan tekad yang kokoh. Hal itu justru lebih banyak didaptkan dari mereka yang masih berusia muda. Adapun mereka yang lebih tua akan lebih banyak mempertimbangkan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dipertimbangkan. Malahan kalau kita mau jujur, semakin banyak seseorang mempertimbangkan suatu pernikahan semakin takut dia untuk menikah. Satu hal yang harus kita sadari bersama-sama, bahwa terlalu muda untuk menikah itu jauh lebih baik daripada terlalu tua untuk menikah. Akhirnya terbuatlah sebuah sinetron Liku-liku Laki-laki tak Laku-laku…..

Tantangan Orang tua & Calon Mertua

Problem ini tidak kalah pentingnya dan seringkali menjadi penyebab utama mundurnya para mahasiswa/i dari gerbang pernikahan. Seorang mahasiswa/i sudah bertekad untuk menikah dan mendapatkan calon pendamping yang diidamkan yang mempunyai tekad yang sama namun harus menghadapi kenyataan pahit. Hal itu disebabkan orang tua kedua belah fihak tidak setuju, atau orang tua dari salah satu fihak tidak setuju. Banyak alasan yang dilontarkan oleh orang tua untuk menahan agar anaknya tidak cepat-cepat menikah, mulai dari masalah study sampai hal yang paling remeh sekalipun.
Memang cukup susah menghadapi orang tua yang bersikeras menahan anaknya untuk cepat menikah. Walaupun kita yakin diantara orang tua kita tidak ada yang beralasan materialistis ataupun feodalistis. Kata TIDAK yang diucapkan orang tua, bahkan mungkin memaksa, cukup membuat seorang mahasiswa/i mengurungkan niatnya untuk menikah. Walaupun dengan perasaan pedih dan pilu.
Untuk menghadapi problem seperti ini, tidaklah sama antara satu orang dengan yang lainnya. Namun planning awal yang harus dilakukan oleh setiap mahasiswa/i yang berniat menikah adalah satu. Yaitu, kenali orang tua anda baik-baik. Maksudnya kita mengetahui sifat orang tua kita secara baik dan benar, sehingga kita tahu cara yang tepat untuk memahamkan orang tua tentang maksud kita di dalam melaksanakan pernikahan. Ada baiknya jauh-jauh hari kita sudah memberikan pemahaman dan nuansa yang benar tentang pentingnya pernikahan pada usia muda. Mengenai cara penyampaiannya, tergantung dari sifat orang tua tersebut masing-masing, dan disitulah pentingnya mengenali sifat orang tua kita.
Demikian juga dalam menghadapi calon mertua, terutama bagi para mahasiswa, kita harus mencoba mempelajari lebih dulu sifat-sifat calon mertua kita. Fungsinya, agar kita bisa mencari cara yang tepat untuk meminang putri kesayangannya. Kita juga berusaha sedapat mungkin meyakinkan kepada calon mertua kita bahwa kita adalah seorang yang siap untuk bertanggungjawab 100% Disamping sang calon istri juga mencoba untuk meyakinkan orang tuanya bahwa pilihannya itu merupakan idamannya yang memang hasil istikharah. Dan jangan lupa, bahwa doa tidak boleh terputus untuk mengiringi usaha kita.

Nafkah Keluarga

Banyak diantara para mahasiswa/i yang mengurungkan niatnya untuk menikah disebabkan kebingungan mereka akan nafkah keluarganya nanti. Maksudnya, bagaimana mereka bisa mencari nafkah sedangkan mereka masih dalam taraf belajar? Hal itu disebabkan tidak sedikitnya para orang tua yang otomatis menghentikan kiriman biaya ketika anaknya sudah menikah baik secara sengaja ataupun tidak. Bahkan tidak sedikit dari orang tua tersebut yang sengaja mengancam anaknya yang berniat menikah untuk menghentikan kiriman biaya yang rutin diterimanya. Akhirnya para mahasiswa/i tersebut mencabut niat menikahnya karena ngeri membayangkan dari mana mereka mendapatkan biaya untuk kehidupan sehari-hari…..
Problem seperti ini tidak kalah pentingnya dan tidak kalah banyaknya terjadi di kalangan para mahasiswa. Memang kalau kita memakai logika kita yang sempit, maka kita akan kebingungan untuk mencari jawaban dari problem seperti ini. Malahan kita akan balik bertanya, Bagaimana bisa kuliah sambil mencari nafkah? Padahal pertanyaan yang seharusnya dilontarkan tidaklah seperti itu, akan tetapi begini, Mengapa tidak bisa mencari nafkah sambil kuliah?
Mungkin pertanyaan seperti ini tidak akan pernah terlontarkan oleh mereka yang menikah dengan persetujuan orang tuanya, dan mereka masih tetap mengirim biaya rutin seperti sediakala. Namun sebagai seorang muslim, sepatutnya pula kita tidak terlalu menggantungkan diri dari kiriman biaya yang orang tua kita kasih setelah kita menikah. Kalau kita masih mendapat kiriman, itu patut disyukuri. Namun tetap berusaha untuk mencari usaha sendiri untuk menafkahi keluarga kita. Sebab, Allah lebih menyukai orang yang berusaha mencari rezekinya sendiri ketimbang mereka yang menunggu pemberian dari orang lain, baik itu orang tua maupun dari fihak lain. Apalagi kalau kita menilik hadits yang menyebutkan bahwa memberi nafkah untuk keluarga sendiri itu adalah infaq yang paling utama yang harus dikeluarkan oleh setiap muslim.
Timbul pertanyaan, bagaimana cara kita mencari nafkah? Jawabannya pun berbentuk pertanyaan juga, Keahlian apa yang bisa kamu gunakan untuk mencari nafkah? Sebab harus kita yakini bersama-sama bahwa setiap orang itu diberi kemampuan yang berbeda untuk mencari rezeki hidupnya. Kalau yang mampu berdagang, berdaganglah. Yang mampu menerjemah, terjemahlah. Yang mampu Chating, jadilah Boss Warnet… Kita harus yakin juga bahwa setiap orang itu rizkinya sudah ditentukan. Tinggal bagaimana cara kita mengambil rezeki tersebut, apakah dengan cara halal ataukah dengan cara haram? Apakah dengan kerja keras kita ataukah dengan uluran tangan orang lain? Rizki kita tidak akan berhenti kecuali jika umur kita juga sudah habis dead linenya…
Untuk mereka yang mau menikah, Allah telah menjanjikan akan memberikan mereka kekayaan, jika memang mereka menikah untuk ibadah dan menjaga diri dari hal yang haram. Allah SWT berfirman;
و انكـحـوا الأيامى منكم و الصـلحـين من عبـادكم و اءمـائكم اءن يكونوا فقـراء يغـنيهم الله من فضـله و الله واســع علــيم
“Dan Nikahkanlah orang-orang yang masih sendiri diantara kalian, serta orang-orang yang layak menikah diantara para hamba sahaya kamu yang laki-laki dan yang perempuan. Jika mereka miskin niscaya Allah akan mengkayakan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui…” (QS.An-Nur:24)
Lihatlah bagaimana Allah telah menjanjikan bagi mereka yang ingin melaksanakan sunnah Rasulullah saw ini dengan memudahkan rezeki-Nya. Tinggal kembali pada diri kita masing-masing, yakin atau tidak dengan janji Allah tersebut, padahal Allah tidak pernah menyelisihi janji-Nya??? Keyakinan terhadap janji Allah merupakan salah satu faktor yang akan memudahkan urusan kita, jika memang urusan itu diniatkan untuk ibadah. Jadi, tidak ada yang perlu ditakutkan akan rezeki yang akan datang, sebab salah seorang penyair muslim di Andalus pernah mengatakan;
المـوت حـوض و كلـنا نرد لم ينج مما يخافـه أحد
فلا تكن مغرما برزق غد فأنت لا تدري ما يجئ غد
و خد من لدهر ما أتاك به فيسلم الروح منك و الجسـد
Kematian adalah sebuah ladang dan kita semua akan dikembalikan ke sana
Tidak ada seorang pun yang akan selamat dari hal yang ditakuti semua manusia
Dan janganlah kamu bermuram durja memikirkan rezeki esok hari
Sebab kamu tidak tahu apa yang bakal terjadi esok hari
Maka manfaatkanlah seluruh masa yang datang kepadamu
Niscaya engkau selamat rohani dan jasmani
(Mundzir ibn Sa’id Al-Baluthy 273-355 H.)

Sulit Cari Pasangan

Ini dia problem yang paling utama yang dihadapi para mahasiswa/i yang berniat untuk menikah. Yaitu, mau menikah dengan siapa? Apa ada orang yang mau sama saya? Kalau kita perhatikan pertanyan diatas secara mendalam kita kan merasa betapa melankolisnya pertanyaan tadi. Sebagai seorang muslim & muslimah, selayaknya kita Percaya Diri (PD) bahwa kita akan mendapatkan pasangan hidup. Why? Sebab itu sudah Allah janjikan dan sudah Allah gariskan sejak di Lauhul Mahfudz.
Hanya saja Allah tidak akan memberikan dengan begitu mudah. Dengan penegertian lain begini, kalau untuk mendapatkan sesuap nasi saja seseorang harus bekerja keras, apalagi untuk mendapatkan pasangan hidup. Sedangkan untuk berangan-angan mendapatkan rezeki nomplok bagaikan mendapat durian runtuh saja merupakan hal yang hampir dipastikan mustahil terjadi, apalgai berangan-angan datang seseorang kepada kita langsung bicara, Kawin sama saya saja yuk…. Yah, bermimpi boleh-boleh saja, tapi jangan keterlaluan.
Secara praktisnya begini, kalau kita menginginkan pasangan hidup kita dengan standar yang kita tetapkan, baik itu laki-laki maupun perempuan, maka hal yang pertaman kali harus kita lakukan adalah kita memenuhi standar itu tadi. Sebagai contoh, alangkah naifnya jika seorang pemuda mengharapkan seorang istri yang sholehah sedangkan dirinya pun brengsek (maaf penulis tidak menemukan kata yang lebih layak). Firman Allah sudah sangat gamblang dan jelas, yaitu;
الخبيـثات للخبيـثين و الخبيـثون للخبيـثات و الطيـبات للطيبـين و الطيبـون للطيـبات
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji pula. Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula….” (QS.An-Nur:26)
Mencari pasangan hidup tidak harus dengan cara gerilya kesana kemari untuk mencari pasangan yang cocok atau mereka yang siap menikah juga. Apa lagi kalau harus pasang iklan dimana-mana menawarkan diri untuk menikahi (ehm sedihnya). Kita bisa meminta bantuan kepada mereka yang kita percaya untuk mencarikan pasangan yang kira-kira cocok untuk kita. Namun perlu diingat, janga terlalu memasang standar tinggi untuk pasangan yang dinantikan. Ingat, bahwa kita manusia biasa juga yang tidak luput dari kekurangan. Kalau kita melihat ketidak sempurnaan dari calon pasangan hidup kita, itu adalah suatu kewajaran. Disitu juga fungsi dari adanya pernikahan, yaitu untuk saling melengkapi kekurangan kita. Sedangkan istri Nabi saw pun sempat membuat beliau saw marah, apalagi pasangan hidup kita yang hanya manusia yang sangat biasa…..
Sedapat mungkin kita hindarkan menjalin hubungan di luar pernikahan. Terlepas dari pro kontra mengenai haram tidaknya berpacaran, namun ada hal yang harus kita garis bawahi dalam menjalin hubungan pra nikah, yaitu zina hati. Itu kalau tidak sempat bertemu, sampai bisa copy darat, akan melanglang buana ke arah zina yang lain, walaupun tidak sampai melanggar hukum Had.
Yakinlah, bahwa semua makhluk hidup diciptakan berpasang-pasangan. Jangan merasa rendah diri untuk tidak mendapat pasangan sehingga menjadi takut untuk menikah, dan jangan juga merasa sok paling laku sehingga menunda pernikahan karena ingin melakukan petualangan dulu lebih lanjut. Kalau belum mendapat pasangan, carilah sampai dapat dengan cara-cara yang syar’i. Kalau sudah dapat, cepatlah menikah dan jangan ditunda-tunda sebelum syetan ikut andil didalamnya.

Akhir Kalam

Menikah adalah nikmat, nikmat yang tidak akan diketahui kecuali yang telah menikah. Namun nikmat tersebut akan berubah menjadi laknat ketika kita tidak menjadikannya sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri kita kepada Allah. Menikah pada masa kuliah bukanlah hal yang mustahil, walaupun tidak mudah. Kalau kita melihat bahwa menikah di masa kuliah beresiko, maka kuliah dalam kesendirian pun beresiko. Menikah sambil kuliah tidak lebih berat resikonya daripada sendirian sambil kuliah.
Mungkin apa yang dipaparkan disini banyak bersifat subjektif dan berdasarkan dari pengalaman pribadi dan lingkungan sekitar. Namun justru itulah, kita mencoba membagi pengalaman, sebab pengalaman adalah guru yang tidak bisa dicari di sembarang tempat. Menimba pengalaman adalah hal yang sangat penting untuk bekal kita melangkah ke depan.
Mengejar prestasi memang penting, tapi menikah lebih penting. Kalau saya harus memilih antara menikah dengan mengorbankan prestasi atau mengejar prestasi dengan mengorbankan nikah, maka saya akan memilih yang pertama. Dengan alasan, bahwa prestasi masih bisa dikejar setelah menikah. Adapun menikah belum tentu bisa dikejar setelah kita kita berprestasi, karena mungkin saja kita sudah terlalu tua sehingga tidak ada lagi yang berminat kepada kita kecuali para penghuni panti jompo…:) Walaupun pilihan yang ideal adalah memilih menikah tanpa harus mengorbankan prestasi, dan itu tidak mustahil dan belum tentu sulit.
Sekali lagi, makalah ini hanyalah tawaran solusi dari sekian permasalahan yang sering bertumpuk ketika ada diantara kita mau menikah. Dan saya secara pribadi mohon maaf kalau belum menyinggung problematika setelah menikah kecuali sedikit, dan itu bisa kita diskusikan bersama. Kurang lebihnya, saya memohon ampun kepada Allah atas kesalahan yang ada pada tulisan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar